Superbunda atau Superayah: Bantu Suami Sejati Masak Lebih Baik
Iklan Kecap ABC memuat representasi feminis yang cukup dominan.
Suatu malam, seorang ayah baru saja pulang kerja. Ia melihat putrinya sedang menggambar sambil menelungkup di lantai. Sementara di seberang sana, sang istri sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak.
Si Ayah bertanya, “Itu Adik, ya?” Adik pun menjawab gambar yang ada di hadapannya adalah Superbunda. Si Ayah kembali bertanya, ”Kekuatan Superbunda apa?” Adik menjawab, banyak: bangun pagi, kerja, masak.
“Kalau ayah?” lanjut Ayah yang penasaran dengan kekuatannya.
“Ayah cuma ngantor, Bunda sudah ngantor masih kuat masak,” jawab Adik.
Dengan raut wajah bersalah, menyesal, merasa tak berguna, dan tak lebih kuat dibanding istrinya, si Ayah mendekat ke dapur dan berkata: ”Maaf ya, enggak pernah bantu. Harusnya kalau kamu bisa kerja, aku juga bisa masak.”
Dengan raut heran, terkesima, dan berujung gembira, sang Istri menyodorkan sebotol kecap dan diikuti narasi di bagian akhir: Kecap ABC, bantu suami sejati masak lebih baik.
Iklan tersebut memuat representasi feminis cukup dominan. Melalui putri yang menggambar tokoh hero dalam imajinasinya, perempuan menarasikan, ia mengambil posisi sebagai subjek. Perempuan sedang menyusun sistem pengetahuan, yang sekaligus sebagai negosiasi maupun resistensi, terhadap pandangan dasar pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Pengetahuan ini yang kemudian oleh filsuf Michel Foucault disebut wacana. Berkaitan dengan wacana ini, para feminis melakukan representasi atau konstruksi imaji-imaji atau penyajian kembali kenyataan dalam bentuk visual maupun verbal.
Sebelum memperoleh kebebasan dalam berbagai bidang kehidupan, perempuan dulu masih terbatas pada kerja domestik seperti memasak, mengurus rumah, dan mendidik anak. Mereka tidak diberi kesempatan, atau setidaknya dibatasi, untuk akses ke ruang-ruang publik seperti halnya laki-laki di bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan. Kurang lebih ketiga bidang yang disebut terakhir ini yang menjadi tujuan kesetaraan feminisme gelombang kedua.
Kini, pada era yang ditandai dengan mudahnya pesan makanan dan minuman, perempuan seperti dalam iklan kecap di atas telah mendapatkan posisinya. Mereka telah bergerak dari yang domestik ke yang publik (meski ada gerakan yang ingin membawa perempuan kembali ke ranah domestik). Perempuan telah mampu bekerja di luar rumah dan mendapatkan gaji.
Baca juga: 8 Iklan Lokal dengan Isu Peran Gender dan Kecantikan yang Berbeda
Jika seorang perempuan mampu bekerja, hal yang mengiringnya tentu bahwa ia juga berpendidikan. Sekalipun dalam konteks ini, Simon de Beauvoir dalam konsep transendensinya mengatakan untuk menjadi perempuan yang otentik, salah satu langkahnya adalah dengan cara bekerja. Namun, ia juga mengkritik Karl Marx, yang menganggap perempuan yang bekerja dalam satu sisi telah masuk pada lubang kapitalisme. Sementara itu, konteks Bunda dalam iklan ini bisa menjadi persoalan lain. Anggapan lain barangkali bahwa perempuan telah melakukan pekerjaan yang dilakukan laki-laki. Seolah perempuan mirip atau hampir sama dengan laki-laki, dalam hal kekuatan maupun mungkin sifatnya. Hal ini yang dikhawatirkan tokoh laki-laki dalam cerita pendek berjudul “Oresteia” karya Nenden Lilis yang termuat dalam buku kumpulan cerpen Ruang Belakang.
Dalam cerpen tersebut, seorang perempuan sekaligus sebagai istri bermimpi, ada laki-laki yang sedang mencari perempuan. Sepanjang perjalanan ia terus menanyai setiap orang yang ditemui. Alasannya adalah banyak perempuan yang telah menjadi laki-laki. Artinya, mereka melakukan kegiatan yang sebelumnya hanya dilakukan laki-laki dan tidak mau lagi patuh. Perempuan bepergian bebas sekehendak hati, menghadiri rapat-rapat dan diskusi-diskusi, menciptakan penemuan, menduduki posisi penting di masyarakat, dan selalu membaca. Dalam mimpinya, perempuan mengungkapkan bahwa manusia terdiri dari perempuan dan laki-laki tidak bisa dimungkiri. Tapi yang satu bukan untuk mengalahkan yang lain. Setelah bangun, perempuan tersebut sadar bahwa dunia nyata belum berubah. Si suami masih menganggap istri harus patuh dan mau diatur. Tapi perempuan itu menolak, ia ingin bebas. Ia ingin menjadi perempuan seperti yang ada di mimpi.
Mimpi perempuan dalam cerpen yang sekaligus secara tidak langsung merupakan proyeksi pengarang telah diwujudkan oleh sosok Bunda dalam iklan kecap. Bunda yang telah berhasil melakukan cara yang disebut Beauvoir strategi transendensi melalui bekerja dan menjadi intelektual dalam rumah tangga. Bahkan Bunda juga telah mengatasi problematika gender yang disebut burden oleh Betty Freiden.
Baca juga: Black Lives Matter dan Bagaimana Dunia Iklan Bisa Dukung Kampanye Antirasialisme
Burden adalah pemberian beban kerja yang lebih panjang dan berat. Berdasarkan keterangan Adik, Superbunda adalah sosok perempuan dan ibu yang kuat. Bunda sudah bangun pagi menyiapkan segala kebutuhan Adik dan Ayah dan setelah itu berangkat kerja. Sepulang kerja, Bunda masih harus masak, artinya masih harus mengurus pekerjaan domestik pula. Sementara Ayah, kata Adik, hanya bekerja. Melalui pengatasan terhadap problem gender, Bunda dapat dikatakan berada dalam posisi menarasikan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan membaca ungkapan yang disampaikan oleh Ayah, yaitu “Harusnya kalau kamu bisa kerja, aku juga bisa masak.”
Kalimat tersebut dapat diartikan bahwa terdapat semacam pembalikan dan penggandaan peran. Bunda sebagai seorang ibu mempunyai kewajiban memasak, tapi ia juga sekaligus mampu bekerja. Sementara Ayah hanya bekerja saja. Oleh karena itu, narasinya adalah perempuan mengerjakan pekerjaan laki-laki, begitu juga sebaliknya. Bunda menjadi Superbunda yang kuat, yang sudah kerja tetap memasak, maka Ayah juga mestinya seperti Bunda, bekerja dan memasak. Bila demikian, bahwa laki-laki tidak hanya bekerja di ruang publik dan mendapat uang, ia juga dapat memasak ketika di rumah merupakan kriteria ideal dengan sebutan suami sejati. Bunda mencoba mengidealkan laki-laki dan suami yang sejati, yaitu bisa masak.
Seperti pernyataan dalam cerpen Oresteia, bahwa tidak ada yang membedakan laki-laki dengan perempuan kecuali urusan sex yaitu bahwa perempuan menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Selebihnya yang menyangkut gender adalah konstruksi sosial, bahwa soal pembagian kerja adalah kesepakatan, meski beberapa hal menjadi sebuah pemaksaan. Di wilayah pemaksaan itulah perempuan bersuara, menarasikan dirinya dan liyan. Jadi, dengan melihat Bunda dan Ayah, siapa yang lebih kuat? Superbunda yang digambarkan Adik sedang memegang laptop di tangan kanan dan sudip di tangan kirinya, atau Superayah yang hanya memegang sudip di tangan kirinya?