SKB UU ITE Bawa Kemajuan, Tapi Revisi UU Tetap Diperlukan
Meski ada beberapa kemajuan dalam penerapan SKB UU ITE, masih ada beberapa hal yang jadi permasalahan sehingga revisi UU tetap diperlukan.
Pada Juni lalu, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) berisi pedoman penerapan beberapa pasal dalam Undang-Undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tindakan ini diambil setelah banyak kelompok masyarakat yang menyuarakan permintaan mereka agar pemerintah merevisi UU ITE.
SKB yang merupakan kesepakatan antara Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Polisi Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi jawaban sementara setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyatakan akan merevisi UU ITE.
Saya, yang sedang melakukan penelitian tentang tindak pidana pencemaran nama baik dan dampaknya terhadap demokrasi, mencatat ada beberapa kemajuan dalam penerapan UU ITE lewat SKB ini. Walau demikian, masih ada juga beberapa masalah yang masih timbul.
Upaya Menjelaskan Makna Kesusilaan
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Problem mendasar pasal 27 ayat 1 di atas adalah definisi kesusilaan yang luas, yang bisa dimaknai sebagai tindak pidana yang melanggar norma-norma di masyarakat – tidak hanya terbatas pada pornografi.
SKB kemudian menegaskan bahwa ada arti sempit dan luas untuk “kesusilaan”. SKB mendefinisikan “kesusilaan” dalam arti sempit sebagai konten pornografi yang merujuk pada UU Pornografi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga konten pornografi untuk kepentingan sendiri tidak melanggar hukum.
Namun, masih terdapat definisi yang tumpang tindih terkait bentuk perbuatan “mendistribusikan” dan “membuat dapat diaksesnya”.
Berdasarkan SKB, frasa “mendistribusikan” dan “membuat dapat diaksesnya” bisa menjadi rancu karena ada kemiripan definisi: sengaja membuat publik bisa melihat, menyimpan, ataupun mengirimkan kembali konten melanggar hukum.
Padahal, menurut penjelasan UU ITE, “mendistribusikan” adalah perbuatan menyebarkan kepada orang banyak – retweet di media sosial termasuk di sini.
Sementara, “membuat dapat diaksesnya” dalam penjelasan UU ITE, adalah semua perbuatan lain selain “mendistribusikan” dan “mentransmisikan”.
Definisi di dalam UU ITE yang masih luas ini memungkinkan pihak ketiga seperti penyedia jasa internet, ikut bertanggung jawab secara pidana.
Menurut saya, lebih baik menghapus frasa “membuat dapat diaksesnya” yang lebih bersifat pasif di dalam revisi UU ITE nanti, karena SKB pun menegaskan perlu adanya perbuatan aktif pelaku.
Baca juga: DPR: Revisi UU ITE Bisa Masuk Prolegnas Prioritas 2022
Merujuk pada KUHP, Tapi…
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 27 Ayat 3 UU ITE adalah pasal yang paling banyak digunakan untuk pelaporan kasus pelanggaran UU ITE.
SKB menegaskan bahwa sesuai putusan Mahkamah Konstitusi pada 2008, definisi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk pada pencemaran dan fitnah di KUHP.
Kabar baiknya, ini akan mempertegas batasan tindak pidana hanyalah untuk serangan terhadap kehormatan atau tuduhan yang salah, bukan cacian atau makian yang tidak menyerang reputasi korban.
SKB juga menegaskan menegaskan bahwa pelapor, dalam hal ini adalah individu, bukan badan hukum seperti organisasi, perusahaan, atau kelompok sebagaimana banyak terjadi selama ini.
Hal positif lainnya adalah penegasan bahwa ekspresi berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan tidak termasuk tindak pidana.
Pedoman ini memberikan contoh perbuatan mentransmisikan informasi pencemaran nama baik yang dikategorikan “supaya diketahui umum” adalah unggahan di media sosial yang profilnya tidak dikunci untuk dilihat publik.
Sayangnya, ini belum menjawab mengenai informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik yang dikirimkan melalui medium yang privat, contohnya pesan singkat (SMS) dan e-mail, mengingat keduanya juga merupakan informasi elektronik.
Untuk Pasal 27 Ayat 4, SKB juga mempertegas definisi pemerasan dan pengancaman mengacu kepada KUHP.
Hal ini patut diapresiasi karena SKB menyebutkan yang termasuk perbuatan mengancam adalah juga ancaman membuka rahasia, membuka data, foto dan video pribadi.
Perbuatan-perbuatan ini dapat didefinisikan sebagai outing atau pelanggaran privasi yang merupakan salah satu jenis dari KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online).
Baca juga: Omnibus Law, RUU Halu, UU ITE: Demokrasi Sedang di Bawah Ancaman
Makna Ganda
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
SKB menentukan bahwa pasal 36 di atas hanya mengatur pemidanaan terkait kerugian materiil yaitu dampak kerugian yang nyata.
Ketentuan ini bisa bermakna ganda. Kerugian materiil bisa diukur pada tindak pidana yang korbannya adalah sistem elektronik (peretasan) atau menggunakan sistem elektronik sebagai medium (penipuan konsumen online).
Namun, pada tindak pidana yang berkaitan dengan ekspresi di internet seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, bentuk kerugian materiil sulit diukur. Ini karena perbuatan itu melibatkan sesuatu yang abstrak seperti kehormatan dan rasa permusuhan atas dasar SARA.
Bukan Delik Aduan
UU ITE 2016 memasukkan cyberbullying ke dalam pasal ini. Ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dalam pasal ini lebih bertujuan intimidasi.
Sayangnya, SKB merumuskan pasal ini sebagai tindak pidana umum, ketimbang tindak pidana aduan. Pada saat bersamaan, SKB juga menyatakan bahwa ancaman dalam pasal ini harus spesifik dan pribadi.
Sudah sepatutnya pasal ini menjadi tindak pidana aduan apabila efek ketakutan atas ancaman hanya bisa dirasakan oleh korban yang dituju.
Kekurangan Lainnya
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
SKB tampaknya akan memperlakukan pasal 28 Ayat 2 sebagai sebagai tindak pidana formil (perbuatan sudah dilakukan), ketimbang tindak pidana materiil (perbuatan dilakukan dan ada akibat dari perbuatan tersebut).
Menurut saya, lebih tepat apabila pasal ini diperlakukan sebagai tindak pidana materiil, karena penting melihat adanya efek kebencian dan permusuhan atas dasar SARA yang bentuknya bisa bermacam-macam seperti kerusuhan dan perkelahian.
Sulit mengukur dampak kerugian kalau tindakannya baru ajakan bermotif kebencian, tapi kebenciannya sendiri belum terwujud dalam bentuk aksi yang “merusak”.
Masalah lain dalam SKB terkait pasal ini adalah rujukan frasa “antargolongan” pada Putusan MK tahun 2017 yang memperluas arti golongan di luar Suku, Ras dan Agama.
Putusan kasus ujaran kebencian musikus I Gede Ari Astina atau Jerinx tahun lalu, merupakan salah satu contoh perluasan “antargolongan” untuk organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia.
Ini akan menimbulkan masalah definisi baru yang bersifat “karet”, karena idealnya definisi golongan adalah sebuah identitas yang dibawa dan melekat sejak lahir, bukan sesuatu yang mudah berubah seperti profesi.
Revisi UU ITE
Menurut saya, SKB ini adalah pedoman yang harus menjadi transisi menuju revisi UU ITE. Revisi undang-undang tetap harus menjadi solusi utama atas karut-marut UU ITE ini.
Pemerintah sendiri telah memutuskan akan merevisi beberapa pasal dan menambah satu pasal. Pasal-pasal bermasalah ini adalah pasal-pasal tindak pidana dalam UU ITE. Idealnya untuk menghindari pengaturan ganda soal tindak pidana, revisi UU ITE dan revisi KUHP bisa berjalan beriringan.
Dengan mengeluarkan SKB, pemerintah sebenarnya mengakui bahwa pasal-pasal ini bermasalah baik dari segi bahasa perundang-undangan maupun dalam penegakannya – kalau tidak, tentu SKB tidak diperlukan.
Ketentuan yang sudah baik dalam SKB perlu dipertegas dalam revisi UU ITE nanti. UU ITE yang baru nanti harus memenuhi beberapa syarat antara lain kejernihan atau kejelasan pengertian dan kelugasan.
Lebih lanjut, ada beberapa hal lain yang perlu diatur juga dalam revisi UU ITE nantinya, misalnya penghapusan sanksi pidana atas perbuatan pencemaran nama baik dan pemulihan reputasi bagi mereka yang sudah menderita kerugian akibat pasal-pasal UU ITE yang bermasalah.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.