Surat dari Penjara: Wartel Media Komunikasi Tercanggih
Pamor wartel di dalam penjara mirip cowok muda tampan tersesat di tengah ratusan perempuan, jadi rebutan.
Halo.. Lagi apa? Sudah makan?
Pernah membayangkan hidup tanpa ponsel, tablet, laptop, internet, dan media komunikasi canggih lainnya di tahun 2019 ini? Aku tidak pernah membayangkan itu sama sekali selama ini. Ternyata, tanpa perlu capek membayangkan, aku langsung mengalaminya. Sudah dua tahun terakhir aku diwajibkan berhenti menggunakan itu semua, sejak aku mengabdikan diri sebagai warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Jakarta. (Jangan tanya kenapa aku mengabdikan diri di tempat ini. Nanti kapan-kapan aku ceritakan).
Setelah berpuluh tahun terbiasa dengan semua teknologi canggih itu, sampai pesan cimol di depan apartemen saja sudah bisa menggunakan aplikasi online, aku diharamkan menggunakan itu semua. Rasanya seperti biasa sarapan nasi lalu diganti jadi sarapan roti: kenyang tapi masih ada yang kurang. Meskipun begitu, aku tentunya masih bisa berkomunikasi dengan keluarga di luar. Teknologi komunikasi tercanggih untukku saat ini adalah wartel (warung telekomunikasi), yang menurut anak gaul jaman sekarang, “it is so last century”. Tetapi tetap lebih canggih daripada burung merpati atau burung hantunya Harry Potter, bukan?
Wartel di sini merupakan salah satu tempat favorit setelah kantin. Antreannya setiap hari seperti antrean di ATM pada tanggal gajian. Bahkan, si wartel ini pamornya mirip cowok muda tampan yang tersesat di tengah ratusan wanita di tempat ini, jadi rebutan.
Baca juga: Surat dari Penjara: Duniaku 1.200 Meter Persegi
Wartel di tempat ini disediakan di empat tempat dengan beberapa unit telepon. Tiga tempat di dalam blok hunian dan satu di luar blok hunian. Untuk penggunaannya sendiri sama seperti telepon rumah pada umumnya. Hanya saja, untuk telepon yang ada di dalam blok hunian harus menggunakan pulsa isi ulang yang dimasukkan ke dalam PIN masing-masing dan tidak ada indikator pulsa.
Jadi kami harus pasrah kalau tiba-tiba saat sedang asyik menelepon disela dengan suara tidak merdu dari mbak-mbak operator yang memberikan peringatan, “You have 60 seconds”. Maka, dalam waktu 60 detik telepon akan meledak. Eh, bukan… telepon akan terputus tanpa permisi lagi.
Untuk yang di luar blok hunian tidak perlu melakukan pengisian pulsa, tetapi membayar sesuai tarif yang tertera di indikator pulsa dan tidak boleh berutang. Seperti naik taksi, uang pas-pasan lihat indikator argometer sudah melebihi jumlah uang di kantong. Jadi terpaksa berhenti di tengah jalan.
Nomor yang keluar juga berubah-ubah sehingga keluarga suka malas angkat telepon dari tempat ini karena takut dari penagih utang kartu kredit, agen asuransi atau pegawai pemasaran bank. Sayangnya, wartel di sini tidak dapat ditelepon balik. Jadi keluarga tidak bisa memberi kabar kalau bukan dari kita yang telepon. Dan untuk menelepon kita harus punya pulsa, dan untuk punya pulsa kita harus punya uang, sementara untuk punya uang kita harus telepon keluarga. Sungguh mata rantai keuangan yang memusingkan.
Baca juga: Surat dari Penjara: Cadong Sang Legenda
Wartel di sini juga bisa jadi tolok ukur isi kantong. Kalau yang telepon berlama-lama sampai diteriaki orang satu blok, bisa jadi kantongnya tebal setebal kupingnya. Yang telepon sebentar dan jarang, bisa jadi kantongnya tidak tebal tapi sabarnya yang tebal. Saya masuk ke dalam golongan ini. Saya kalau telepon hanya dua menit, paling lama 10 menit. Isi obrolannya hanya, “Halo… Lagi apa? Sudah makan?”
Seru kalau melihat berbagai macam tipe pengguna wartel di sini:
- Tipe penguasa
Biasanya tipe ini sudah siap dari pagi-pagi buta dengan kursinya di salah satu unit telepon dan akan berjam-jam duduk di sana. - Tipe gangster
Tipe ini bergerombol dan menguasai satu unit telepon. - Tipe capek antre, tapi pas sudah gilirannya, dia bingung mau telepon siapa.
- Tipe drama
Pas telepon dia nangis-nangis. Sudah tutup dia ketawa lagi. - Tipe mendesah
Obrolan di telepon isinya hanya, “Mmmmm… Aaaaahh… Iya coba dipegang di situ”. - Tipe mama minta uang. Setiap telepon minta uang saja.
Sungguh hidup tanpa media komunikasi canggih di zaman Milenial itu hampa. Tetapi aku bersyukur. Aku masih bisa mendengar suara anak-anakku bercerita di telepon yang hanya paling lama 10 menit itu.
Artikel ini merupakan hasil dari #Surat (Suara dari Balik Sekat), inisiatif kolektif dari Jurnal Perempuan, Konde.co, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), dan Magdalene.co untuk memberi pelatihan menulis dasar dan menyediakan sarana menulis bagi narapidana perempuan. #Surat yang ditampilkan telah mendapatkan persetujuan dari penulis.