December 5, 2025
Issues

Stasiun Duri: Jejak Perjalanan dan Ruang Sosial Transpuan di Jakarta

Bagi komunitas transpuan, Stasiun Duri ini adalah ruang sosial yang menyimpan sejarah panjang tentang perjuangan, solidaritas, dan identitas mereka di tengah perubahan kota Jakarta.

  • March 6, 2025
  • 5 min read
  • 2158 Views
Stasiun Duri: Jejak Perjalanan dan Ruang Sosial Transpuan di Jakarta

Di tengah hiruk-pikuk Stasiun Duri, Jakarta Barat, komunitas transpuan telah lama menjadikan tempat ini lebih dari titik transit. Mereka menyebutnya “kereta kencana KRL Stasiun Duri”, sebuah istilah yang mencerminkan peran vital stasiun ini dalam kehidupan mereka. Lebih dari sekadar tempat naik turun kereta, Duri adalah titik kumpul, tempat mencari penghidupan, dan bagian dari identitas mereka.

Menyadari peran penting Stasini, QLC Jakarta—sebuah komunitas yang berfokus pada penyediaan ruang aman dan inklusif—mengadakan tur khusus untuk menelusuri jejak perjalanan komunitas transpuan di sekitar stasiun. Bekerja sama dengan Teater Manekin, mereka mengajak 20 peserta dalam tur bertajuk “Jali-Jali Soleram” (Jalan-Jalan Sore) pada Minggu, 23 Februari lalu. Tur ini menghidupkan Kembali sejarah transpuan yang telah menetap dan berkembang di area sekitar Stasiun Duri sejak 1980-an hingga awal 2000-an.

Dipandu oleh Mama Atta dan Erika, dua sosok transpuan yang telah lama menjadi bagian dari komunitas ini, tur ini menjadi ruang untuk berbagi cerita. Sepanjang perjalanan, mereka menuturkan kisah suka dan duka tentang bagaimana Stasiun Duri dan sekitarnya menjadi saksi bisu kehidupan mereka di tengah kerasnya ibu kota. Tak hanya membuka mata peserta terhadap realitas yang dihadapi transpuan akar rumput, tur ini juga bertujuan menggalang dana agar Teater Manekin tetap berjalan sebagai wadah ekspresi seni komunitas transpuan.

Baca juga: Transpuan Lawan Patriarki Bersama Swara

Taman Angsa dan ruang sosial yang hilang

Sejak didirikan pada 1899, Stasiun Duri telah mengalami berbagai transformasi, termasuk pergeseran fungsinya dari pusat transportasi menjadi ruang sosial bagi komunitas transpuan. Pada masanya, kawasan sekitar stasiun pernah menjadi lokalisasi sebelum kemudian berubah menjadi tempat berkumpul transpuan yang mencari nafkah sebagai pengamen jalanan.

Di jembatan sebelah kanan Stasiun Duri, terdapat lapangan yang kini menjadi arena bermain anak-anak. Dulu, komunitas transpuan menyebut area ini Taman Angsa, tempat mereka mencari penghidupan sebagai pekerja seks sebelum lokalisasi ditertibkan dan operasi KRL dimodernisasi.

“Disebut Taman Angsa karena, kan kami sudah dendong (dandan) cantik-cantik, terus harus ke semak belukar sama temong (tamu kencan), jadi kayak angsa yang ada di rawa-rawa,” kata Mama Atta sambil terbahak.

Namun, tempat ini juga menyimpan kisah penuh risiko. Erika mengenang bagaimana mereka harus menghindari razia polisi yang biasa dilakukan pada hari Selasa dan Kamis. Kadang-kadang, untuk menghindari penertiban, mereka terpaksa bersembunyi di gorong-gorong bawah jembatan, bertahan dengan bau kali yang menyengat.

Tak hanya aparat, mereka juga kerap menghadapi perlakuan buruk dari warga sekitar. Mama Atta mengingat bagaimana anak-anak sering memanggil mereka “makhluk halus” dan melempari batu. Namun, solidaritas di antara mereka tetap kuat. Mereka saling menjaga dan mendukung satu sama lain agar tetap aman di lingkungan yang sering kali tidak ramah.

Kini, dengan semakin ketatnya pengawasan dan perubahan infrastruktur, ruang-ruang sosial seperti Taman Angsa mulai menghilang. Namun, ingatan akan tempat ini tetap hidup dalam cerita para transpuan, sebagai simbol kebebasan dan kebersamaan yang telah lama mereka bangun.

Baca juga: 15 Tahun Tanpa Identitas, Transpuan Jogja Dapat Kado E-KTP

Perubahan ruang dan identitas komunitas transpuan

Dulu, Stasiun Duri memiliki banyak ruang aman yang menjadi titik kumpul komunitas transpuan dan kelompok LGBT lainnya. Jembatan yang menghubungkan taman di blok sebelah dikenal sebagai Kebun Sayur, tempat komunitas gay bertemu, berkencan, atau mencari nafkah. Namun, kini area itu terbengkalai.

Pembangunan jembatan parkir yang lebih lebar juga menghilangkan pohon-pohon asam peninggalan Belanda yang dulu menjadi tempat mereka bernaung dan mencari nafkah secara sembunyi-sembunyi.

“Aku dulu pernah terima temong (tamu kencan) di bawah jembatan, dulu tidak sekotor ini sih, yah buat penglaris, seribu dua ribu diterima saja,” ujar Erika.

Salah satu peserta tur bertanya bagaimana mereka bertemu dengan tamu sebelum ada teknologi seperti sekarang. Mama Atta dan Erika pun bernostalgia, menceritakan bagaimana mereka sering bertemu di Bioskop Sinar, yang dulu berada di seberang stasiun.

“Si Erika dulu pura-pura mondar-mandir ke toilet biar diliatin cowok-cowok,” ujar Mama Atta sambil terkikik geli.

Bioskop ini menjadi ruang interaksi sosial bagi komunitas transpuan, terutama saat pertunjukan midnight show pada malam Minggu. Kini, bioskop itu telah beralih fungsi menjadi pabrik garmen, menandai hilangnya satu lagi ruang sosial yang pernah menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Baca juga: Sejarah Istilah “Transpuan” dan Perjuangan Keadilan di Dalamnya

Ruang tinggal dan kehidupan sehari-hari

Banyak transpuan yang tinggal di pemukiman di seberang kali, yang kini berubah menjadi area pasar. Salah satu gang di kawasan ini bahkan dikenal dengan sebutan Gang Banci, menandakan sejarah panjang komunitas ini di sana. Namun, meski memiliki tempat tinggal, mereka masih menghadapi tantangan ekonomi.

“Masih ada beberapa waria yang tinggal di pelosok pasar, satu kontrakan dihargai sekitar Rp300-350 ribu per bulan, itu pun masih nyicil,” ujar seorang warga Kampung Duri yang memiliki kos dan kontrakan di sekitar area tersebut.

Dulu, ketika pabrik kayu di sekitar Duri masih beroperasi, tidak ada transpuan yang bekerja di sana. Mama Atta mengenang bagaimana di era 70-an kehidupan mereka justru lebih “makmur,” bahkan ada yang mendapat rumah dari pasangan mereka. Kini, dengan semakin terbatasnya pilihan pekerjaan, sebagian besar dari mereka bertahan sebagai pengamen atau pekerja seni di komunitas mereka sendiri.

Seorang pemilik kontrakan di Kampung Duri bahkan menyewakan boombox (speaker musik) kepada transpuan yang mengamen dengan tarif Rp15 ribu per hari. Selain alat musik, ia juga memberikan jaminan keamanan agar mereka dapat bekerja tanpa gangguan. Di tengah tekanan sosial dan ekonomi, dukungan masyarakat sekitar sangat membantu mereka untuk bertahan dan menjaga keberadaan.

Baca Juga: ICJR: Penempatan Transpuan di Sel Laki-laki Tidak Manusiawi

Stasiun Duri yang berubah, kenangan yang tetap hidup

Bagi komunitas transpuan, Stasiun Duri adalah lebih dari sekadar persimpangan jalur kereta. Ini adalah ruang yang menyimpan kenangan tentang kebersamaan, perjuangan, dan adaptasi terhadap perubahan. Kini, dengan berbagai pembangunan yang terjadi, banyak jejak sejarah mereka yang mulai memudar.

“Pasar yang dulu menyatu dengan rel kereta mirip suasana pasar rel di Thailand itu, loh,” ujar Mama Atta, meski ia belum pernah ke negara itu.

Namun, selama masih ada yang mengingat dan menceritakan kisah mereka, Stasiun Duri tetap menjadi simbol perjalanan panjang komunitas transpuan dalam menghadapi tantangan dan merayakan eksistensi mereka. Meski ruang mereka semakin terbatas, semangat mereka untuk terus bertahan tidak akan pernah pudar.

Riska Carolina adalah peserta tur Jali-Jali Soleram, juga Advocacy Officer dari ASEAN SOGIE Caucus (ASC) dan Chairperson dari Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC Indonesia).

About Author

Riska Carolina

Riska Carolina, feminis, pembela HAM, dan advokat untuk studi seksualitas, bercita-cita jadi ahli hukum seksualitas—memang belum profesor, hanya provokator yang ingin menjembatani hukum dan seksualitas.

Leave a Reply