‘The Batman’ Versi Matt Reeves: Manusia Kelelawar yang lebih Humanis
The Batman besutan Matt Reeves sukses membawa karakter Batman yang lebih humanis. Lengkap dengan konflik dan isu sosial yang lebih membumi dengan realitas.
Dengan napas terengah-engah, seolah sedang memakai topeng, seseorang sedang meneropong sebuah keluarga lewat jendela. Dalam bidikannya, ia melihat seorang ibu membawa seorang anak memakai kostum Halloween ke arah ayahnya.
Ayah dan anak itu lalu bermain pedang-pedangan. Sang ayah pura-pura mati tertusuk, lalu bangkit lagi untuk memeluk serta mengucapkan selamat malam pada anak dan istrinya. Bidikan teropong itu lalu bergeser. Adegan berpindah ke dalam ruangan. Sang ayah menonton dirinya sendiri berdebat dengan kandidat baru calon wali kota Gotham. Informasi di TV bilang, kalau rival sang ayah masih punya kesempatan besar mengalahkannya.
Tanpa ia sadari, seseorang sedang bersembunyi di belakangnya. Orang itu adalah pria yang meneropong keluarga ini dari seberang gedung, pria dengan topeng terbuat dari lilitan lakban yang menutupi seluruh wajahnya. Suasana hening sesaat, sampai tiba-tiba pria bertopeng itu berteriak dan menimpuk kepala sang wali kota berkali-kali. Brutal.
Kamis, 31 Oktober. Sesaat kemudian jalan-jalan kota dikerumuni orang-orang, bahkan dalam hujan. Hidden in the chaos is the element, waiting to strike like snakes.
Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan
Kamera lalu menyorot jalanan Gotham. Bruce Wayne (Robert Pattinson), sang Batman ada di sana, menyaru dengan pekat malam. Menonton dalam diam. Dua tahun terakhir, ia berubah jadi hewan nokturnal. Ia harus memilih targetnya dengan hati-hati dalam gelapnya kota Gotham yang besar. Namun, kota itu kini punya lampu sorot yang ditembakkan ke langit ketika kota membutuhkan pahlawan mereka.
Ketika cahaya itu menyentuh langit, ia bukan cuma panggilan. Lampu itu juga peringatan kepada kriminal Gotham untuk merasa ketakutan. Mereka pikir Batman bersembunyi di balik bayangan, siap menerkam mereka tiap lampu itu membelah langit. Tapi, nyatanya Sang Batman adalah bayangan itu sendiri.
Selama dua tahun terakhir, Sang Batman berharap bisa mengatakan bahwa ia telah membuat perbedaan. Nyatanya tidak. Pembunuhan, perampokan, penyerangan semakin menggila.
Narasi mencekam dan gelap ini yang jadi pembuka The Batman versi Matt Reeves. Kita tak diberi banyak petunjuk tentang Bruce Wayne versi Robert Pattinson ini, tapi langsung disuguhkan atmosfer Gotham yang misterius, kotor, sadis, dan penuh kemarahan.
Kebangkitan The World’s Greatest Detective
Dari komik ke layar kaca, lalu diadaptasi ke layar lebar berkali-kali, Batman tak selalu punya cerita yang sama. Kecuali, latar belakangnya sebagai alterego Bruce Wayne, orang ultrakaya di Gotham. Bruce adalah anak yatim piatu yang ditinggali warisan-tak-habis-tujuh-turunan oleh kedua orang tuanya yang dibunuh di depan mata kepalanya sendiri. Dan dengan kekayaan itu, ia bersembunyi di balik topeng Batman, bertingkah seperti hakim sekaligus algojo buat orang-orang yang ia nilai melakukan kejahatan di Gotham. Sering kali ia dinarasikan sebagai pahlawan super, atau belakangan dipotret Hollywood sebagai vigilante.
Namun, dalam debut pertamanya pada Mei 1939, The Dark Knight adalah detektif pemecah kejahatan misterius dalam Detective Comics (DC) #27. Ia digambarkan sebagai orang yang tangkas dan cermat dalam mengumpulkan bukti, menyusun kepingan misteri, sehingga menyandang predikat The World’s Greatest Detective.
Baca Juga: Ulasan ‘Belle’: Perempuan yang Terluka, Patah, Bangkit
Reputasi Batman sebagai detektif ini yang sering luput diangkat secara terang-terangan dan lugas dalam film-film terdahulunya. Mulai dari Batman (1989), Batman Returns (1992), Batman Forever (1995), Batman and Robin (1997), Trilogi The Dark Knight (2005, 2008, dan 2012), maupun Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), dan Justice League (2017). Semua hanya menampilkan satu sisi Batman saja: Batman sebagai superhero-vigilante dengan gadget canggih dan aksi laga bak James Bond–alias susah mati.
Ini yang bikin The Batman besutan Matt Reeves jadi beda. Reeves mengembalikan hakikat karakter asli Batman sebagai detektif di Gotham, yang selama 83 tahun terakhir tak terlalu menempel.Dengan durasi 2 jam 56 menit, Reeves menghadirkan kisah noir Batman dengan konflik yang berpusat pada pemecahan misteri pembunuhan berantai para pejabat dan tokoh penting kota Gotham.
Cerita The Batman dimulai saat Wali Kota Gotham dibunuh sadis dan brutal oleh seorang penjahat bertopeng, yang belakangan diketahui bernama The Riddler (Paul Dano). Dalam aksi pembantaian ini, The Riddler selalu meninggalkan teka-teki dengan tulisan No More Lies serta kartu ucapan yang khusus ia tujukan untuk Batman.
Pembunuhan berantai ini ternyata bagian dari mengungkap jaringan korupsi di Gotham yang kompleks, dan melibatkan kekayaan keluarga Wayne. Menonton sang Batman kocar-kacir, menebak-nebak teka-teki yang ditebar The Riddler membangkitkan sensasi yang sama saat menonton film-film thriller crime macam: Se7en (1995), The Silence of the Lambs (1991), dan Zodiac (2007).
Film The Batman yang Humanis dan Isu Sosial yang Membumi
Dengan arahan Revees, Robert Pattinson mampu membawa karakter Bruce Wayne yang lebih humanis. Buat saya, Batman versi Pattinson ini cukup berbeda dengan Batman versi sebelum-sebelumnya. Reeves, pada Nerdist, mengungkap keinginan untuk punya Batman yang lebih humanis, manusiawi. Itu sebabnya, ia ingin Batman versinya lebih fokus pada perjalanan emosional Bruce Wayne, identitas asli yang membentuk jati diri sang superhero.
Intensi itu lumayan terasa di layar. Segala emosi yang dirasakan Bruce Wayne sebagai Batman, dari rasa marah, sedih, hingga kecewa tersampaikan cakep lewat raut muka dan intonasi suara Pattinson. Sosok Bruce Wayne terasa apa adanya. Dia adalah manusia rapuh yang terpenjara bayangan diri sendiri yang penuh luka dan trauma masa kecil.
Baca Juga: ‘The Falls’, Ketika COVID-19 Ubah Kehidupan Ibu dan Anak
Meski sepanjang film kita melihat Batman fokus membongkar teka-teki yang dicecerkan The Riddler, Reeves sebetulnya, di saat bersamaan juga membangun narasi kompleks yang perlahan-lahan membongkar identitas dan luka Bruce Wayne.
Wayne yang awalnya hidup hanya untuk memenuhi idealisme sang ayah, kini menyadari bahwa tindakannya mampu memberikan makna bagi banyak orang, jika saja ia mau mengubah perspektifnya terhadap dunia.
Sehingga, selain menjadi film detektif yang mencekam, The Batman adalah film coming of age dari Bruce Wayne sendiri.
Hal lain yang tidak kalah menarik dari The Batman adalah pembawaan konflik-konfliknya yang terasa dekat dengan realitas kita. Penonton diajak memahami mengapa Gotham memiliki reputasi buruk. Gotham yang selama film-film terdahulunya hanya digambarkan sebagai kota gelap distopia, kali ini dikupas tajam. Kebenaran di balik reputasi buruk itu diungkap satu per satu.
Gotham dibangun dalam kuasa para penguasa rakus yang terlibat dalam skema korupsi bertahun-tahun. Ia menjadi kota yang hanya menguntungkan para konglomerat dan pejabat, yang bekerja sama dengan mafia. Kelompok marginal harus bertahan hidup dalam segala kesulitan mereka, menanggung segala dosa yang ditorehkan para penguasa tidak tahu malu.
Di sanalah peran The Riddler sebagai penjahat terasa membingungkan. Edward Nashton alias The Riddler adalah seorang yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan Gotham. Ia dendam pada Bruce Wayne, anak yatim piatu lainnya yang justru tumbuh berbeda dan sejahtera. Tak seperti dirinya dan anak-anak yatim lain yang dibesarkan di panti yang dibangun di tanah keluarga Wayne. Obsesi itu membawa Nashton ke petualangannya membongkar borok Gotham. Ia, meski tak betul-betul digerakan oleh ideologis ingin menyejahterakan warga Gotham, berhasil membantu sang Batman untuk menyadari akar permasalahan yang bikin Gotham bau pesing dan keringat koruptor.
Di satu titik, seperti dialog yang panjang lebar dimuntahkannya pada Batman di satu adegan dalam penjara, The Riddler adalah pahlawan sebenarnya yang bersama-sama Batman, mengungkap kebobrokan itu langsung ke bawah lampu terang.
Di ujung, meski The Riddler berhasil dipenjarakan, kita tak bisa menampik kenyataan bahwa ia telah menang. Sebuah antitesis menarik, yang bikin Batman versi Reeves ini jadi hidup dan terasa humanis.