Lifestyle

Surat Cinta untuk Para Milenial, dari Gen X-er yang Lelah

Banyak dari generasi Milenial yang mengagumkan dan berprestasi, tapi cukup banyak yang tidak memiliki etos kerja yang baik.

Avatar
  • December 1, 2020
  • 8 min read
  • 816 Views
Surat Cinta untuk Para Milenial, dari Gen X-er yang Lelah

Dear Millennials,

Pertama-tama, saya mau bilang kalau sebenarnya saya, sebagai Gen X perbatasan (yang sempat disebut Xennial, tapi ternyata istilah itu tidak jadi ngetren), kagum pada banyak hal mengenai generasi kalian. Tanpa kalian, mungkin stigma mengenai kesehatan mental dan penyakit mental masih tinggi dalam masyarakat Indonesia. Tanpa kalian, mungkin tidak ada yang berusaha melucuti pola pikir patriarkal yang bukan cuma problematik, tetapi berbahaya bagi perempuan.

 

 

Dibandingkan Gen X pada umumnya, generasi Milenial berpikir lebih kritis, tidak lagi “menelan” saja pola pikir dan tradisi yang mengecilkan serta menekan kalian. Generasi saya perlu banyak mencontoh kalian dalam hal itu. Tetapi, terus terang di kalangan Gen X, generasi Milenial sering kali jadi sumber keluh kesah kami. Memang kami tidak bisa menyamaratakan satu generasi hanya karena ada beberapa yang menyusahkan. Hanya berhubung persentase yang membuat kami lelah cukup tinggi, untuk mewakili Gen X-er yang lelah, izinkan saya menulis surat ini dengan tidak mengurangi rasa hormat.

Sumber kelelahan kami para Gen X-er terutama berhubungan dengan etos kerja kalian. Kembali saya ingatkan, banyak dari kalian yang mempunyai etos kerja yang baik dan profesional. Tetapi kami juga menemukan cukup banyak Milenial yang tidak memahami the value of making an honest living, atau bekerja untuk menopang kehidupan. Kami harus akui, ini bukan 100 persen salah kalian juga. Kalian dibesarkan dengan orang tua yang ingin “balas dendam” dengan cara memberikan anak mereka semua yang mereka tidak dapatkan di masa kecil mereka, seperti validasi, penerimaan, persetujuan, pujian, dan lainnya.

Baca juga: Mengapa Anak Muda Jadi Semakin Perfeksionis?

Generasi Milenial adalah generasi pertama yang mendapatkan penghargaan cukup untuk hadir dan berpartisipasi. Sebenarnya tidak salah sih, tapi apresiasi berlebihan dapat menciptakan perasaan berhak yang membuat saat kalian masuk ke dunia kerja dan tidak ada yang memuji kalian di kala mengerjakan apa yang memang sudah seharusnya kalian kerjakan, kalian jadi tidak puas. Akhirnya, kalian jadi menuntut promosi sebelum waktunya, berpindah-pindah tempat kerja seenaknya karena selalu merasa “kurang diapresiasi”, atau bahkan jadi menuntut gaji awal yang terlalu tinggi, meskipun sebagai anak baru lulus kalian belum bisa membuktikan kalian bisa memberikan hasil yang setimpal dengan yang kalian tuntut.

Padahal, dalam pekerjaan apa pun—termasuk saat kalian punya usaha sendiri—kemungkinan besar tidak akan ada yang mengapresiasi saat kalian melakukan apa yang seharusnya kalian lakukan. Selama perusahaan masih membayar gaji kalian sesuai dengan pekerjaan yang kalian lakukan (kalian tidak “overworked and underpaid” istilahnya), gaji yang kalian dapatkan di akhir bulan adalah apresiasi yang cukup. Dan ingat, semakin besar gaji yang kalian minta atau dapatkan, semakin besar juga tuntutan yang harus kalian penuhi. Jadi kalau kalian bekerja keras tapi dapat gaji yang lumayan besar, kalian tetap diapresiasi, loh.

Kalau kalian merasa pekerjaan kalian tidak sesuai passion atau kalian tidak mau bekerja serius karena merasa pekerjaan yang sekarang tidak sesuai dengan mimpi atau potensi kalian, tanyakan sama diri sendiri: Apakah saya menerima gaji yang setimpal? Kalau jawabannya iya, just shut up and do your job. Do your job well.

Saya perhatikan juga, generasi Milenial yang dibesarkan dengan orang tua yang memuji mereka dengan berlebihan membuat mereka setelah dewasa jadi merasa hebat dalam segala hal. Dan kalau kami tidak selalu memuji dan mengagumi (apalagi malah mengkritik), kalian merasa kami tidak mendukung, dan bahkan kalian tuduh kami toksik dan dengki. Padahal kalau dipikir-pikir, mana sih yang lebih toksik, orang-orang yang bilang dengan jujur kalau kalian masih perlu memperbaiki diri, atau orang-orang yang selalu memuji tapi membiarkan kalian terjerumus di kemudian hari?

Bahayanya dipuji atau divalidasi berlebihan adalah karena pada kenyataannya, meskipun kita suka melakukan sesuatu, belum tentu kita punya bakat atau kemampuan lebih untuk dapat menjadikannya karier, profesi, atau bisnis. Banyak yang hobi menulis, tapi ya mau mereka berkali-kali ikut les menulis di mana pun, hasilnya akan biasa-biasa saja. Sedangkan ada juga yang tidak perlu les apa pun mendadak bisa menulis novel dahsyat yang bisa langsung laris. Bukan berarti kita harus menyerah, tetapi sadar diri saja akan batas kemampuan kita. Sepertinya generasi kalian alergi sama hobi, seakan-akan itu kata yang tabu. Padahal tidak ada salahnya menekuni hobi. Hobi tidak selalu harus kita jadikan profesi. Bagus kalau bisa, tapi enggak harus, kan?

Baca juga: Tips Sehat untuk Generasi ‘Burnout’

Hidup bukan cuma soal passion

Selain itu, hidup itu tidak bisa hanya mengerjakan yang kita suka saja. Saya suka menulis, dan sebenarnya saya suka menulis novel. Tetapi, realistis saja lah. Saya tidak bisa makan dari hasil tulisan saya. Bukan berarti lalu saya menyerah dan tidak pernah menulis lagi. Tetapi saya mau menerima kenyataan bahwa saya tidak harus jadi penulis terkenal. Tidak semua mimpi dan cita-cita kita harus tercapai. Dan sebenarnya, hanya karena mimpi kamu tidak menjadi kenyataan seperti yang kamu bayangkan, tidak berarti itu tidak tercapai.

Kenapa saya suka menulis? Kenapa saya ingin menulis? Karena saya ingin membangun hubungan dengan orang lain dan untuk belajar, membuka wawasan, dan memperkenalkan hal yang baru juga. Kenyataannya, ternyata tercapai meski dalam wujud yang beda. Bukan jadi penulis terkenal tetapi dengan membuka usaha platform belajar daring.

Jadi kalau sekarang kalian merasa pekerjaan kalian itu bukan passion kalian atau kalian tidak mau bekerja serius karena merasa pekerjaan yang sekarang tidak sesuai dengan mimpi atau potensi kalian, tanyakan sama diri sendiri: Apakah saya menerima gaji yang setimpal? Kalau jawabannya iya, just shut up and do your job. Do your job well.

Kalau kami tidak selalu memuji dan mengagumi (apalagi malah mengkritik), kalian tuduh kami toksik dan dengki. Padahal, mana sih yang lebih toksik, orang-orang yang bilang dengan jujur kalau kalian masih perlu memperbaiki diri, atau orang-orang yang selalu memuji tapi membiarkan kalian terjerumus di kemudian hari?

Jangan pikir kalau nanti kalian berhasil bisa mendapat pekerjaan yang memang passion kalian lalu kalian tidak akan harus bekerja keras. Bukan berarti pekerjaan yang kalian sukai itu tidak akan melelahkan, membosankan, atau membuat frustrasi. Tidak ada yang selalu mudah dan menyenangkan dalam hidup ini. Tunjukkan etos kerja yang baik dan kualitas pekerjaan yang unggul, agar lama kelamaan apresiasi akan mengikuti. Pelajari Milenial yang berhasil, apa sih yang membuat mereka jadi bisa berhasil dari sejak muda? Jangan cuma iri atau menuduh, “Ya, itu kan karena dia anak Sultan.” Banyak juga anak sultan yang enggak guna kok. Daripada julid, lebih baik kita kerja. 

Kesehatan mental bukan alasan

Terakhir, sebelum saya sudahi omelan saya, saya mau mengingatkan lagi buat kalian Milenial yang mulai melek kesehatan mental. Seperti saya sudah bilang tadi, saya berterima kasih karena kalian sudah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental. Tetapi, bukan berarti kondisi kesehatan mental kalian bisa dijadikan “alasan” untuk tidak berupaya. Saya agak kesal kalau mendengar “depresi” atau anxiety, atau apa pun dijadikan alasan untuk kalian hidup tidak bertanggung jawab. Justru karena sekarang kalian sudah sadar akan kondisi kalian, kalian harus bekerja lebih keras dibandingkan yang lain untuk menjaga diri kalian.

Saya sendiri seseorang yang hidup dengan Bipolar, jadi bukannya saya tidak pengertian. Justru karena itu, saya menyadari bahwa supaya saya bisa tetap hidup produktif, mencari uang (yang akhirnya untuk membiayai pengobatan kondisi saya juga kok), punya hubungan yang sehat, dan bisa juga mengurus binatang peliharaan saya dengan baik, saya tidak boleh terus-menerus berada dalam kondisi depresi ataupun hypomania. Berarti, saya harus bekerja lebih keras untuk menjaga diri saya, berkonsultasi dengan psikiater saya,  memastikan saya tidur cukup, punya rutinitas yang baik, tidak sering minum alkohol, berolahraga dengan rutin, dan sebagainya. Semua itu masih dalam kendali saya, dan menjaga diri itu bagian dari self-care juga. Kalau saya menjaga diri saya dengan baik, saya akan bisa bekerja dengan baik, dan mempunyai penghasilan yang cukup.

Baca juga: 5 Pesan untuk Anak Perempuan Agar Tangguh dan Mandiri

Mempunyai kondisi mental bukan berarti kalian lalu menyerah dan ya udah aja. Mengharapkan semua orang “ngurusin” kalian, dan kalian tidak mau mencoba. Saya menyadari kalau lagi depresi atau anxiety susah banget bahkan untuk bangun dari tempat tidur. Tapi jangan terus jadikan itu alasan untuk (terus-menerus) tidak bisa memenuhi tuntutan pekerjaan kalian.

Sesekali memang tidak dapat dihindari, makanya dalam keseharian kita harus menjaga diri supaya depresi akut yang menyebabkan kita tidak bisa bangun dan berfungsi dengan baik jadi bisa terhindari sama sekali, atau setidaknya frekuensinya semakin jarang. Saya yakin, perusahaan apa pun cukup pengertian kalau kalian izin sakit sesekali. Tetapi kalau setiap ada tenggat kalian depresi dan izin, ya saya saja yang punya penyakit sama tidak bersimpati apalagi yang tidak pernah mengalami.

Jadi, Milenial yang saya hormati, kalau Tante Gen X ini boleh bicara, saya mau ingatkan lagi saja untuk meningkatkan hal-hal yang baik yang sudah kalian lakukan, dan kalau boleh, yang masih kurang berkenan diperbaiki supaya kita jadi bisa saling cinta.

Tertanda,
Mbak Gen-X Yang Sudah Lelah



#waveforequality


Avatar
About Author

Grace Wiroreno

Grace Wiroreno is a writer and the Creative Director of Anima Mea Creative Studio. She started watching her first K-drama in 2021 and now she’s in too deep. She also loves Korean food, Park Seo-Joon, and Seo Ye-Ji. She lives with her wibu brother, her strange neurotic dog, and four mentally ill cats adjacent to Jakarta, and she hates leaving the house except when friends invite her to eat in Cheongdam Garden. Her Instagram account is private but if you’re a non-threatening entity, you can request to follow her @binkyandthecreatures.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *