“Tahu enggak, kemarin ada kepala desa di Jawa Timur yang nyuruh warganya mengungsi karena bakal ada karnaval sound horeg?” tanya teman kantor saya suatu pagi.
“Coba deh tanya Sonia yang orang Jember,” celetuk yang lain. Saya menarik napas panjang.
“Sejujurnya, saya muak,” jawab saya—yang entah kenapa malah memancing tawa di seisi ruangan.
Namun memang begitulah kenyataannya. Kemuakan ini bukan candaan. Setiap kali muncul berita soal sound horeg—apalagi yang memprihatinkan, seperti perempuan meninggal karena henti jantung usai nonton karnaval, dinding atau kaca warga retak dan dilakban, saya semakin marah. Sekarang, setiap lihat konten viral tentang horeg, saya otomatis skip. Refleks.
Belakangan kemarahan saya memasuki babak baru. Sound horeg diglorifikasi, dielu-elukan, bahkan so-called-penemunya, Ahmad Abdul Aziz, alias Thomas Alva Edi-sound laris manis jadi subjek pemberitaan media massa. Ya benar, bukannya menemukan bohlam, dia dianggap peracik jenius di balik dentuman maut sound horeg. Kabarnya, ia hanya tidur 1–3 jam sehari demi tampil di berbagai hajatan.
Saya pun tumbuh akrab dengan dentuman musik sejak kecil. Namun, sound horeg hari-hari ini bukan lagi soal hiburan. Ini perlombaan siapa paling berisik. Siapa yang bikin kaca rumah tetangga retak, genteng goyang, atau minimal bikin ayam tetangga stres, dialah “jagoan”.
Dulu, dentuman speaker besar saat Agustusan atau hajatan masih bisa ditoleransi. Sekarang? Dentumannya sampai bikin jantung serasa lompat. Subwoofer-nya seperti menembak dari dada ke langit-langit. Tubuh bergetar bukan karena ingin joget, tapi karena diserbu gelombang suara brutal. Perut mual, kuping berdengung berhari-hari mendengar paparan suara 100-135 desibel—WHO saja bikin ambang batas manusia 85 desibel.
Dan ya, dalam bahasa Jawa, “horeg” memang berarti ramai, gaduh, atau heboh. Sayangnya, sekarang horeg bukan lagi riuh yang membahagiakan—melainkan teror yang menyesakkan.
Baca juga: Konser Dangdut Koplo: Wadah Nostalgia Kaum Urban Jawa
Sebenar-benarnya Polusi pada Telinga, Kesehatan Manusia, dan Lingkungan
Saya paham, semua orang butuh hiburan. Apalagi belakangan hidup sebagai WNI memang berat. Akan tetapi ketika hiburan mengganggu ketenangan warga, apalagi berdampak pada kesehatan, masih layakkah disebut hiburan?
Melansir riset Asfarina Prihandini dan Jodii Arlan Kurnia bertajuk “Fenomena Sound Horeg dan Ancaman Tersembunyi: Kajian Hipotetik NIHL dan Dampak Pada Fungsi Kognitif” (2025), kebisingan seperti sound horeg bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen (Noise-Induced Hearing Loss/NIHL), stres kronis, kecemasan, hingga gangguan sistem saraf. Anak-anak yang terpapar suara bising berkepanjangan berisiko mengalami penurunan konsentrasi, keterlambatan bicara, dan gangguan fungsi kognitif.
Belum lagi cerita-cerita tragis yang menyertainya. Warga disarankan “mengungsi” dari rumah sendiri kalau merasa terganggu. Namun enggak semua orang punya kemewahan untuk mengungsi. Lansia, ibu hamil, anak kecil—mereka yang paling rentan justru harus menanggung risiko terbesar.
Yang lebih menyedihkan, kini sound horeg menjalar ke pantai. Bahkan kawasan laut pun tak luput dari dentuman ini. Prof. Dietriech G. Bengen dari IPB University menyatakan, suara bising di laut bisa mengganggu navigasi, migrasi, dan reproduksi satwa laut. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak rantai ekosistem.
Jadi, kalau sound horeg sudah mengganggu darat dan laut, masihkah ini dianggap sekadar hobi atau bentuk “seni”?
Baca juga: Dangdut Koplo ala Denny Caknan: Usaha Bikin Bahasa Jawa Jadi ‘Muda’
Apa Benar Enggak Ada Solusinya?
Sound horeg bukan hanya jadi sumber stres, tapi juga potensi konflik sosial. Eko Mariyono, warga Kediri, pernah mengkritik keras acara sound system yang meresahkan warga. Akibatnya, rumahnya diteror dentuman langsung yang diarahkan ke rumahnya. Ia juga menerima rentetan intimidasi, ancaman didatangi ke rumah, di-doxing, bahkan nyaris dikeroyok. Di kampung sendiri, suara warga seperti Eko malah dibungkam dengan suara lebih keras. Ironis.
Di Jember, tempat saya lahir dan dibesarkan, fenomena ini bahkan sudah masuk ke ruang politik. Dalam kampanye terakhirnya, Gus Fawait—kini Bupati Jember—secara terbuka mendukung komunitas sound horeg. Ia menyebut sound horeg sebagai wujud seni dan potensi ekonomi daerah.
Saya tak yakin beliau pernah merasakan kaca jendela bergetar pukul lima pagi, atau melihat anak menangis karena tak bisa tidur semalaman.
Setiap Minggu pagi, rombongan sound horeg melintas depan rumah saya menuju Pantai Watu Ulo. Suaranya terdengar sejak dua gang sebelum dan dua gang sesudah rumah. Kalau kebetulan sedang Ramadan, mereka lewat habis sahur. Mungkin beginilah bentuk ujian kesabaran di bulan suci.
Teman saya, “Grace”, 27, juga sering mengeluh. Sound horeg sering lewat pas ia beribadah di gereja. Khotbah tak terdengar, jendela bergetar. “Bonus getaran ilahi,” katanya setengah pasrah.
Baca juga: Denny Caknan, Domestifikasi Perempuan, dan ‘Red Flag’ Mas-mas Jawa Misoginis
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur sendiri bahkan telah mengeluarkan fatwa haram untuk sound horeg. Sayangnya, realitas di lapangan berkata lain. Agustus tiba, karnaval dan lomba 17-an merajalela. Rombongan dentuman pun bersiap unjuk gigi.
Ketika ditanya soal polemik ini, Gus Fawait mengaku masih menunggu arahan dari Gubernur Khofifah. Sambil berseloroh, katanya, “Kalau memang keras dan mengganggu, nanti kita siapkan area khusus di Watu Ulo. Biar bisa saingan sama Nyi Roro Kidul.”
Pak, kalau Nyi Roro Kidul bisa marah, saya yakin dentumannya enggak main-main.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















