Issues Politics & Society

Semakin Banyak Perempuan Memimpin, Apa Artinya buat Kesetaraan Gender?

Semakin banyak perempuan terlibat dalam kontestasi Pemilu 2024 atau menjadi pemimpin di perusahaan. Apakah ini sinyalemen kesetaraan gender semakin baik?

Avatar
  • September 9, 2024
  • 5 min read
  • 364 Views
Semakin Banyak Perempuan Memimpin, Apa Artinya buat Kesetaraan Gender?

Ada pemandangan berbeda dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur tahun ini. Tiga bakal calon gubernur yang berkontestasi adalah perempuan. Mereka Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Emil Elistianto Dardak, Tri Rismaharini dengan Zahrul Azhar Asumta atau Gus Hans, dan Luluk Nur Hamidah dengan Lukmanul Khakim.

Sebelas dua belas, di Pemilihan Legislatif (Pileg) lalu, keterlibatan politisi perempuan juga meningkat menjadi 22 persen, tulis Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam laman resminya. Majunya politisi perempuan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pileg 2024 tentu patut kita apresiasi. Sebab, ini sejalan dengan cita-cita menghilangkan ketimpangan antara perempuan dan lelaki, sebagaimana tertuang dalam misi menuju Indonesia Emas 2045.

 

 

Sujala Pant, Deputy Resident Representative United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia juga mengapresiasi capaian ini. Sebagai profesional yang intens mengamati ketimpangan gender di Indonesia selama delapan belas bulan terakhir, ia memang melihat sejumlah kemajuan.

Di bidang politik, itu ditunjukkan dengan kenaikan partisipasi politisi perempuan. Artinya, semakin banyak perempuan yang unjuk gigi dalam pengambilan keputusan negara. “Maksud saya, selain pencapaian di Pemilu 2024, beberapa kementerian terpenting di sini juga dipimpin oleh perempuan. Ini adalah tren positif yang sedang dialami Indonesia,” ungkapnya saat diwawancarai Magdalene beberapa waktu lalu.

Di saat bersamaan, tren positif juga meningkat di bidang ekonomi, imbuh Sujala. Kita melihat jumlah pengusaha perempuan di Indonesia terkerek naik. “Ini adalah hal yang baik meskipun belum sepenuhnya ideal. Kenapa? Sebab, kita menemukan banyak perempuan di antara mereka, yang berada di sektor ekonomi informal. Mereka berpotensi menjadi korban dari kondisi tenaga kerja yang tidak setara, atau mungkin ada rintangan tertentu yang harus mereka hadapi. Misalnya, tak dapat mengakses pinjaman lebih lanjut untuk meningkatkan inisiatif bisnis mereka,” ujarnya.

Pengamatan Sujala ini menjadi bukti bahwa jalan mencapai kesetaraan gender di Indonesia masih terbentang panjang. Ia mengutip World Economic Forum soal Laporan Kesenjangan Gender Global yang menyebutkan, kita butuh waktu 131 tahun untuk mencapai kesetaraan gender. Sementara Indonesia dalam laporan itu masih bertengger di peringkat 87 dari 146 negara.

Baca juga: Semua Bisa Ambil Peran: Butuh Banyak Tangan untuk Capai Kesetaraan

Tantangan Masih Mengadang

Sujala mengidentifikasi ada sejumlah tantangan yang membuat kesetaraan gender di Indonesia belum tercapai sepenuhnya. Salah satunya, belum ada kebijakan untuk memastikan partisipasti perempuan dalam berbagai bidang dijamin oleh negara. Ini terbukti dari rendahnya partisipasi tenaga kerja perempuan yang cuma mencapai 53 persen, kontras dengan lelaki sebesar 83 persen. Ketimpangan ini makin kentara di luar Jakarta dan Jawa.

“Kita perlu benar-benar menciptakan lingkungan yang mendukung. Sebuah lingkungan di mana perempuan mendapat pengakuan formal atas kontribusi mereka sebagai pelaku ekonomi, yang berkontribusi pada pertumbuhan,” kata Sujala lagi.

Rendahnya partisipasi perempuan paling mencolok bisa dijumpai di bidang Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM). Hanya ada lima persen perempuan yang menduduki posisi kepemimpinan di perusahaan energi. Tak usah jauh-jauh, kita pun bisa dengan mudah melihat minimnya perempuan yang belajar STEM di pendidikan formal.

Baca juga: Kebijakan Pro Kesetaraan Gender Maju di Luar Negeri, Mundur di Dalam Negeri

Meski tampak mengkhawatirkan, Sujala optimis dengan kebijakan yang tepat sasaran, ketimpangan gender di Indonesia bisa ditekan. “Saya adalah orang yang selalu optimis. Jadi, memiliki kebijakan-kebijakan (inklusif dan pro-kesetaraan gender) adalah keharusan untuk menunjukkan keseriusan negara,” tuturnya.

Sebenarnya di atas kertas, negara telah menunjukkan komitmennya dengan memasukkan poin kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di visi Indonesia Emas 2045.

“Saya pikir ada banyak negara di dunia yang tidak memiliki komitmen politik semacam itu. Fakta bahwa kita memiliki hal tersebut membuat UNDP memiliki dasar yang sangat kuat untuk melanjutkan dan bekerja sama dengan para pemangku kepentingan demi menggulirkan kebijakan yang memberdayakan perempuan,” kata Sujala.

Punya kebijakan yang berperspektif gender adalah permulaan. Untuk mengimplementasikan kebijakan itu, diperlukan kerja sama dan komitmen dari pemerintah, akademisi, hingga sektor swasta. Namun pada akhirnya, yang akan mengubah masyarakat adalah kala kebijakan tersebut dipraktikkan di tingkat individu. Tepatnya, ketika orang-orang saling memberikan contoh satu sama lain.

“Hal ini dapat berupa tindakan-tindakan kecil, tetapi harus dipimpin oleh setiap individu untuk melakukan perubahan kecil dalam lingkaran kendali yang mereka miliki, serta dalam pengaruh yang mereka miliki. Jika banyak dari kita melakukan hal tersebut, maka akan ada perubahan permanen yang bisa kita harapkan,” ucapnya.

Baca juga: Pengalamanku Sebagai Perempuan yang ‘Ditempa’ Kurikulum Kita

Peluang dan Masa Depan Pengarusutamaan Gender 

Bicara tentang kebijakan di Indonesia, sebenarnya pada awal 2000 setelah Reformasi, beberapa inisiatif dirancang untuk lebih memberdayakan perempuan. Misalnya di bidang politik, disusunlah kebijakan agar partai politik bisa mengerek representasi perempuan lewat kebijakan afirmasi politik 30 persen di Parlemen. Meski jumlah anggota dewan perempuan masih di bawah angka itu, dalam 24 tahun terakhir, jumlah anggota DPR perempuan menunjukkan peningkatan hingga empat kali lipat, atau mencapai 20 persen.

Selain itu, UNDP juga bekerja sama dengan Kementerian Keuangan dalam mencari cara untuk “menyelaraskan iklim” pada anggaran publik Indonesia.   

“Sudah ada upaya untuk melihat berapa banyak anggaran yang relevan dengan iklim dan punya dimensi gender. Kita bisa saja memiliki semua komitmen kesetaraan paling top, tetapi tanpa sumber daya keuangan, jalan itu pasti akan terasa sulit,” tuturnya lagi.

Di luar itu, sebenarnya di Indonesia kita punya peluang yang bisa dioptimalkan. Misalnya saat bicara strategi mencapai kesetaraan gender di media sosial, kita tahu betapa besar pengaruhnya terhadap anak muda untuk mengikuti tren tertentu. Buat Sujala, media sosial adalah platform yang kuat untuk mengajak orang memperjuangkan tujuan ini.

Belum lagi keberadaan media perempuan di Indonesia yang bisa terus berperan memajukan diskusi soal agenda kesetaraan. Meski begitu, ia mendorong agar media arus utama juga tetap menggunakan perspektif gender saat menyuarakan isu-isu penting, termasuk kebijakan politik. Lalu ikut meningkatkan cakupan berita yang berkaitan dengan perempuan, sekaligus mengambil pendekatan yang memajukan isu ini daripada melaporkan kisah-kisah secara konvensional.

“Jadi saya pikir kita juga perlu mengubah cara media arus utama dalam membahas dan melihat masalah perempuan. Media dalam hal ini memiliki peran yang kuat dalam memengaruhi pemikiran dan membuat kita benar-benar merenungkan beberapa tantangan dalam kesetaraan gender,” tandasnya.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky and Syifa Maulida

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *