‘Sisterhood’ dan Hal-hal yang Tak Selesai
Keteguhan menjalankan iman feminisme menghadapi tantangan saat berhadapan dengan pelaku kekerasan yang seorang perempuan.
Beberapa bulan belakangan saya diliputi kegelisahan yang entah mengapa belum saya temukan penawarnya. Sejumlah upaya sudah saya lakukan namun terkadang jawaban yang saya dapatkan tidak utuh menjelaskan. Upaya terbaru, saya menemui seorang kawan lama, sebut saja Laksmi. Kami terbilang tidak banyak bertukar cerita, hanya sesekali saling melempar komentar jahil di akun media sosial atau saling menguatkan sesama perempuan. Maka pada pertemuan malam itu kami berkisah dari hati ke hati. Bertukar kabar, cerita, sampai luka.
Delapan tahun lalu, Laksmi mendapati kakak laki-lakinya, yang sudah menikah dan memiliki anak, berhubungan dengan perempuan lain. Pengingat serta upaya untuk menyadarkan mereka tidak kunjung berhasil, bahkan mungkin sampai hari ini. Sial dan sedihnya, saya harus pula berurusan dengan perempuan yang sama. Perempuan yang mengaku dan mendaku paham sisterhood tetapi menyakiti dan melukai.
Usai pertemuan dengan Laksmi, saya menghubungi seorang kawan baik, pegiat perempuan di gerakan. Pertanyaan saya menukik tajam malam itu, “Mbak, bagaimana sebetulnya gerakan perempuan dan kita semua mestinya bersikap terhadap seorang pelaku kekerasan terhadap perempuan yang adalah perempuan? Tentu kita marah dan mengutuk pula perbuatan si laki-laki, tapi mengapa kita tidak bisa semarah dan mengutuk dengan sangat pada pelaku perempuan? It takes two to tango.”
Kenapa kita lebih keras naming and shaming hanya ke laki-laki di saat ada perempuan, yang aktivis, feminis, paham isu gender, dan mengaku memiliki perspektif melakukan kejahatan relasi, membuat kebohongan demi kebohongan, menipu dan memanipulasi banyak orang?
Pertanyaan bertubi-tubi itu saya kirimkan di tengah malam, di tengah isak tangis kekesalan dan kemarahan. Sadar bahwa praktik ini tidak sedikit di dekat kita, si mbak pun mencoba menenangkan saya dengan mengingatkan untuk tetap kuat dan tegar. Tentu saya sudah melaluinya, dengan darah dan air mata. Lebih jauh, si mbak meyakinkan saya bahwa menjalani nilai-nilai feminisme bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana.
Baca juga: Ketika Perempuan yang Lebih Berdaya Sudutkan Sesama Perempuan
Tentu, saya paham hal itu. Memilih feminisme sebagai nilai hidup pastilah berliku, terjal, dan jatuh-bangun. Ada kalanya sisa-sisa internalisasi nilai patriarki sejak masa kecil masih bercokol di relung hati dan kepala. Sesekali merasa minder sebagai perempuan akibat body shaming yang diterima sejak kecil atau takut bersuara karena akan dianggap tidak berguna. Tapi terlepas dari itu semua, kesedihan saya berlipat saat mendapati perempuan memiliki kemampuan dalam menyakiti perempuan.
Perlukah naming and shaming Pelaku Perempuan?
Sejumlah respons individu dan aksi kolektif, dari naming and shaming, menghambat akses ekonomi, protes turun ke jalan, sampai gugatan ke pengadilan, dilakukan untuk membuat jera pelaku kekerasan yang adalah laki-laki. Namun bagaimana jika pelakunya perempuan? Apakah kita harus berbuat serupa?
Pertanyaan ini pun kerap mengganggu saya. Jika berbuat adil mesti dilakukan sejak dalam pikir, entah mengapa saya tidak bisa menemukan jawaban yang ajek dan adil atas situasi yang sama. Saya diingatkan kembali pada kemewahan yang dimiliki laki-laki bernama privilese. Tetapi privilese melampaui seks dan gender, bukan? Kelompok sosial berbasis ras, agama, etnis, orientasi seksual, usia, status perkawinan, ekonomi, tingkat pendidikan, tempat tinggal, dan sebagainya bisa mendapat hak istimewa.
Lantas, apa sebetulnya hak istimewa yang didapat oleh perempuan pelaku kekerasan pada konteks kasus di atas? Laksmi memberikan jawabannya, “Kakak iparku, seorang perempuan yang tidak mengakses pendidikan tinggi seperti perempuan itu, Mbak. Dia mengabdikan hidupnya mengurus anak-anak. Tidakkah bisa kita katakan bahwa kakak iparku adalah korban kejahatan relasi dari kakakku dan juga perempuan itu? Jika perempuan itu betul memahami apa sisterhood dan feminisme, mengapa hidup sebagai perempuan simpanan dia lakoni di dalam kebohongan dan luka-luka yang diakibatkannya kepada perempuan lain?”
Baca juga: Feminisme untuk Keadilan, Bukan Feminisme Pengakuan
Valid. Tidakkah kasus di atas sering kita dengar terjadi di sekitar kita? Apa yang sudah kita lakukan untuk memutus rantai kekerasan tersebut? Bergunjing bukanlah jawaban yang diharapkan, apalagi abai serta permisif seolah-olah tidak tahu apa-apa. Saya terlampau yakin masih banyak pegiat isu perempuan di sekitar kita yang baik dan menjalani iman feminisme dengan kafah. Mestinya kita bisa lebih kritis memilih dan memilah, siapa kawan perjuangan kita.
Memperkuat Pemahaman Kolektif melalui Sisterhood
Deborah Siegel, doktor bidang gender, politik, dan feminisme, dalam bukunya Sisterhood, Interrupted: From Radical Women to Grrls Gone Wild mengingatkan bahwa feminisme hanya mungkin dilakukan melalui kesadaran individu dan kolektif sekaligus. Seorang individu bisa saja terpapar, belajar, dan mempraktikkan nilai-nilai feminisme, tetapi tidak ada artinya jika dukungan kolektif bagi dirinya menjalani itu nihil. Begitu juga sebaliknya.
Kebingungan kita kerap muncul saat berhadapan dengan konteks urusan privat dan non-privat. Relasi antar-dua insan manusia dianggap urusan masing-masing dan tidak perlu digugat. Saya setuju pada ranah ideal. Namun, penting memastikan jika di dalamnya sudah terjadi kekerasan maka hal tersebut tidak bisa dibiarkan berlangsung terus-menerus. Jika selemahnya iman adalah mengingatkan, maka apa salahnya dilakukan? Sayangnya, belum sampai mengingatkan kita cenderung sudah permisif duluan.
Kapan terakhir kali kita membaca dan menguatkan lagi iman feminisme? Layaknya iman, dia (nilai-nilai feminisme) tentu fluktuatif. Layaknya iman pula, dia kerap diuji. Maka sisterhood untuk saling mengingatkan dan menguatkan menjadi penting. Kerja untuk mewujudkan kesetaraan tidak bisa sendirian, semua mestinya dilakukan secara kolektif bersamaan. Tidak jarang ragu datang dan pergi bergantian, namun keyakinan terhadap nilai mestinya bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan.