Issues

Sunat Perempuan dalam Islam: Tak Wajib, Praktiknya Bergantung Tradisi

Lemahnya hadis dan tidak adanya kemaslahatan membuat praktik sunat perempuan dapat ditolak untuk dilakukan.

Avatar
  • October 1, 2021
  • 4 min read
  • 1404 Views
Sunat Perempuan dalam Islam: Tak Wajib, Praktiknya Bergantung Tradisi

Kisah sunat perempuan disuarakan oleh berbagai orang di belahan dunia. Salah satunya datang dari seorang perempuan di Mesir, yang dipaksa sunat oleh keluarganya. Mereka adalah satu dari sekian banyak masyarakat muslim konservatif di sana, yang menganggap sunat sebagai tanda perempuan siap menikah dan tidak lagi dipandang kotor. Mirisnya lagi, bagian tubuhnya itu dibuang begitu saja oleh sang bidan dan dimakan sekelompok ayam peliharaan.

Mungkin sebagian masyarakat masih menganggap sunat yang dilakukan laki-laki sama dengan perempuan. Kenyataannya tidak. Jika sunat laki-laki bertujuan menjaga kebersihan dan kesehatan area penis, sunat perempuan tidak memiliki manfaat yang sama.

 

 

Tindakan ini justru bentuk perlukaan terhadap alat kelamin perempuan, sebagaimana dijelaskan oleh World Health Organization (WHO). Pemotongan/Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) justru melanggar hak asasi perempuan.

Namun, tak sedikit menganggap sunat pada anak perempuan itu sesuai dengan alasan ajaran Islam.

Menanggapi hal ini, Direktur RAHIMA, Pera Soparianti menyatakan bahwa Islam tidak menetapkan hukum wajib bagi perempuan untuk disunat.

“Dalam hal ini, ilat antara laki-laki dan perempuan tidak asma, bahkan berseberangan,” jelasnya dalam Diskusi Publik Membangun Kolaborasi Multi Pihak untuk P2GP di Indonesia pada (30/9).

Baca Juga: Medikalisasi Sunat Perempuan Perlu Dihentikan

Perbedaan Pendapat Para Ulama

Para ulama memandang kewajiban sunat perempuan berlandaskan fikih dari berbagai perspektif, seperti yang mengikuti mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. 

Berdasarkan perbedaan sudut pandang yang dipengaruhi oleh cara mereka memahami teks, ada yang menganggap sunat itu mubah—boleh dilakukan boleh tidak, dan makrumah (memuliakan), sehingga pelarangannya dianggap berlawanan dengan syiar Islam.

Menurut Pera, ulama yang mewajibkan sunat perempuan itu merujuk pada Surat An-Nahl Ayat 123 yang berbunyi, “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.” Namun, cendekiawan muslim asal Mesir, Yusuf al-Qaradawi  menentang ayat tersebut sebagai dasar hukum iman, karena semestinya ayat ini dipahami menyoroti hal yang bersifat lebih utama, yaitu keesaan Allah.

Kemudian, para ulama yang mewajibkan itu juga menyandarkan ajarannya pada hadis, salah satunya yang diriwayatkan Abu Hurairah tentang lima sunnah fitrah, di antaranya ialah sunat, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis.

“Menariknya, dari kelima sunnah itu hanya sunat yang paling dianjurkan,” ujar Pera. 

Menurut para ulama kontemporer, hadis tersebut tidak spesifik merujuk pada sunat perempuan dan tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Ini disebabkan dalam hadis tersebut, konteksnya adalah membersihkan area tubuh, sehingga praktiknya lebih mengarah ke fungsi sunat laki-laki, yakni menjaga kesehatan area penis.

Lalu, ada hadis dari Ummu Athiyah. Diceritakan seorang ahli sunat perempuan di Madinah yang menyunat anak-anak perempuan, diingatkan oleh Rasulullah untuk memotong bagian kecil saja, “ Wahai Ummu Athiyah, jangan berlebihan (ketika memotong) karena sesungguhnya hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih disukai oleh suami. Selain hadis Ummu Athiyah ini, ada juga hadis senada dari Abu Dawud. 

Kedua hadis tersebut dinilai daif atau lemah oleh para ulama, termasuk Ibnu Daud, karena yang meriwayatkannya tidak ada. Oleh karena kebanyakan yang mengatur sunat perempuan bersifat lemah, menurut para ulama ahli fikih kontemporer, hadis tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum, apalagi menghalalkan sesuatu yang sebenarnya dilarang, imbuh Pera.

Pada akhirnya, permasalahan ini dikembalikan kepada syariat, bagaimana muara dari hukum itu berupa kemaslahatan. Jika sunat perempuan tidak bermanfaat atau untuk kebaikan, seharusnya tindakan tersebut dapat ditolak untuk dilakukan.

Baca Juga: Khitan Perempuan di Indonesia: Praktik Supresif yang Dilematis

Sunat Perempuan Sebagai Tradisi, Bukan Ajaran Islam

Sebenarnya, sunat perempuan lebih tepat dikatakan sebagai tradisi, atau kebiasaan manusia, dibandingkan mengaitkan dengan ajaran Islam. 

“Perempuan yang disunat itu asalnya bukan dari ajaran Islam, tapi tradisi yang sudah dijalankan, jauh sebelum keberadaan Islam,” terang Pera. Ia menjelaskan, menurut al-Qaradawi, sunat dipandang kemuliaan bagi perempuan apabila dilihat baik bagi perempuan dalam tradisi tertentu.

Melansir BBC, warga komunitas Makassar yang tinggal di Jakarta Utara telah melakukannya turun temurun, diikuti penyelenggaraan pesta besar. Mereka memiliki kepercayaan jika anak perempuan tidak disunat, anak-anak itu akan bersikap genit terhadap banyak laki-laki. Setelah disunat, mereka bersikap baik dan sopan.

Guru Besar Universitas Yarsi, Jurnalis Udin, mengungkapkan kepada BBC, tradisi menyunat sulit dihilangkan di sejumlah komunitas masyarakat Sulawesi, dan masih dilakukan tanpa landasan hukum Islam.

Baca Juga: Tindik Telinga pada Bayi Perempuan

Namun, kepercayaan tersebut tetap dihubungkan dengan latar belakang mereka sebagai muslim. Mereka percaya niscaya penyunatan itu akan membuat pribadi anak perempuan “benar-benar muslim”.

“Makanya tidak ada teks dari agama yang mewajibkan, atau menganjurkannya. Jadi sunat bersifat kontekstual, tidak dapat digeneralisasi,” tuturnya.

Tradisi itu sesungguhnya dapat dihilangkan. Ketika ada temuan medis yang melihat tidak ada manfaat sunat perempuan, pada 2007 Mufti Mesir Syekh Ali Gomaa mengeluarkan fatwa sunat bagi perempuan yang dinyatakan haram.

Imam Besar Al Azhar University, Muhammad Sayyid Thanthawy pun menanggapi fatwa tersebut dengan menyatakan tidak ada alasan agama yang mengharuskan perempuan disunat. Terkait kemaslahatannya, ia mendasarkan penilaian kepada ahli medis.

Dengan demikian, sunat perempuan merupakan suatu tindakan yang dapat menerima perubahan, hukumnya tidak tetap dan bergantung pada bagaimana suatu daerah menafsirkannya, sehingga menjadikannya makrumah di ajaran Islam, atau tidak diwajibkan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *