Evaluasi Subsidi Kendaraan Listrik yang Masih Jauh dari Orang Miskin
Bahkan setelah diskon, sepeda motor listrik masih mahal bagi masyarakat miskin.
Maret lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi untuk 14 jenis sepeda motor listrik. Targetnya, dengan memberikan potongan harga sebesar Rp 7 juta, kuota 200 ribu unit motor listrik bisa terserap hingga akhir tahun.
Pemerintah menggunakan kebijakan subsidi ini untuk mencapai dua tujuan sekaligus: mendorong pembelian kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) oleh masyarakat miskin dan mencapai target titik kritis 5-10 persen dari total penjualan kendaraan pribadi.
Sayangnya, pemerintah tidak mengkaji apakah masyarakat miskin mau membeli sepeda motor listrik atau tidak. Sejumlah pemberitaan menyebutkan bahwa program ini sepi peminat. Bahkan setelah diskon, sepeda motor listrik masih mahal bagi masyarakat miskin.
Baca juga: Dilema Pelaju Jakarta, Berdamai dengan Jarak dan Transportasi Minim
Mendorong Adopsi Awal
Pada 31 Mei 2023, kami menghadiri media briefing yang diadakan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) di Hotel Sari Pacific, Jakarta. Acara tersebut menjabarkan kebijakan percepatan adopsi kendaraan listrik guna mendukung kelangsungan industri otomotif di Indonesia di era transisi energi.
Kemenko Marves menekankan bahwa kendaraan listrik adalah titik bersejarah, yakni saat pemain lama di industri mobil tradisional pun harus belajar dari awal kembali mengenai industri ini. Sementara, para panelis memberikan tanggapan terkait dampak positif EV terhadap lingkungan, serta mengingatkan agar Indonesia tidak kehilangan momentum mengingat negara ASEAN lainnya juga tengah berusaha memperebutkan investor EV.
Dalam acara tersebut, Deputi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimudin, mengutip analisis Bloomberg, menjelaskan tentang pentingnya mengejar adopsi 5-10 persen pengguna EV dari total kendaraan pribadi. Menurutnya, setelah mencapai titik kritis 5-10 persen, penjualan EV akan meningkat drastis seperti halnya yang terjadi di Cina dan Eropa.
Menyadari bahwa mobil EV masih lebih mahal sekitar 30-40 persen dibanding Internal Combustion Engines (ICE) kendaraan berbasis bensin atau di kelas yang sama, beberapa insentif kemudian ditawarkan untuk menggenjot pembelian.
Ini misalnya berupa insentif pajak pertambahan nilai (PPN) 1 persen untuk kendaraan roda empat dan bus. Ada juga bantuan potongan harga untuk konversi kendaraan dan bantuan potongan harga bagi pembeli kendaraan listrik roda dua, masing-masing sebesar Rp 7 juta.
Baca juga: Gowes ke Kantor Bukan Soal Gaya, Ini Tips Agar Lebih Nyaman Melakukannya
Masih Perlu Fokus
Sayangnya, kami melihat kebijakan yang dijelaskan dengan baik hanyalah insentif subsidi pembelian kendaraan. Para narasumber memang menyebut kebijakan-kebijakan lain seperti kebijakan prokendaraan umum, kebijakan percepatan konversi kendaraan tradisional ke EV, dan kebijakan infrastruktur pengisian daya.
Namun kebijakan turunannya tidak dijabarkan secara spesifik, termasuk anggaran yang dialokasikan untuk masing-masing kebijakan. Insentif subsidi uang tunai bagi pembeli kendaraan listrik seperti tertuang pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2023 memiliki beberapa persyaratan, di antaranya penerima subsidi harus terdaftar sebagai penerima manfaat kredit usaha rakyat, bantuan produktif usaha mikro, bantuan subsidi upah, dan penerima subsidi listrik sampai dengan 900 VA.
Ini berarti kebijakan subsidi tersebut pada dasarnya memiliki setidaknya tujuan lain selain mempercepat pencapaian target titik kritis 10 persen, yaitu untuk membantu masyarakat tidak mampu.
Pertanyaannya, seberapa penting subsidi pembelian EV bagi masyarakat kurang mampu?
Setelah diberi subsidi, motor listrik dibanderol dengan harga Rp9 jutaan untuk model Agast, Scood, dan Aero, hingga Rp26,9 jutaan untuk model TX1800 A/T. Di sisi lain, harga jual motor berbasis bensin termurah untuk model Beat, Mio, dan Vario dengan volume silinder 125 cc adalah Rp16 juta, Rp17 juta, dan Rp21 juta.
Walaupun lebih murah dibanding motor berbasis bensin, harga ini masih relatif mahal untuk masyarakat miskin. Sebab, masyarakat masih memiliki opsi untuk membeli motor bekas yang harganya, berdasarkan pantauan dari situs penjualan daring, bahkan bisa di bawah Rp5 juta untuk motor berusia di bawah 5 tahun. Belum lagi, persepsi masyarakat, misalnya terkait perawatan dan kemampuan daya listrik di rumah masing-masing untuk menyetrum kendaraan listrik, bisa saja memengaruhi intensi para target konsumen.
Di samping itu, proses verifikasi berkas tersebut memakan waktu sampai lebih dari satu bulan, sehingga mengurangi daya tarik motor listrik baik bagi pembeli maupun penjual.
Berdasarkan Sistem Informasi Pemberian Bantuan Pembelian Kendaraan Listrik Roda Dua (Sisapira), realisasi subsidi motor listrik hingga 23 Juni 2023 baru mencapai 812 unit terdaftar. Ini jauh dari target pemerintah untuk menyalurkan 200.000 unit motor listrik bersubsidi hingga akhir tahun.
Bisa jadi, syarat subsidi pembelian EV yang menargetkan masyarakat tidak mampu justru berisiko memperlambat tercapainya critical threshold 5-10 persen.
Hilirisasi Nikel yang Terlupakan?
Sebaliknya, ada satu tujuan kebijakan yang tidak mendapat pembahasan yang cukup di acara ini: akses pasar pada produk hilirisasi nikel yaitu sel baterai. Salah satu target hilirisasi sebenarnya tercermin dari persyaratan 40 persen Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) bagi produk penerima subsidi. Artinya, sebagian komponen kendaraan tersebut harus berasal dari material yang bersumber dari dalam negeri.
Hal ini tentunya patut dipertanyakan, mengingat beberapa produk yang mendapatkan insentif adalah kendaraan yang menggunakan baterai tanpa nikel. Padahal, diramalkan produksi hilirisasi nikel Indonesia akan menyebabkan kelebihan suplai sampai 2027.
Jika ingin memaksimalkan nilai tambah dalam negeri, maka penyerapannya di industri di dalam negeri harus optimal.
Memberikan subsidi pada semua kendaraan listrik tentu tepat apabila tujuannya adalah secepatnya mengejar adopsi massal. Namun, memberikan subsidi kendaraan yang baterainya bukan termasuk produk hilirisasi nikel bisa jadi berlawanan dengan semangat hilirisasi.
Baca juga: Saat di Lautan Tak Ada Lagi Ikan
Sebuah Gestur Positif
Secara umum, kami melihat acara ini sebagai gestur positif dari pemerintah karena membuka ruang diskusi pada kebijakan yang sangat strategis untuk mempercepat transisi energi terbarukan dan kemajuan industri nasional secara umum. Acara ini memberi fokus pada kebijakan subsidi pembelian EV seperti subsidi tunai dan potongan PPN.
Agar subsidi mampu meningkatkan adopsi massal EV di Indonesia, maka pemerintah perlu memiliki target yang lebih terarah dan melakukan evaluasi terhadap dua hal.
Pertama, pemerintah perlu merancang sistem yang lebih baik agar distributor dan bengkel tidak perlu menanggung subsidi sebelum diganti ongkosnya oleh pemerintah. Hal ini penting mengingat pencairan pembayaran program lain yang serupa acapkali bermasalah. Di samping itu, mekanisme penalangan oleh distributor memunculkan insentif untuk memasarkan produk non-subsidi ketimbang subsidi.
Atau kedua, subjek penerima subsidi yang awalnya hanya diberikan kepada masyarakat miskin dapat diperluas ke masyarakat umum. Walaupun berpotensi kontroversial, hal ini berpotensi memperluas penerima manfaat sekaligus mempercepat proses karena verifikasi dokumen tidak lagi diperlukan.
Ketiga, pemerintah dapat mulai mengkaji lebih jauh kapan target titik kritis ini hendak dicapai. Dengan adanya target, pemerintah dapat mempersiapkan kapan subsidi ini akan dikurangi secara perlahan. Ruang fiskal yang ada kemudian dapat dialokasikan untuk prioritas lain untuk mempercepat transformasi EV secara umum.
Transisi ke sepeda motor listrik dapat dikatakan sebagai low hanging fruit atau target yang relatif mudah dijangkau. Sebab, sepeda motor merupakan moda transportasi populer di Indonesia.
Secara teknologi, sepeda motor listrik juga lebih sederhana dan terjangkau dibandingkan kendaraan roda empat. Potensi dimasuki oleh pemain domestik juga lebih besar. Karena itu, sepeda motor semestinya dapat menjadi langkah awal yang baik dalam menyukseskan transformasi kendaraan listrik di Indonesia secara umum.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.