Health

Ironi Kesehatan Mental: Ketika Negara Justru Menambah Beban Pikiran Warganya

Dari minimnya akses layanan hingga korupsi yang marak, bagaimana masyarakat bisa lepas dari beban mental ketika negara justru memperberatnya?

Avatar
  • March 6, 2025
  • 4 min read
  • 2419 Views
Ironi Kesehatan Mental: Ketika Negara Justru Menambah Beban Pikiran Warganya

Kesehatan mental kini menjadi topik yang kerap dibahas. Seminar digelar, webinar diadakan, influencer berlomba-lomba membagikan tips menjaga kesehatan jiwa. Namun, satu hal tampaknya masih bertentangan dengan kampanye ini: negara sendiri. Bagaimana masyarakat bisa lepas dari stigma kesehatan mental jika kebijakan negara justru memperberat beban pikiran mereka?

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 20 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan mental, tetapi hanya sedikit yang dapat mengakses layanan kesehatan jiwa. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional meningkat setiap tahun, tetapi anggaran kesehatan jiwa dalam angaran negara masih minim.

 

Kementerian Kesehatan menghadapi sejumlah tantangan, seperti keterbatasan jumlah psikolog dan psikiater yang terkonsentrasi di kota-kota besar, serta kurangnya ketersediaan obat di puskesmas. Untuk mengatasi ini, Kemenkes memperkenalkan  inisiatif Pertolongan Pertama Pada Luka Psikologis (P3LP). Tetapi inisiatif ini tidak cukup jika sistem utama masih bermasalah.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan, hanya 2,6 persen remaja dengan masalah kesehatan mental yang pernah mengakses layanan tersebut dalam setahun terakhir. Ini bukan karena mereka tidak ingin mencari bantuan, tetapi lebih karena akses yang terbatas dan stigma yang masih kuat.

Tenaga profesional di bidang kesehatan mental juga masih jauh dari mencukupi. Indonesia hanya memiliki 1.053 psikiater dan 2.917 psikolog klinis, jumlah yang sangat tidak memadai dibandingkan kebutuhan populasi.

Baca juga: Kesehatan Mental Mulai Banyak Dibicarakan, tapi Stigma Tetap Ada

Kebijakan yang Menciptakan Lingkungan Tidak Sehat

Teori psikologi, seperti “Hierarki Kebutuhan” Maslow, menunjukkan bahwa kesejahteraan mental sangat dipengaruhi oleh stabilitas ekonomi dan sosial. Sayangnya, kebijakan negara justru membuat rakyat berada di zona stres tinggi.

Bagaimana mungkin masyarakat bisa berpikir positif jika harga kebutuhan pokok melonjak, sementara upah stagnan? Bagaimana mungkin kita mengurangi depresi jika jam kerja eksploitatif semakin dianggap normal dan cuti malah dipersulit? Bagaimana mungkin kesehatan mental tetap terjaga ketika maraknya PHK terjadi beriringan dengan skandal korupsi yang terus mencuat?

Selain ekonomi, regulasi yang mengatur layanan kesehatan mental juga tidak berpihak pada rakyat. Biaya psikolog mahal dan tidak semua asuransi kesehatan mencakup layanan ini. Program BPJS memang mencakup beberapa layanan kesehatan mental, tetapi dengan syarat yang rumit dan antrean yang panjang.

Lalu ada juga stigma. Pemerintah dan berbagai lembaga terus mengampanyekan kesadaran kesehatan mental (mental health awareness), tetapi stigma tetap kuat. Individu dengan gangguan mental masih dipandang sebagai beban masyarakat. Bahkan, praktik pemasungan masih ditemukan di beberapa daerah, meskipun Undang-Undang Kesehatan Jiwa 2014 melarangnya.

Sayangnya, implementasi hukum di Indonesia sering kali lebih abstrak daripada konsep kebahagiaan sejati. Regulasi yang ada seolah hanya menjadi formalitas tanpa perubahan nyata di lapangan.

Baca juga: Kenapa Anak Muda dengan HIV Rentan Alami Gangguan Kesehatan Mental?

Kampanye positif yang kontradiktif dengan kenyataan

Pada awal 2025, pemerintah Indonesia tampak semakin gencar menggalakkan kampanye kesehatan mental. Masyarakat diajak untuk hidup bahagia, berpikir positif, dan menjauhi stres. Namun, ironinya, kebijakan yang diterapkan justru memperparah kecemasan kolektif. Skandal korupsi terus bermunculan dan semakin mengkhawatirkan. Pejabat yang terlibat masih menggunakan modus lama, hanya dengan pemain baru. Ini menambah ketidakpastian dan kekhawatiran di masyarakat yang sudah cukup terbebani oleh permasalahan ekonomi.

Sejatinya, ada banyak langkah yang bisa diambil untuk memperbaiki kondisi ini. Negara dapat meningkatkan anggaran layanan kesehatan mental agar akses lebih luas, menyediakan pelatihan kesehatan mental bagi tenaga kerja untuk mencegah stres di lingkungan kerja, serta memastikan kebijakan ekonomi tidak semakin menekan psikologis masyarakat. Namun, pertanyaannya, apakah pemerintah mau melakukan hal ini? Atau apakah kita hanya akan terus mengandalkan motivasi di Instagram dan afirmasi positif sebagai solusi, sementara sistem terus memperburuk kondisi mental kita?

Menuntaskan stigma kesehatan mental di negara yang tidak peduli ibarat menyuruh seseorang berlari dengan kaki terikat. Kita bisa terus mengadakan seminar dan kampanye tentang kesehatan mental, tetapi jika faktor-faktor pemicu gangguan mental tidak diatasi, maka yang tersisa hanyalah slogan kosong. Selama ini, pemerintah lebih sibuk menambal dampak dari keputusan-keputusan keliru yang mereka buat sendiri. Ketika tingkat kecemasan meningkat akibat ketidakpastian ekonomi, kejahatan yang tak terkendali, serta kebijakan kesehatan yang setengah hati, mereka malah mengajak masyarakat untuk “berpikir positif.”

Baca juga: Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Alasan Perempuan Karier Lebih Rentan Alami Gangguan Mental

Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Sayangnya, keadilan itu tampaknya tak pernah sampai ke meja perumusan kebijakan. Kesehatan mental masyarakat terus dipertaruhkan, bukan hanya karena pola hidup, tetapi karena keputusan-keputusan yang lebih banyak menguntungkan segelintir orang. Sementara itu, kecemasan terus menggerogoti pikiran publik—bukan karena kurangnya edukasi soal kesehatan mental, tetapi karena terlalu banyak kebohongan yang disajikan dengan brutalnya.

Jika kebijakan negara terus menutup mata terhadap realitas ini, jangan heran jika negeri ini semakin dipenuhi orang-orang yang sakit—bukan hanya tubuhnya, tetapi juga harapannya.

Foggy FF adalah novelis dan cerpenis, aktif berkampanye tentang isu kesehatan mental dan pemberdayaan perempuan.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
Avatar
About Author

Foggy FF

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *