Omnibus Law, RUU Halu, UU ITE: Demokrasi Sedang di Bawah Ancaman
Dari Omnibus Law, RUU Ketahanan Keluarga (RUU Halu) yang regresif, sampai UU ITE yang membungkam kritik, demokrasi sedang terancam di Indonesia.
Sudah dua tahun “Emmy” menggantung jalanya untuk bekerja di kompleks pergudangan rumput laut di Kabupaten Maros, sekitar 40 menit perjalanan dari Makassar, Sulawesi Selatan. Perempuan berusia 44 tahun itu tidak lagi menjadi nelayan karena pencemaran laut akibat reklamasi masif dan pembangunan Makassar New Port oleh PT Pelabuhan Indonesia IV.
Emmy rindu melaut, yang telah memberinya pendapatan yang cukup dan kebebasan. Ia bisa mendapat Rp150.000 per hari sebagai nelayan, tiga kali lipat dari yang ia dapatkan sebagai buruh harian di pergudangan, yang memiliki jam kerja panjang dan beban yang berat.
“Bekerja jadi buruh di pergudangan, saya harus mengeringkan 350 kilo rumput laut per hari dan dibayar Rp50 ribu. Kalau tidak selesai, maka tidak digaji. Kalau tidak sesuai target dilarang pulang. Kalau pulang tidak digaji,” ujarnya kepada Magdalene.
“Ini seperti penjajahan,” ia menambahkan.
Ia kemudian mengundurkan diri dan sekarang bekerja sebagai petugas kebersihan. Namun statusnya yang bukan pekerja penuh membuat posisinya rentan, terlebih lagi di tengah pandemi COVID-19 yang membuat penghasilannya semakin berkurang.
Pandemi telah menghantam sebagian besar warga Indonesia secara finansial, namun ada badai lain lagi yang sedang mengarah: aturan-aturan problematik yang akan berdampak pada banyak orang, termasuk perempuan seperti Emmy.
Mulai dari percepatan kluster aturan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker), RUU Ketahanan Keluarga yang membatasi peran perempuan menjadi di ranah domestik, sampai UU yang meningkatkan kekangan pemerintah terhadap pengkritiknya—pandemi telah memunculkan kekhawatiran soal demokrasi di Indonesia.
Sejak ia dan komunitas sesama nelayan melawan korporasi terkait pencemaran laut, Emmy menjadi lebih melek politik, terutama lewat edukasi dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan Anging Mamiri. Hari-hari ini, seperti banyak aktivis lainnya, ia berjuang menghentikan pengesahan Omnibus Law oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
RUU yang diinisiasi pemerintah ini bertujuan meningkatkan kemudahan berbisnis di Indonesia dan menarik investasi ke negara ini. Sektor bisnis memujinya karena berfokus pada penyederhanaan izin usaha, memberikan iklim investasi asing lebih kondusif, dan membuat pasar tenaga kerja yang fleksibel. Jika disahkan, RUU ini akan mengamendemen 79 UU sekaligus, dari mulai aturan soal bisnis dan pendidikan, sampai sertifikasi halal dan otoritas pemerintah daerah, sehingga praktis berdampak pada semua orang di Indonesia.
RUU ini telah dikecam karena dianggap terlalu berpihak pada kepentingan usaha dan investor, dan berpotensi membatasi hak-hak pekerja, remunerasi, dan keamanan pekerjaan. Para pengkritik memperingatkan akan peran pemerintah pusat yang bakal terlalu dominan, longgarnya persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan izin bangunan), dan dampaknya terhadap pekerja perempuan.
Emmy dan sesama pekerja perempuan pesisir termasuk mereka yang memperlihatkan ketidaksetujuan akan RUU Cipta Kerja.
“Omnibus Law ini tidak adil karena merusak kami dari ekonomi bawah. Saya sudah merasakan bahkan sebelum RUU Omnibus Law ini diterapkan peraturannya, pekerja diperbudak. Jika disahkan maka penguasa akan semakin seenaknya saja,” ujarnya.
Semangat untuk menciptakan aturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel, termasuk agar perusahaan lebih mudah merekrut dan memecat pekerjanya, akan berdampak terutama bagi buruh pabrik yang sebagian besar pekerjanya perempuan, banyak yang di antaranya adalah pekerja kontrak, menurut aktivis buruh dan perempuan.
Dian Septi, Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Lintas Pabrik dan anggota Perempuan Mahardhika mengatakan, ada pengabaian hak perempuan dalam sistem ekonomi kapitalis yang sangat maskulin.
Menyusul banyak protes sebelumnya, pemerintah kemudian mengatakan bahwa cuti haid—yang saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dianggap cukup progresif ketika disahkan—tidak akan dihapus dalam Omnibus Law. Namun aktivis-aktivis perempuan mengatakan bahwa RUU itu tidak menyebutkan cuti haid dan cuti melahirkan. Faktanya, baik cuti haid maupun cuti melahirkan, meskipun dijamin oleh UU Ketenagakerjaan 2003, masih tidak dapat diakses oleh banyak pekerja, terutama di pabrik-pabrik. Dian Septi mengatakan, banyak pekerja perempuan yang terlalu takut memberitahukan atasannya bahwa mereka hamil, atau bahkan mengambil cuti haid, karena takut dipecat akibat kurang produktif.
“Pemerintah mengabaikan perempuan sebagai tenaga produktif dan dalam sistem ekonomi kapitalisme produktivitas memuat definisi jam kerja panjang yang ditukar dengan upah tidak layak hingga penghilangan upah. Ini pun memperkuat kontrol pengusaha terhadap tubuh perempuan dan diberikan izin leluasa oleh pemerintah,” ujarnya.
Baca juga: Jangan Kasih Kendor, Tolak Omnibus Law
Memanfaatkan pandemi
Proses pembahasan Omnibus Law dimulai awal tahun lalu secara tancap gas. Saat itu RUU tersebut berhasil masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020 untuk disahkan beberapa bulan sebelum para wakil rakyat ini menyelesaikan periode 2014-2019, dan para anggota baru disumpah. Langkah tersebut diikuti protes masif di seluruh negeri selama beberapa hari, sehingga DPR kemudian memutuskan untuk menunda proses tersebut dan meneruskan RUU tersebut pada para anggota baru. Tahun ini, proses tersebut mulai lagi dan digenjot, mengabaikan suara-suara yang menuntut penundaan di tengah pandemi dan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Presiden Joko Widodo pada Agustus lalu menyatakan penerapan Omnibus Law akan mampu menggenjot perekonomian setelah pandemi Covid-19 usai serta meningkatkan investasi. Selain itu, RUU Omnibus Law yang memudahkan dan menyederhanakan masuknya investasi dinilai mampu menyelamatkan Indonesia dari ancaman resesi ekonomi karena pandemi, ujarnya seperti dikutip media.
PSBB membuat organisasi masyarakat madani dan publik untuk ambil bagian dalam proses pembahasan RUU. Draf RUU juga tidak tersedia untuk publik.
Sidang-sidang pembahasan di parlemen telah berlangsung secara online maupun offline. Pembahasan offline diadakan di luar kompleks DPR, sering kali pada hari Sabtu atau selama reses—padahal hal ini melanggar UU Parlemen.
“Tanda-tandanya sangat jelas, misalnya kesulitan untuk mengikuti sidang-sidang (DPR). Lalu masih bersidang di hari Sabtu, bersidang selama pandemi, yang mengakibatkan semakin sulit untuk diakses. Rapatnya juga tidak hanya di DPR, mempersulit lagi untuk diikuti,” ujar Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati.
“Pernah juga mendapatkan tautan daring, sempat masuk dan ketika berkomentar di kolom chat, diberitahu bahwa akan ditendang keluar. Memang tidak ada ruang sama sekali untuk menyampaikan aspirasi,” ia menambahkan.
RUU ini dijadwalkan akan disahkan pada Rapat Paripurna DPR pada 8 Oktober. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengatakan mereka berencana melakukan aksi mogok secara nasional pada 6-8 Oktober sebagai bentuk penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.
Protes terhadap RUU itu telah dimulai sejak April, ketika kelompok-kelompok perempuan dan komunitas lainnya di seluruh negeri mendesak pemerintah untuk menunda pembahasan RUU tersebut, dan fokus pada penanganan COVID-19. Pada 24 September, yang bertepatan dengan Hari Tani Nasional, para demonstran berkumpul di 60 lokasi di seluruh Indonesia, menuntut reformasi agraria dan menolak Omnibus Law yang menurut mereka akan memukul petani. Protes-protes ini menjadi kurang efektif karena pandemi dan kebijakan PSBB.
Jumlah demonstran mungkin lebih kecil karena pembatasan sosial, namun hal itu tidak mengurangi respons dari aparat keamanan, yang menangkapi para demonstran pada aksi-aksi tanggal 24 September.
Presiden Joko Widodo telah menargetkan pengesahan RUU tersebut sebelum akhir dari 100 hari pertama jabatannya dalam periode kedua ini. Tahun ini, Presiden juga memerintahkan kepala Kepolisian Republik Indonesia, kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kejaksaan untuk “berdiskusi” dengan pihak-pihak yang menolak RUU tersebut untuk memastikan penerimaannya. Langkah ini mengingatkan pada cara-cara rezim Orde Baru yang otoriter.
Asfinawati dari YLBHI mengatakan, “Apa hubungannya polisi, BIN dengan pembahasan undang-undang? Di pemerintah saja yang menjadi ujung tombak pembahasan perundang-undangan adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bersama kementerian lain serta lembaga terkait,” ujarnya.
Baca juga: Magdalene Primer: RUU Ketahanan Keluarga yang Super Halu
Membangun ketahanan keluarga: menurunkan posisi perempuan
Upaya pemerintah meloloskan aturan hukum problematik di masa pandemi tidak hanya terjadi di negara ini saja. Di Polandia, pemerintah mengajukan RUU regresif untuk memperketat aturan aborsi. UU darurat virus corona di Hungaria menjatuhkan hukuman lima tahun penjara untuk penyebaran berita hoaks. Tapi UU ini mengancam media independen atas pemberitaan tentang pandemi COVID-19, padahal laporan beritanya lebih akurat daripada media pro-pemerintah.
Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte menandatangani rancangan UU yang mampu membungkam kritik terhadap pemerintah. Pemerintah Thailand mengkriminalisasi warganet yang melakukan kritik terhadap pemerintah dan keluarga kerajaan dengan aturan baru mengenai penanganan COVID-19.
Di Indonesia, ada RUU lain yang telah digenjot pengesahannya di masa pandemi ini, yang menimbulkan kemarahan gerakan dan organisasi perempuan. RUU Ketahanan Keluarga atau RUU “Halu” pertama kali menjadi berita tahun lalu, dirancang oleh lima legislator dari partai Islami dan non-Islami. Tahun ini, DPR memutuskan untuk membahas RUU ini, dan mencabut dari Prolegnas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang telah didorong selama hampir 10 tahun, karena “terlalu kompleks.”
Menurut para ahli, kemunculan RUU Halu ini menunjukkan peningkatan kekuatan konservatisme dan kepanikan moral di kubu pemerintah. Rancangan aturan ini juga menarik segala masalah ke dalam nilai moralitas satu kelompok mayoritas agama, mengabaikan aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya, seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women).
Di dalam RUU Ketahanan Keluarga ini, banyak pasal yang secara kaku mengatur peran-peran gender di dalam keluarga. Upaya domestikasi peran perempuan yang dianggap sebagai langkah mundur kesetaraan gender tersebut terdapat dalam Pasal 25 yang mengatur peran suami sebagai kepala rumah tangga dan istri mengatur rumah tangga.
Maidina Rahmawati, Peneliti Institute Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan, terdapat pembentukan hukum yang melanggengkan diskriminasi dan perbedaan berbasis gender. Dalam RUU Ketahanan Keluarga, peran suami diatur untuk melakukan resolusi konflik, sedangkan istri tidak memiliki kewajiban terkait resolusi konflik. Hal ini menunjukkan perempuan dianggap tidak mampu mengatasi konflik dalam ranah keluarga.
“Ini suatu diskriminasi yang bertentangan dengan apa yang sudah menjadi komitmen negara, seperti ratifikasi CEDAW, instrumen pengarusutamaan gender, serta upaya lain untuk membangun kesetaraan di Indonesia. Dengan demikian, yang patut mengkritisi RUU ini adalah badan pemerintah yang memperjuangkan kesetaraan gender, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan,” ujarnya.
Seperti juga Omnibus Law, pembahasan parlemen untuk RUU ini tidak berlangsung secara transparan.
Baca juga: Serangan Digital Marak, Kebebasan Berpendapat di Ujung Tanduk
Ancaman UU ITE meningkat
Maidina mengatakan karena belum ada tanda-tanda pandemi akan berakhir segera, harus ada cara untuk melibatkan publik dalam fungsi legislasi. Keterbukaan informasi dan transparansi sangat penting, demikian juga fungsi pengawasan DPR terkait kebijakan pemerintah dalam menanggulangi COVID-19.
“Akhirnya masyarakat merasa tidak terwakili karena DPR sepakat saja dengan pengawasan pemerintah. Padahal kalau dilihat, banyak masyarakat yang mengkritik sejauh mana kebijakan pemerintah dilakukan,” ujarnya.
Terkait dengan kritik, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sudah sering dikecam karena memiliki pasal-pasal karet yang dipakai untuk memberangus kebebasan berpendapat, meningkat pemakaiannya selama pandemi.
Jaringan relawan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat bahwa sejak disahkan pada 2008 hingga 2019, kasus pemidanaan menggunakan UU ini mencapai 285 kasus. Angka ini meningkat pada 2020 selama pandemi COVID-19, yakni 110 tersangka. Pasal yang paling sering digunakan sebagai dasar pelaporan adalah pasal pencemaran nama baik dan pasal ujaran kebencian.
SAFEnet juga menyebutkan, 38 persen pelapor UU ITE adalah pejabat publik, termasuk di dalamnya kepala daerah, kepala instansi, menteri dan aparat keamanan. Selain itu pelapor awam 29 persen, kalangan profesi 27 persen, dan kalangan pengusaha 5 persen. Sementara terlapor mayoritas adalah warga awam, jurnalis/media, aktivis, dosen/guru, hingga artis, budayawan dan penulis.
Sebelumnya, UU ini telah mengkriminalisasi perempuan untuk berbagai hal, mulai dari kampanye citra tubuh positif di media sosial yang diluncurkan aktris Tara Basro, sampai penyintas kekerasan seksual, seperti pada kasus Baiq Nuril, seorang guru yang melaporkan atasannya karena mengirim SMS yang melecehkan secara seksual. Ia kemudian dipidana dengan pasal pendistribusian dokumen elektronik dengan muatan melanggar kesusilaan.
April lalu, setelah mengkritik staf khusus presiden dan cara pemerintah menangani pandemi di media sosial, peneliti Ravio Patra mendapati ponselnya diretas dan ada unggahan-unggahan provokatif yang tidak pernah ditulisnya. Ia kemudian ditangkap oleh aparat. Awalnya ia dikenakan Pasal 28 ayat 1 mengenai berita bohong, namun kemudian dengan Pasal 28 ayat 2 mengenai ujaran kebencian dan permusuhan individu atau kelompok. Ia dibebaskan menyusul protes publik.
“UU ITE ini dipakai oleh yang berkuasa untuk memberangus kebebasan berpendapat. Ini adalah ancaman serius bagi demokrasi,” ujar Dian Septi, aktivis buruh dan perempuan.
Asfinawati dari YLBHI mengatakan, “Ini periode terburuk sejak Reformasi 1998 dalam hal bagaimana pemerintah dan parlemen mendengarkan aspirasi publik. Satu-satunya cara untuk menolak RUU ini adalah untuk membuat suara kita didengar, karena begitu disahkan, semua orang akan terdampak.”
Artikel ini adalah bagian dari serial pan-Asia mengenai hak-hak yang direpresi selama COVID-19, yang diinisiasi oleh International Media Support (IMS).