December 12, 2025
Health Issues Opini

Surat Terbuka untuk Pemerintah dari Saya Seorang Ahli Gizi 

Kecewa, marah, dan heran—itulah reaksi saya saat melihat komentar Wakil Ketua DPR yang tak butuh ahli gizi dalam MBG. Bagaimana bisa gizi anak sekolah dipermainkan begitu saja?

  • November 21, 2025
  • 4 min read
  • 1435 Views
Surat Terbuka untuk Pemerintah dari Saya Seorang Ahli Gizi 

*Peringatan: artikel ini dapat memicu rasa geram dan perlu dibaca dengan kontrol emosi dan bebas arogansi. 

Ketika di restoran dan ditanya, “Mau pesan apa, Kak?” jawaban saya biasanya singkat dan jelas. Sebab, saya tahu persis apa yang saya mau. 

“Ayam geprek cabai hijau satu, tahu satu, tempe satu, dan minumnya teh tawar dingin ya.”  

Formula jawaban yang sama pun saya gunakan ketika menanggapi Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal yang bilang, program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak membutuhkan ahli gizi. 

Komentar saya dalam hati, “Kecewanya satu, marahnya tiga, herannya dua, dan sarannya satu ya.” 

Kecewa. Bagaimana bisa pejabat tinggi mengeluarkan kata-kata “sombong dan arogan” kepada ahli gizi yang memberikan saran untuk MBG? Ucapan itu termasuk ad hominem, menyerang karakter lawan bicara dalam forum resmi—salah satu bentuk logical fallacy.  

Baca juga: Bayang-bayang (Bisnis) Militer di Dapur MBG Kita

Strategi ini biasanya digunakan untuk menghindari isu utama dengan mengalihkan perhatian ke hal-hal pribadi. Padahal lawan bicaranya adalah ahli gizi, salah satu tenaga inti yang dibutuhkan bersama tim dapur lainnya. 

Ucapan itu juga memperlihatkan rendahnya tingkat kepakaran dalam komunikasi publik. Padahal posisi Bapak sebagai Wakil Ketua DPR RI, seharusnya mencerminkan suara rakyat. 

Marah yang pertama. Saya memang enggak bekerja langsung di dapur MBG, tapi saya lulusan ahli gizi dari universitas di Indonesia dan luar negeri. Empat setengah tahun saya habiskan untuk mendapatkan gelar ahli gizi. Semua bukan sekadar gelar tapi juga keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh dengan kerja keras. 

Pengetahuan ini dibangun hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, melalui berbagai mata kuliah, dari gizi dasar hingga gizi khusus pasien. Semua itu tidak bisa disetarakan atau dibandingkan dengan pelatihan tiga bulan. Untuk praktik di lapangan sebagai ahli gizi, saya pun harus menempuh pendidikan profesi satu tahun untuk menjadi dietisien, satu tahap yang sayangnya belum bisa saya lalui karena biaya tinggi. 

Marah yang kedua. Memberikan label “sombong” dan “arogan” di depan umum dan forum resmi adalah kecerobohan yang tak hilang dengan sekadar permintaan maaf. Terlebih permintaan maaf yang menyunat substansi videonya jadi sepotong-potong. 

Baca juga: Dari MBG ke Emisi: Ketika Nasi Sisa Jadi Masalah Iklim

Label itu keluar hanya karena ahli gizi menggunakan hak berbicara dan menegaskan agar tugas gizi tidak diberikan kepada yang bukan ahlinya. Tugas ahli gizi tidak sekadar mengawasi kualitas makanan, Pak, tapi juga menghitung kebutuhan gizi, menyusun menu, memberikan edukasi, mengawasi, dan mengevaluasi. 

Enggak cuma itu, mereka juga menyarankan kerja sama dengan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) untuk memperjelas peran profesional ini. Seharusnya saran itu diterima dengan lapang dada. Sebab, mereka memahami teori dan praktik di lapangan. Sebaliknya, tanggapan Bapak menunjukkan sikap arogan, kurang berpendidikan, dan bangga menggunakan kekuasaan di tempat yang tidak semestinya. 

Marah yang ketiga. Bagaimana mungkin terpikir menghilangkan kata “gizi” dari Makan Bergizi Gratis? Jadinya apa, “Makan Gratis”? Penghapusan kata kunci itu akan merusak tujuan program. MBG dibuat untuk mencukupi kebutuhan gizi anak-anak sekolah. Bagaimana Bapak bisa yakin makanan cukup gizi tanpa ahli yang menghitungnya? Menggunakan Akal Imitasi (AI)? Teknologi memang membantu, tapi tetap dibutuhkan tenaga profesional untuk menilai apakah data dari situs atau AI valid atau salah. 

Heran yang pertama. Logika pejabat ini sulit dipahami. Kesulitan merekrut ahli gizi bukan alasan mengganti istilah ahli gizi menjadi tenaga pengawas gizi, atau menganggap lulusan ahli gizi tidak penting. Angka keracunan makanan kemarin saja sudah mencapai 10.000 kasus. Bagaimana nasib anak-anak penerima MBG ke depan? 

Apakah Bapak tidak khawatir kualitas gizi menurun dan kasus keracunan meningkat? Keracunan bukan masalah sepele, bisa berakibat kematian. Ke-ma-ti-an. 

Heran yang kedua. Jika ada masalah rekrutmen, yang harus ditanyakan adalah mengapa turnover tinggi? Apakah karena sistem kerja, beban kerja, atau faktor lain? Berpikirlah kritis, karena ada penelitian yang mungkin luput dari perhatian Bapak. Koordinasi dengan peneliti bisa memberi solusi ilmiah, bukan menanggapi masalah dengan kepala panas dan emosi meledak-ledak. Mengeluarkan kata-kata yang meremehkan ahli gizi justru menunjukkan kurangnya kecerdasan emosional. 

Baca juga: Ketika Anak Diracun Negara, Bisakah Orang Tua Menggugat?

Sekadar saran. Bapak perlu meningkatkan kemampuan berpikir kritis seperti saya dan anak-anak lain di Indonesia. Belajar kecerdasan emosional dan cara mengelolanya supaya tidak lagi terdengar pernyataan yang membuat kami gerah dan marah. 

Saya adalah salah satu “korban” dari sistem pendidikan yang menekankan hapalan, bukan berpikir kritis. Saya sedih dan kecewa karena Bapak sendiri memberi contoh kelemahan itu di depan kami. Namun saya tetap berharap, masih banyak teman berani bersuara. Meski ada sedikit rasa takut, saya berharap Bapak bisa menahan emosi dan mau berbenah demi masa depan kami dan generasi berikut yang gizinya terpenuhi. 

About Author

Naila Alfi Syarifah