‘The Falls’, Ketika COVID-19 Ubah Kehidupan Ibu dan Anak
Film ‘The Falls’ menggarisbawahi dinamika ibu dan anak selama pandemi. Sayang, penggambarannya masih sangat maskulin.
Pandemi COVID-19 sudah berlangsung selama dua tahun lebih. Dalam kurun waktu ini, tak banyak pilihan yang tersisa selain beradaptasi dan hidup berdampingan dengannya. Namun, praktik untuk legowo menerima normal baru ini tak sesederhana bacot saya.
Faktanya, manusia selama pandemi COVID-19 dihadapkan pada tantangan yang berat. Hal itulah yang berusaha disampaikan oleh Chung Mong-Hong dalam film terbarunya berjudul The Falls (2021). Dengan judul film The Falls dalam bahasa Cina, 瀑布 pùbù) yang secara langsung diterjemahkan menjadi “air terjun”, Chung Mong-Hong secara metafor bermain seperti air terjun yang bermuara pada sungai. Ia turun begitu cepat, namun pada gilirannya surut dan mengalir begitu lambat. Dalam hal ini, Chung Mong-Hong menghadirkan sebuah drama keluarga dengan alur yang lambat, namun begitu intens yang dibalut sinematografi indah dengan menggunakan teknik pencahayaan dan warna yang apik.
Apartemen tempat tinggal protagonis dibuat menonjol dari lanskap kota Taiwan yang dipenuhi cahaya matahari. Ia ditutupi terpal berwarna biru di sebagian besar film yang membuat ruang keluarga, bagian rumah yang diasosiasikan dengan kehangatan berganti menjadi ruang yang lekat dengan atmosfer gelap dan dingin. Sebuah metafora tentang bagaimana COVID-19 menjauhkan manusia dari kehangatan dunia dan membuat mereka terisolasi di dalamnya.
Terisolasinya manusia kala pandemi kemudian berusaha Chung Mong-Hong elaborasi lebih lanjut dengan hubungan antara ibu dan anak, Pin-Wen (Alyssa Chia) dan Xiao Jing (Gingle Wang) sebagai kisah utamanya. Dengan hubungan yang sedari awal sudah renggang dan dipenuhi oleh perilaku dingin dan sinisme, keduanya harus bisa menavigasikan kehidupan baru mereka ketika Xiao Jing terpaksa harus menjalani isolasi mandiri setelah teman sekelasnya positif COVID.
Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan
Drama Ibu dan Anak dalam Pusaran Pandemi dalam Film The Falls
Berbeda dengan film A Sun (2019) yang menekankan pada hubungan ayah dan anak, Chung Mong-Hong melalui The Falls memang terlihat sedang menantang dirinya sendiri dalam meramu cerita yang terpusat pada kisah perempuan. Melalui lensanya, penonton diajak untuk memahami dinamika antara ibu dan anak, sebuah dinamika relasi keluarga yang dalam masyarakat Cina ia sebut sebagai “begitu intim sehingga bisa terasa begitu menyakitkan.”
Dinamika relasi ini begitu terlihat dari karakter Pin-Wen dan Xiao Jing. Sebagai seorang perempuan paruh baya yang telah bercerai dan merupakan perempuan karir, sosok Pin-Wen digambarkan sebagai sosok ibu yang secara emosional tidak dekat dengan anaknya semenjak perceraian dengan mantan suaminya. Kedekatan yang begitu intim bersama anak semata wayangnya kini telah menjadi fragmen-fragmen memori yang mulai terlupakan.
Ingin melupakan bagaimana sakitnya ditinggal oleh suaminya, Pin-Wen menyibukkan diri bekerja. Interaksinya dengan anak perempuannya pun menjadi sangat minim dan berkembang menjadi sebuah percakapan tidak mengenakkan karena diawali dengan nasihat-nasihatnya yang memekakkan telinga kepada anaknya.
Perubahan ini tentu berpengaruh pada Xiao Jing, selama babak awal film ia memang digambarkan sebagai seseorang yang dingin bahkan tidak jarang tidak segan melontarkan makian kepada ibunya. Keduanya terluka dalam duka yang berbeda, namun keduanya melampiaskan dengan cara yang hampir sama. Alih-alih berusaha untuk berdamai dengan keadaan dan mencari cara untuk memperbaiki hubungan yang kian retak, keduanya justru menyakiti diri mereka sendiri dengan menunjukkan kekesalan masing-masing pada orang-orang sekitar mereka dan membangun tembok tinggi satu sama lain.
Relasi antar keduanya yang mulai retak ini kemudian mencapai titik baliknya semenjak Pin-Wen dan Xiao Jing harus menjalani isolasi mandiri bersama di apartemen mereka. Selama menjalani isolasi bersama anak perempuannya, Pin-Wen mulai “kehilangan dirinya” seakan ia adalah cangkang kosong yang sudah kehilangan jiwanya. Ia mulai sering melamun, duduk berjam-jam di ruang keluarga dengan balutan cahaya redup dari terpal biru di jendelanya. Ia bahkan sempat membuat Xiao Jing panik karena tiba-tiba keluar apartemen dengan hanya memakai baju tidur saat hujan badai melanda Taiwan.
Di sinilah titik di mana akhirnya Xiao Ting mengetahui fakta pahit bahwa ibunya mengalami nervous breakdown sebagai akibat dari perubahan drastis dalam hidupnya. Melihat bagaimana ibunya yang bahkan harus menjalani perawatan untuk kesehatan mentalnya, Xiao Ting pun harus menjalani peran barunya.
Dengan kembali memanggil Pin-Wen dengan sebutan Mama, Xiao Ting mulai meruntuhkan tembok tinggi yang ia bangun. Ia merawat ibunya dengan kehati-hatian, berbicara dengannya dengan nada yang lembut dan halus, dan mengambil alih tanggung jawab sebagai “kepala keluarga” yang mengatur keuangan hingga kebutuhan sehari-hari mereka berdua.
Baca Juga: Ulasan ‘Belle’: Perempuan yang Terluka, Patah, Bangkit
Dalam momen inilah banyak rahasia terungkap. Mulai dari fakta bahwa ayahnya yang menikah kembali ternyata telah mempunyai anak hingga fakta di mana ibunya adalah sosok rapuh yang selama ini bersembunyi dalam topeng perempuan karir dan ibu tunggal.
Penggambaran Maskulin tentang Kesehatan Mental Perempuan
Sebagai film yang kisah perempuan sebagai porosnya, film The Falls yang digarap oleh Chung Mong-Hong masih terkesan sangat maskulin. Terlepas dari sinematografi yang memukau, komentar sosial yang relevan, penggunaan instrumen ketegangan yang luar biasa, dan akting yang hebat, tokoh perempuan dalam The Falls masih digambarkan dalam sterotipe feminitas rapuhnya.
Hal ini terlihat dari karakter Pin-Wen yang selama film digambarkan untuk menarik simpati para penontonnya dengan drama masa lalunya bersama mantan suami. Ia digambarkan sebagai satu-satunya pihak yang tidak bisa move on dari hubungannya dengan mantan suami. Pin-Wen terjebak dalam masa lalunya dan masih menginginkan kehadiran mantan suaminya sebagai sandaran hidupnya. Di satu sisi suaminya hidup tenang dan bahagia bersama istri barunya dan anaknya.
Dalam beberapa adegan Chung Mong-Hong secara jelas menggambarkan bagaimana hancurnya seorang perempuan jika ditinggal suaminya, ia seakan kehilangan sebagian dari dirinya dan kesulitan untuk menapakkan kaki pada realita. Melalui satu adegan misalnya Pin-Wen digambarkan sibuk membereskan apartemen dengan dalih mantan suaminya akan kembali tinggal bersama dirinya. Sebuah ilusi yang ia terus tanamkan semenjak ia ditinggal suaminya dan semakin parah ketika kesehatan mentalnya menurun. Xiao Ting bahkan sempat ia marahi karena mengatakan bahwa suaminya tidak akan mungkin kembali lagi dalam keluarga kecil mereka.
Penekanan terhadap bagaimana perempuan adalah sosok yang sangat bergantung pada laki-laki kemudian diperkuat dengan bagaimana Pin-Wen menjalin hubungan dengan manager supermarket, Mr. Chen. Setelah selesai melakukan pengobatan atas kesehatan mentalnya, keluar dari pekerjaannya, dan memilih menjadi pegawai supermarket, Pin-Wen digambarkan sebagai sosok perempuan yang masih kesulitan menavigasikan kehidupan barunya. Dalam hal ini, Mr. Chen menjadi karakter laki-laki yang mampu menjadi sandaran baru bagi Pin-Wen dengan Pin-Wen menjadi sosok yang sering bergantung padanya.
Baca Juga: Feminis Bercerita, demi Industri Film yang Inklusif
Dalam penelitian Gender and Romantic-Love Roles (1991), Jerold Heiss, profesor sosiologi dari Universitas Connecticut mengatakan bagaimana dalam hubungan romantis perempuan dibuat terikat pada peran gender tradisional dan tunduk pada laki-laki. Cintanya terhadap laki-laki membawa perempuan dalam sebuah “ketergantungan patologis” yang membuat mereka menjadi sangat terikat pada laki-laki, loyal terhadapnya, dan menjadikan laki-laki sandaran hidup mereka. Dalam hal ini, Chung Mong-Hong membangun karakter perempuan dalam bingkai hostile sexism, bentuk seksisme yang mencerminkan misogini dan diekspresikan melalui evaluasi negatif yang terang-terangan terhadap perempuan. Contoh hostile sexism ini termasuk keyakinan tentang perempuan sebagai tidak kompeten, tidak cerdas, terlalu emosional, dan bergantung pada orang lain.
Tidak hanya membangun karakter perempuan dalam bingkai hostile sexism, Chung Mong-Hong juga melanggengkan sterotip gender dalam isu kesehatan mental. Dalam penelitian Crazy Women and Crazier Men: Mental Illness and Gender in Television Shows and Fan Conversations (2019) menjelaskan bagaimana perempuan dan isu kesehatan mental digambarkan tidak jauh dari sterotip gendernya oleh media. Perempuan yang memiliki masalah kesehatan mental ditekankan pada kepasifan mereka dan penampilan fisik untuk kinerja feminitas mereka. Karakter perempuan dalam hal ini cenderung terlibat dalam bentuk menyakiti diri sendiri yang lebih pasif dalam penyakit mental mereka. Mereka tidak tidur, tidak makan, sering melamun, atau tidak merawat penampilan mereka sendiri.
Hal ini terlihat sekali dalam penggambaran Pin-Wen. Saat mengalami nervous breakdown ia digambarkan sebagai sosok yang sangat pasif yang pikirannya seakan kosong, sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang dahulu aktif seorang perempuan karir. Dari seorang perempuan karir dengan pakaian dan dandanannya yang glamour, ia juga secara drastis digambarkan sebagai perempuan paruh baya yang lesu, memakai pakaian lusuh senyamannya, dan tidak memakai makeup sama sekali bahkan ketika ia bekerja di supermarket. Hal ini pun menekankan bagaimana perubahan penampilan dan kepasifannya digunakan untuk mengomunikasikan beratnya krisis emosional yang dihadapi karakter-karakter ini.
Singkatnya, kendati The Falls merupakan film yang cukup baik dalam mengeksplorasi dinamika ibu dan anak dan perasaan terisolasi selama pademi, film ini nyatanya masih digambarkan secara maskulin oleh sutradaranya. Karenanya, film dengan durasi dua jam ini tidak begitu meninggalkan kesan mendalam pada penontonnya karena masih terjebak dalam bias gender yang memekakkan telinga.