December 18, 2025
Issues Politics & Society

Media Independen di Bawah Represi Politik dan Krisis Finansial (Part 2)

Di tengah cengkeraman oligarki, krisis pendanaan, dan disrupsi digital, media independen terus berjuang untuk mempertahankan eksistensi dan integritasnya.

  • December 18, 2025
  • 6 min read
  • 365 Views
Media Independen di Bawah Represi Politik dan Krisis Finansial (Part 2)

Kelemahan struktural sayangnya diperparah oleh represi politik dan krisis finansial. Perjuangan menjaga integritas redaksi buat media independen bukan cuma harus menghadapi intervensi pemilik, tetapi juga tekanan langsung dari pihak berkuasa dan ancaman hukum. Di lapangan, kesulitan ini diterjemahkan menjadi tekanan sehari-hari yang sangat nyata.

Hal ini disampaikan Adisti Sukma Sawitri, Deputy Chief The Jakarta Post, dalam panel “Independent Media in Today’s Indonesia” di Ubud Writers and Readers Festival 2025, awal November lalu.

Adisti mengakui bahwa media independen kian sulit bertahan di tengah represi politik yang semakin menguat. Ia menilai fenomena ini sebagai bagian dari tren global, di mana para pemimpin berusaha mengendalikan narasi demi kepentingan kekuasaan. Sebagai contoh nyata, ia menyoroti insiden pencabutan kartu pers jurnalis CNN Indonesia oleh pihak Istana pada akhir September lalu, hanya karena jurnalis tersebut mengajukan pertanyaan mendasar mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Baca Juga: Masalah Lain Baliho Politik: Bahayakan Pengguna Jalan dan Jadi Sampah Baru

Bentuk represi lain yang dominan di Indonesia saat ini mencakup intimidasi dan serangan pada jurnalis, termasuk ancaman yang diterima jurnalis Kompas.com dan teror yang kepala babi pada Tempo, serta kekerasan berbasis gender yang banyak menimpa jurnalis perempuan.  

Berdasarkan keterangan Asosiasi Jurnalis Indonesia, kasus kekerasan jurnalis hingga Mei 2025 tercatat sebanyak 38 kasus. Selain itu, ancaman hukum melalui pasal-pasal karet dalam UU KUHP seperti delik “pencemaran” (pasal 433) dan “fitnah” (pasal 434) juga menambah ancaman nyata pada kebebasan pers. Rahayu menjelaskan ancaman hukum ini semakin nyata kaarena ketidakjelasan definisi dalam pasal-pasal tersebut. 

“Ini menjadikannya sebagai pasal karet yang bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menghukum media atau jurnalis,” tuturnya. 

Secara bersamaan, ancaman terhadap idealisme media diperparah oleh krisis pendanaan dan disrupsi digital. Rahayu menjelaskan bahwa krisis pendanaan jurnalisme terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga terjadi di banyak negara, disebabkan oleh merosotnya pendapatan iklan media dan sebagian besar mengalir ke platform global.  

Tekanan finansial ini menempatkan para pengelola media independen di posisi yang sangat sulit. Devi Asmarani, co-founder and editor in chief Magdalene, sebagai orang yang menjalankan perusahaan contohnya harus memastikan bahwa “dapur tetap menghasilkan asap”, yang berarti model bisnis yang tidak bergantung pada entitas tertentu harus tetap dapat menopang operasional medianya. Namun, ia menekankan bahwa keberlanjutan finansial tidak berarti mengorbankan prinsip. 

Devi memberikan otoritas penuh kepada Magdalene untuk menentukan siapa yang dapat bermitra dengan mereka. “Sekeras apa pun itu, kami masih cukup keras kepala dalam memasukkan daftar hitam industri tertentu atau perusahaan tertentu atau brand tertentu,” ungkap Devi. 

Tantangan mempertahankan keberlangsungan operasional ini juga sangat nyata dialami terutama dalam membangun model bisnis berbasis langganan (subscription) di Asia Tenggara. Adisti mengakui bahwa The Jakarta Post berusaha keras menerapkan sistem subscription, yang menurutnya mengalami pertumbuhan yang tidak sesuai dengan harapan awal. Ia jujur mengakui betapa sulitnya membangun ekonomi langganan (subscription economy) di Asia Tenggara.  

“Pada dasarnya, ini cukup perjuangan untuk membangun bisnis langganan untuk apa pun, terutama ketika kita berbicara tentang Asia Tenggara karena ekonomi langganan hampir tidak ada di Asia Tenggara,” jelas Adisti. 

Sedangkan disrupsi digital yang jadi ancaman baru media indpenden, kata Rahayu, Dosen Ilmu Komunikasi UGM, terletak pada sistem algoritma mengubah cara kerja jurnalis dalam menulis berita. Dengan mempertimbahkan penggunaan keywords tertentu, jurnalis mengharapkan beritanya terbaca atau dikenali oleh sistem AI Google.  

Sebenarnya penggunaan keywords secara wajar tidak melanggar prinsip independensi karena merupakan strategi dalam meningkatkan visibilitas berita. Namun, Rahayu memperingatkan bahwa jika jurnalis terlalu berorientasi pada trend platform dan rumus SEO, hal itu dapat mengancam independensi media.  

“Media (lagi-lagi jadi) menjauhkan diri dari fungsi sosialnya dalam melayani publik,” tambahnya. 

Baca Juga: Ekonomi Ekstraktif: Bayang Kepunahan Perempuan Indonesia

Menguat Bersama: Solusi Kolektif dan Struktural 

Melihat kondisi yang ada, Rahayu secara realistis menyatakan bahwa independensi media sulit dicapai selama problem struktural tidak dapat diselesaikan dengan baik. Karena itu solusi strategis untuk memperkuat independensi media di Indonesia membutuhkan intervensi pada level regulasi dan etika kelembagaan.  

Dalam riset yang ditulis Rahayu bersama PR2Media disebutkan solusi ini bisa dimulai dengan adalah merevisi kerangka hukum yang memungkinkan dominasi politik dan bisnis dalam industri media. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus duduk bersama untuk meninjau ulang berbagai undang-undang terkait kepemilikan media dan persaingan usaha (termasuk UU Pers, UU Penyiaran, dan UU Cipta Kerja).  

Secara bersamaan, dibutuhkan konsolidasi yang lebih kuat dari masyarakat sipil dan asosiasi jurnalis. Organisasi seperti AJI, PWI, dan asosiasi perusahaan pers harus mengambil peran yang lebih aktif dalam penegakan kode etik dan menekan anggota yang memakai media sebagai alat politik praktis tanpa bersedia melepaskan kepemilikan atau profesi mereka sejak awal mendaftar.  

Tidak kalah penting, Rahayu kepada Magdalene juga mengatakan krisis pendanaan yang menjadi tantangan terbesar keberlangsungan media independen juga perlu diselesaikan. Ia menekankan perlunya dukungan finansial struktural sebagai solusi strategis. Solusi yang diterapkan banyak negara untuk mendukung jurnalisme berkualitas adalah membangun Dana Jurnalisme (Journalism Fund).  

“Dana ini, yang dapat diinisiasi oleh pemerintah, perusahaan swasta, atau gabungan lembaga donor. Alasan utamanya, jurnalisme berkualitas atau media independen perlu didukung secara finansial, supaya tetap bisa menyediakan informasi yang berkualitas bagi masyarakat,” sebutnya. 

Baca Juga: Baliho ‘Mama Semok’ dan ‘Mama Muda’: Benarkah Ini Objektifikasi dan Seksualisasi Diri?

Rahayu menambahkan bahwa skema pendanaan beragam jenisnya, seperti yang telah diterapkan di negara-negara seperti Afrika Selatan dan Belanda. Dana ini adalah kunci untuk menciptakan ruang agar media dapat fokus pada prinsip jurnalisme tanpa harus terus-menerus bernegosiasi dengan kepentingan iklan atau keywords demi bertahan hidup. 

Selain dana jurnalisme, Rahayu juga menekankan pentingnya keberadaan jurnalis yang profesional yang benar-benar memahami posisi dan perannya, yaitu berkomitmen pada prinsip-prinsip jurnalisme dan berorientasi pada pelayanan publik. Tanpa dukungan finansial yang stabil dan tanpa komitmen etis yang kuat dari para jurnalis, masa depan media independen akan terus berada di ambang kesulitan. 

Pada akhirnya, independensi media di Indonesia saat ini adalah kondisi bertahan dengan segala upaya di tengah badai kepentingan. Untuk menguat di masa depan, media independen harus terus berinovasi dan memperkuat jaringan kolaborasi. Dan yang terpenting, negara dan masyarakat perlu mengakui betapa pentingnya eksistensi media-media independen ini sehingga keberlangsungan mereka harus terus ditopang dalam nafas demokrasi. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.