Yang Perlu Kita Tahu tentang Wacana Tata Kelola Medsos
Rentetan dampak demonstrasi besar akhir Agustus lalu belum benar-benar reda hingga awal Oktober ini (9/10). Mulai dari penangkapan, kriminalisasi, teror, hingga wacana lahirnya undang-undang baru tentang tata kelola media sosial. Terbaru, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan tengah menyiapkan aturan khusus bagi perusahaan media sosial, termasuk TikTok.
TikTok menjadi salah satu ruang paling ramai saat demonstrasi berlangsung. Platform ini menjadi kanal utama siaran langsung dari lapangan, saat ribuan orang turun ke jalan. Namun di tengah memuncaknya aksi, TikTok tiba-tiba menonaktifkan fitur live selama empat hari, dari 30 Agustus hingga 2 September.
Juru bicara TikTok menyebut penangguhan dilakukan karena meningkatnya kekerasan di lokasi unjuk rasa.
“Kami secara sukarela menangguhkan fitur TikTok Live selama beberapa hari ke depan di Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Namun, publik tak sepenuhnya percaya. Banyak yang menilai kebijakan itu bukan sekadar keputusan internal, melainkan hasil intervensi pemerintah melalui Komdigi. Dugaan ini langsung dibantah Menteri Komdigi, Meutya Hafid, yang menegaskan kementeriannya tidak pernah meminta TikTok menutup fitur live-nya.
Beberapa minggu pasca-kejadian, hubungan Komdigi dan TikTok justru makin tegang. Komdigi menjatuhkan sanksi administratif berupa pembekuan tanda daftar penyelenggara sistem elektronik (TDPSE) TikTok. Alasannya, TikTok dinilai tidak kooperatif dalam memberikan data yang diminta pemerintah.
Komdigi menginginkan data menyeluruh terkait aktivitas live streaming pada 25–30 Agustus, termasuk trafik, monetisasi, hingga jumlah dan nilai gift dari penonton. TikTok hanya menyerahkan sebagian data dan menolak permintaan sisanya lewat surat resmi.
“Kami telah memanggil TikTok untuk memberikan klarifikasi pada 16 September 2025 dengan tenggat hingga 23 September. Setelah evaluasi, kami menyimpulkan TikTok melanggar kewajiban sebagai PSE privat. Maka kami ambil langkah pembekuan sementara TDPSE,” kata Alexander Sabar, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi (3/10), dilansir dari Antara.
Alexander menjelaskan, dasar hukum pembekuan merujuk pada Peraturan Menteri Komdigi Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Pasal 21, yang mewajibkan PSE lingkup privat memberikan akses data kepada pemerintah dalam rangka pengawasan.
Namun, langkah itu kembali memantik perdebatan: Sejauh mana negara boleh meminta akses terhadap data pengguna tanpa melanggar hak privasi?
Baca Juga: Cuma di Indonesia, Data Pribadi Warga Tak Ada Harganya
RUU Tata Kelola Media Sosial: Perlindungan atau Pembatasan?
Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono menilai langkah Komdigi terhadap TikTok wajar dan didukung parlemen.
“Platform digital punya dampak langsung terhadap stabilitas sosial. Maka pengawasan menjadi penting,” katanya.
Walau tengah dikenai sanksi administratif, TikTok masih dapat diakses secara normal per (9/10). Namun Dave tak menutup kemungkinan pembatasan lebih jauh jika TikTok tetap tidak kooperatif.
Sebagai tindak lanjut, Komisi I DPR kini menggagas Rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Kelola Media Sosial, yang disebut bertujuan memperkuat pengawasan dan akuntabilitas platform digital di Indonesia.
Meski begitu, wacana ini menimbulkan kekhawatiran di publik. Sejumlah pihak khawatir aturan baru itu akan menjadi alat pembatas ekspresi warga di ruang digital.
Dave mengaku memahami keresahan tersebut. Ia bilang DPR akan berhati-hati dalam proses penyusunan dan berkomitmen menjaga ruang kebebasan berekspresi.
“Kami akan melibatkan berbagai pihak, dari pemerintah, pelaku industri, akademisi, dan masyarakat sipil, agar kebijakan yang lahir benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi publik,” ujarnya kepada Magdalene.
Politisi Golkar itu menambahkan, substansi RUU akan mencakup kewajiban platform memiliki perwakilan hukum di Indonesia, transparansi algoritme, pencegahan hoaks, perlindungan data pribadi, dan penanganan ujaran kebencian.
“Tujuannya agar regulasi lebih terarah, fleksibel, dan mampu menjawab tantangan zaman, terutama menghadapi perkembangan ruang digital yang cepat,” kata Dave.
Ia berharap perusahaan media sosial menunjukkan komitmen pada pembangunan ekosistem digital yang sehat dan aman.
Baca Juga: UU Perlindungan Data Pribadi Berlaku Oktober, ini 8 Catatan Penting untuk Jurnalis
SAFEnet Minta DPR Libatkan Masyarakat Godok RUU
Sekilas, rencana DPR menggodok RUU Tata Kelola Media Sosial tampak ideal, melindungi masyarakat dari dampak negatif platform digital. Namun di baliknya, muncul aroma kecurigaan publik terhadap motif dan proses penyusunannya.
Salah satu pihak yang menyoroti langkah ini adalah Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), organisasi masyarakat sipil yang selama ini memantau kebebasan berekspresi di ruang digital. SAFEnet memandang inisiatif DPR tersebut perlu diwaspadai agar tidak berujung pada pembatasan hak warga negara.
Daeng Ipul dari Divisi Keamanan Digital SAFEnet menjelaskan pengalamannya memantau berbagai proses legislasi serupa. Menurutnya, penyusunan RUU di Indonesia sering kali berjalan sepihak, dengan porsi kepentingan pemerintah lebih dominan dibanding publik. Ia menilai jika pembahasan RUU Tata Kelola Media Sosial dilakukan tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat sipil, hasilnya justru berpotensi membahayakan publik.
“RUU Tata Kelola Medsos ini mungkin punya tujuan baik, asalkan prosesnya mengakomodasi kepentingan lain, termasuk masyarakat sipil,” ujarnya.
Daeng menekankan keterlibatan publik sebagai fondasi penting dalam pembentukan kebijakan digital. Pemerintah, katanya, seharusnya menjadikan hak digital warganet sebagai fokus utama dalam pembahasan. Apalagi cakupan RUU ini sangat luas dan akan langsung memengaruhi pengguna media sosial di Indonesia. Di sinilah peran transparansi dan keterbukaan Komisi I DPR menjadi krusial.
Baca Juga: Polaroid AI Bahayakan Perempuan dan Normalisasi Kekerasan Digital
SAFEnet juga menyoroti substansi RUU yang akan dibahas Komisi I DPR, mulai dari transparansi algoritme, pencegahan hoaks, perlindungan data pribadi, hingga pengaturan ujaran kebencian. Menurut mereka, seluruh isu tersebut membutuhkan pembahasan matang agar implementasinya tidak menyimpang dari tujuan awal seperti yang terjadi pada UU ITE.
“Tata kelola digital penting bagi kita, tapi harus mempertimbangkan berbagai aspek termasuk kebebasan berekspresi, keamanan digital, dan hak asasi manusia. Jika tidak, regulasi ini bukan mengelola, melainkan justru membatasi ekspresi dan hak digital warga,” pungkas Daeng.
















