Bukan Pahlawan Kami: Saat Negara Menulis Ulang Luka Sejarah
Hari ini, 10 November 2025, bertepatan dengan Hari Pahlawan, penyelenggara negara resmi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Di tengah suasana peringatan jasa para pejuang, keputusan ini menggores ingatan banyak orang, terutama para penyintas kekerasan rezim Orde Baru dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia. Dari lini masa media sosial hingga ruang akademik, seruan “Soeharto Not My Hero” bergema sebagai bentuk penolakan atas penulisan ulang sejarah oleh negara.
Sepanjang tahun ini, publik disuguhi rangkaian kebijakan dan pernyataan resmi yang memanipulasi sejarah nasional, mulai dari revisi bahan ajar Sejarah Nasional Indonesia (SNI), penyangkalan terhadap pemerkosaan massal Mei 1998, hingga pemberian gelar pahlawan kepada tokoh otoriter. Semua ini tampak diarahkan untuk satu tujuan: penyelenggara negara sedang berusaha menulis ulang ingatannya sendiri untuk diklaim sebagai “sejarah resmi”. Sejarah pun dikelola bukan sebagai ruang dialog, melainkan sebagai instrumen kekuasaan.
Di Indonesia, sejarah nasional memang sejak lama digunakan untuk melegitimasi rezim. Alih-alih menyajikan sejarah publik yang membuka ruang bagi banyak suara, yang ditampilkan adalah sejarah resmi dengan kesimpulan yang tidak boleh diganggu gugat. Seperti diungkap sejarawan Katherine McGregor dalam History in Uniform (2007), penulisan sejarah Indonesia sejak masa Orde Baru diupayakan seragam: tertib, patuh, dan memihak negara. Buku teks, monumen, dan peringatan dibentuk untuk membangun narasi tunggal tentang kemajuan dan stabilitas, sambil menyingkirkan ingatan tentang represi, kehilangan, dan perlawanan.
Selama puluhan tahun, pelajar di Indonesia tumbuh dengan bahan ajar sejarah yang menampilkan pencapaian teknokrasi sebagai kemajuan, sementara berbagai perang dan kekerasan diperlakukan sebagai keniscayaan. Narasi besar tentang stabilitas nasional menutupi kisah-kisah kehilangan, seolah penderitaan dan pemulihan dari kekerasan tidak penting selama negara tetap berdiri tegak. Maka, ketika Soeharto dinobatkan sebagai pahlawan, pesan yang tersembunyi jauh lebih berbahaya: negara tidak hanya menormalisasi represi masa lalu, tapi juga mengulang pola itu hari ini, terutama penyingkiran suara-suara kritis dan dominasi militer dalam ranah sipil.
Sudah seharusnya publik bertanya: apakah kita sedang memahami sejarah, atau justru membenarkan pelanggengan kekuasaan? Jika kita sepakat bahwa sejarah diperlukan untuk memahami perjalanan bangsa, maka pertanyaannya bergeser: narasi macam apa yang ingin diwariskan kepada generasi berikutnya?
Baca juga: Anak Muda Melawan Lupa: Gelar Pahlawan Soeharto adalah Penghinaan pada Korban
Menghapus kekerasan, mengabadikan kekuasaan
Sejak Orde Baru, penulisan dan pengajaran sejarah publik senantiasa diiringi upaya penertiban ingatan. Kurikulum disusun untuk membentuk warga yang “patuh,” bukan warga yang berpikir. Versi sejarah yang diajarkan di sekolah sering berhenti pada tanggal dan tokoh, bukan pada luka dan dampaknya. Jika kita ingin sejarah nasional hidup di antara warga, maka keadilan seharusnya menjadi alasan utama mengapa kita mengingat, belajar, dan meneliti ulang masa lalu. Sebab tanpa keadilan, sejarah hanya akan menjadi catatan tentang kekuasaan, bukan cermin bagi kemanusiaan.
Padahal, sejarah yang adil harus berani membuka luka. Tapi penyelenggara negara justru sibuk menutupinya dengan versi baru yang steril dan oportunistik. Dalam sistem hukum yang kerap tidak berpihak pada korban, arsip sejarah menjadi pengadilan bisu. Ia mencatat keputusan, tapi tak menyimpan rasa kehilangan. Ia memberi penghakiman, tapi tak menyediakan keadilan.
Pada 2022, penyelenggara negara sempat mengakui delapan pelanggaran HAM berat. Meski hanya di atas kertas, itu merupakan langkah awal untuk menghadapi masa lalu. Namun dua tahun kemudian, revisi bahan ajar sejarah justru menghapus sebagian besar peristiwa itu. Kontradiksi ini menunjukkan betapa rapuhnya komitmen penyelengara negara terhadap keadilan sejarah. Pengakuan simbolik tak berarti apa-apa jika yang diajarkan pada generasi muda justru pelupa.
Apa yang kita saksikan tahun ini adalah bab terbaru dari politik ingatan. Dari apa yang dihapus dan diringkas, kita bisa tahu apa yang dianggap layak dikenang dan apa yang sengaja dikubur. Jika kekerasan, pemerkosaan, dan penghilangan paksa dihapus dari buku sejarah, maka yang hilang bukan hanya peristiwa, tetapi juga kemampuan generasi baru untuk mengenali berbagai bentuk ketidakadilan.
Baca juga: Kita Harus Ingat, Soeharto adalah Koruptor yang Belum Diadili
Lalu, apa tugas kita sebagai peneliti, pengajar, aktivis, dan warga? Tugas itu bukan sekadar “menulis ulang,” melainkan membaca ulang. Membaca dengan curiga terhadap yang disebut “resmi”, dan dengan empati terhadap yang disingkirkan. Tugas ini tentu tak bisa dilakukan sendirian. Ia butuh kerja kolektif antar generasi, antar komunitas, antar ruang-ruang pendidikan formal dan non-formal, baik di kampung maupun di kota. Mencari keadilan dalam sejarah mungkin bukan soal menarasikan versi paling mutakhir dari masa lalu, melainkan menciptakan ruang agar masa lalu yang pernah hilang bisa dieja perlahan dan diucapkan kembali bersama-sama.
Sebab keadilan dalam sejarah tak bisa diberikan oleh negara yang mengaburkan luka. Ia hanya bisa lahir dari keberanian warga untuk terus mengingat dan menggugat. Dari kesediaan untuk mewariskan ingatan-ingatan yang pernah dianggap subversif. Karena memperjuangkan keadilan sejarah bukan soal dendam, tapi soal memastikan bahwa kekerasan tidak dianggap wajar, dan yang hilang akhirnya bisa disebut kembali.
Raisa Kamila adalah penulis dan peneliti sejarah yang mendalami ruang, infrastruktur, dan persepsi inderawi melalui riset dan fiksi. Di sela-sela kesehariannya membersamai anak dan menyelesaikan studi doktoral, ia mengelola klub baca “Arisan Buku” di Banda Aceh sejak 2018. Karya fiksinya meliputi ‘Perkara Keramat’ (2024) dan ‘Cerita dari Sebelah Masjid Raya‘ (2024).
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















