December 19, 2025
Issues Politics & Society

Memaknai Ulang Media Independen dan Segala Tantangannya (Part 1)

Di tengah cengkeraman oligarki, krisis pendanaan, dan disrupsi digital, media independen terus berjuang untuk mempertahankan eksistensi dan integritasnya.

  • December 18, 2025
  • 5 min read
  • 1147 Views
Memaknai Ulang Media Independen dan Segala Tantangannya (Part 1)

Dalam lanskap media Indonesia yang terus bergerak cepat, independensi dalam jurnalisme kini berada di titik persimpangan. Prinsip-prinsip otonomi redaksi tengah ditantang oleh dinamika baru dalam kepemilikan dan perhitungan bisnis yang mendominasi dapur redaksi. Berbagai tantangan lain seperti disrupsi digital juga mengiringi.  

Perdebatan mengenai batas tipis antara idealisme dan keberlangsungan pun menyeruak. Dalam panel perbincangan “Independent Media in Today’s Indonesia” di Ubud Writers and Readers Festival 2025 pada awal November lalu, tiga praktisi dari spektrum media yang berbeda yang berbagi perspektif dan berbagi komitmen serupa.  

Mereka adalah Adisti Sukma Sawitri, Deputy Chief The Jakarta Post, mewakili legacy media dengan sejarah panjang; Devi Asmarani, co-founder and editor in chief Magdalene, yang berdiri sebagai perwujudan media alternatif berbasis misi; dan Dewa Kresnanta, jurnalis visual BaleBengong, yang fokus pada jurnalisme komunitas.  

Ketiganya sepakat bahwa “jurnalisme bukan lagi seperti dulu,” dan bahwa tantangan untuk menjaga keberlangsungan operasional tanpa harus menggadaikan independensi kini berada pada level yang paling kritis. Perjuangan ini menuntut media untuk mendefinisikan ulang garis merah integritas mereka, terutama di tengah tekanan politik yang semakin represif dan kesulitan membangun model bisnis yang sehat di Asia Tenggara.  

Berangkat dari pengalaman dan komitmen para praktisi ini, artikel ini akan menelusuri bagaimana mereka menentukan batas kemandirian, serta mencari solusi struktural yang ditawarkan ahli seperti Rahayu, Dosen Ilmu Komunikasi UGM, untuk menyelamatkan masa depan pers independen. 

Baca Juga: Masalah Lain Baliho Politik: Bahayakan Pengguna Jalan dan Jadi Sampah Baru

Menjaga Integritas Redaksi di Tengah Cengkeraman Oligarki 

Bagi para praktisi, independensi bukanlah label yang mudah didapatkan, melainkan sebuah komitmen yang harus dipertahankan secara berkelanjutan di tengah realitas kepemilikan media. Adisti mengakui bahwa banyak hal dalam industri media hari ini telah didefinisikan ulang. Perubahan ini bukan hanya soal teknologi, melainkan pergeseran mendasar dalam ekonomi, cara konsumsi berita, dan dinamika kekuasaan di ruang redaksi.  

Meskipun demikian, sebagai legacy media dengan kekuatan inti pada surat kabar politik, Adisti dari The Jakarta Post mengakui pentingnya upaya keras agar tetap relevan dan kukuh pada idealismenya. Di tengah kepemilikan korporat, mereka membangun mekanisme pertahanan yang kuat. Adisti menjelaskan bahwa upaya ini dilakukan dengan mempertahankan firewall antara bisnis dan editorial. 

“Ini untuk memastikan bahwa meskipun ada entitas pemilik, keterlibatan mereka tidak mengintervensi isi redaksi, sehingga media tetap setia pada misi utamanya untuk memandu demokrasi,” jelasnya. 

Sementara itu, Devi Asmarani dari Magdalene, yang mewakili media alternatif, menolak pandangan bahwa kemandirian hanya milik media kecil. Baginya, independensi adalah masalah komitmen pada garis dan misi editorial, bukan semata ukuran perusahaan. Hal ini terefleksikan dalam misi Magdalene. Dibangun pada 2012 bersama partnernya Hera Diani, Magdalene berusaha menjadi media yang memiliki misi editorial khusus dalam mewujudkan dan mempromosikan kesetaraan gender. 

“Caranya adalah dengan menyoroti beberapa hal yang salah dalam masyarakat kita yang tidak diliput oleh media mainstream yang sebagian besar fokus pada isu-isu seperti politik dan sebagainya, tetapi tidak sama sekali menggunakan perspektif gender atau lensa gender,” sebutnya. 

Baca Juga: Ekonomi Ekstraktif: Bayang Kepunahan Perempuan Indonesia

Di spektrum lain, Dewa Kresnanta dari BaleBengong menunjukkan independensi melalui fokus pada autentisitas dan komunitas lokal. BaleBengong menjalankan pelatihan jurnalisme warga di desa-desa untuk memastikan suara otentik masyarakat di daerah pedesaan Bali dapat terwakili, menghubungkan kisah-kisah yang tidak tersentuh media besar. 

Menurut Dewa, upaya ini menjadi krusial karena suara masyarakat yang terpinggirkan sering kali luput dari radar media arus utama. Ia menekankan bahwa setiap wilayah memiliki keunikan dan dinamika tersendiri, dengan tantangan hidup yang jauh berbeda dibandingkan dengan masyarakat yang menetap di daerah perkotaan atau pulau lain misalnya. 

Perspektif para praktisi ini kemudian menemukan landasan teoritis yang kuat dalam analisis Rahayu, Dosen Ilmu Komunikasi UGM. Rahayu Dalam wawancaranya bersama Magdalene, Rahayu mendefinisikan independensi media sebagai kemampuan media untuk menjalankan aktivitas jurnalistiknya secara bebas atau otonom.  

Sayangnya otonomi ini sebut Rahayu terus-menerus diganggu oleh tekanan politik dan kepentingan ekonomi. Rahayu misalnya menegaskan kondisi media di Indonesia belakangan menjadi sangat rentan karena semakin dominannya pemilik media yang berperan sebagai politikus. Hal ini ia buktikan langsung dalam penelitiannya bersama PR2Media yang secara empiris menyajikan fakta tentang kepemilikan media dan afiliasi politik mereka. 

Dalam penelitian yang bertajuk Kepemilikan dan Afiliasi Politik Media di Indonesia (2024), ancaman ini termanifestasi dalam dua bentuk intervensi: langsung dan tidak langsung. Intervensi langsung dilakukan ketika pemilik media turun tangan mengendalikan kebijakan, misalnya dengan menelepon pemimpin redaksi dan memberikan arahan untuk tidak meliput isu tertentu.Rahayu juga mengungkap bentuk intervensi ekstrem, seperti pembentukan divisi khusus untuk mengakomodasi kepentingan politik pemilik.  

“Bentuk yang lebih halus, atau tidak langsung, dilakukan melalui “raja-raja kecil”, yakni para manajer atau pemimpin redaksi yang justru banyak melakukan kontrol isi media,” sebutnya. 

Baca Juga: Baliho ‘Mama Semok’ dan ‘Mama Muda’: Benarkah Ini Objektifikasi dan Seksualisasi Diri?  

Untuk merasakan seberapa tipis batas antara independensi dan kepentingan, kita tidak perlu melihat jauh-jauh. Ambil contoh fenomena ketika menjelang pemilihan umum, mayoritas televisi berita dan surat kabar besar serempak memberitakan elektabilitas salah satu calon presiden dengan porsi yang luar biasa dominan, sementara skandalnya nyaris tak tersentuh.  

Fenomena liputan bias saat pemilu ini adalah manifestasi paling kasat mata dari intervensi politik dan bisnis, di mana Rahayu menegaskan bahwa media sangat berisiko dipengaruhi oleh kepentingan politik praktis. Hal ini mengubah media yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, justru menjadi arena perpanjangan tangan dari sejumlah elit politik seperti yang diungkapkan Rahayu. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.