‘The Half of It’: Saat Kebebasan dan Cinta Tak Selalu Manis
‘The Half of It’ mengajarkan pada saya pelajaran penting. Bahwa yang bebas belum tentu sepenuhnya bebas. Pun yang cinta belum tentu bahagia.
The Half of It (2020) sebenarnya punya tema sederhana bahkan cenderung klise, yakni cinta segitiga dan persahabatan remaja. Namun, saya akui The Half of It tidak seperti film romantis komedi (romcom) remaja yang uwu-uwu, terlebih lagi jika dilihat dari struktur filmnya. The Half of It memiliki jalan cerita yang loncat-loncat ditambah dengan bumbu-bumbu isu yang agak berat untuk dipahami oleh remaja kebanyakan.
Alasan itulah yang membuat saya gampang kepincut dengan The Half of It. Isu-isu yang mereka angkat tak lahir dari ruang hampa, bahkan selalu menyertakan sarana refleksi diri. Tak hanya itu, sinematografi The Half of It juga memikat saya pada pandangan pertama. Bahkan, saya langsung jatuh cinta hanya dengan melihat posternya saja.
Pemaknaan yang saya dapati dari film ini adalah tentang ambiguitas. Yang pertama adalah : ternyata tidak hanya kelompok subordinat yang dilabeli oleh masyarakat, tetapi kelompok superordinat juga. Pelabelan yang dikira menguntungkan mereka (kelompok superordinat) jika dimaknai lebih dalam, justru malah membelenggu mereka.
Argumen di atas dapat dilihat dari masing-masing tokoh perempuan di filmnya. Misalnya, Ellie, tokoh perempuan yang jadi representasi kelompok subordinat. Ellie berasal dari luar kota kecil Squahamish, dia tidak beragama. Hal tersebut kurang cocok dengan kehidupan penduduk Squahamish yang terkenal religius. Tak hanya itu, Ellie berasal dari kelas bawah dan dia adalah lesbian, yang mana hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat Squahamish.
Baca juga: Film India ‘Begum Jaan’ Gambarkan Paradoks Batasan sebagai Kebebasan Perempuan
Uniknya, dengan pelbagai identitas minoritas itu, dia tak pasrah begitu saja. Dia sadar dirinya diposisikan oleh lingkungan di garis margin. Oleh sebab itu, Ellie berusaha untuk menunjukkan eksistensinya dan keluar dari stigma masyarakat dengan isi otaknya yang brilian.
Usahanya membuktikan diri berhasil. Bahkan sebagian besar teman sekolah membayarnya untuk mengerjakan tugas sekolah, pun guru yang mengetahuinya diam-diam mendukung kegiatan transaksional itu. Secara tidak langsung, film ini menyatakan, tokoh submarginal dapat bebas dan berdaya dalam kondisi ketidakberdayaannya. Kecerdasan menjadi modal untuk menunjukkan eksistensi.
Sebaliknya, tokoh Aster yang ditampilkan sebagai perempuan populer, eksklusif, dan memenuhi “standar citra perempuan ideal” malah terjebak pada satu ruang penuh ekspektasi. Memang betul setelah memenuhi segala ekspektasi lingkungan, dirinya mendapatkan segala kemudahan dalam kehidupan. Namun kemudahan yang didapatkan justru menyeret dan mengikatnya pada ruang penindasan akan krisis eksistensi. Dia tak mengenali dirinya karena identitasnya dikonstruksi oleh lingkungan. Dia tercerabut.
Penyematan label sebagai seorang yang sempurna ternyata membelenggu tokoh Aster. Dia tak dapat mengekspresikan diri apa adanya. Pada posisi itu, rasa kenyamanan dan keamanan ternyata tidak didapatkannya sama sekali.
Baca juga: ‘Cinta Bete’: Sorot Kekerasan tapi Terjebak Tokenisme Orang Timur
Tokoh Aster juga digambarkan sebagai tokoh yang ambigu, kabur, atau abu-abu. Dia terjebak dalam kebingungan di ruang “aman” konstruksi masyarakat. Rasa kebebasan yang dia dapatkan dari ruang itu juga dimaknainya sebagai sosok yang ambigu. Dia bahkan tidak tahu cara hidup yang paling cocok untuknya, karena berada di posisi yang mana banyak nilai-nilai kehidupan saling beririsan dan bertentangan.
Saya kaitkan kutipan Sartre yang diselipkan dalam dialog antara Paul dan Ellie saat mendeskripsikan sosok Aster, “Hell is other people.”
Tokoh Aster yang dikira sebagai subjek ternyata juga objek dari konstruksi lingkungan patriarkis. Aster menginginkan kebebasan. Namun, ia juga takut untuk bersuara tentang kebebasan. Ia cemas, jika benar-benar bebas, apakah dirinya akan mendapatkan garansi keamanan seperti saat dia berada di ruang patriarki tadi? Ketidakpastian yang dialaminya digambarkan sebagai penindasan. Dalam konteks ini, penindasan yang dialami Aster malah mengurungnya pada rasa keputusasaan.
Aster adalah gambaran perempuan yang “tidak dapat berbicara” karena sistem patriarki. Muncul rasa keputusasaan yang justru membuatnya melakukan pengulangan gerakan mekanisme penindasan sistem patriarki, konservatif, dan fatalisme pada dirinya sendiri. Dia membiarkan lingkungan memainkan kehidupannya.
Singkatnya, dilm ini menjelaskan tentang ambigu kebebasan, bahwa kita harus kritis, apakah benar kebebasan adalah suatu kebebasan? Ataukah kebebasan tersebut nanti hanya menjadi media kita untuk menjelma lagi sebagai objek bukan subjek di ruang lain? Mengutip Beauvoir “Jika benar kausa kebebasan merupakan kausa setiap orang, maka juga benar bahwa urgensi pembebasan tidak sama untuk semua orang.”
Kita perlu merefleksikannya mengenai terma pembebasan, bagaimana strateginya, kenapa memilih strategi itu, karena ternyata makna bebas sungguh kompleks.
Cinta yang juga Ambigu
Selain membahas tentang ambiguitas kebebasan. The Half of It, menjelaskan tentang ambiguitas cinta. Dalam hal ini, cinta menjadi kekuatan untuk mendorong kedua tokoh utama perempuan untuk bersuara. Kekuatan cinta melesap pada gerakan sisterhood dalam film. Hal tersebut dibuktikan pada adegan di mana Aster ditekan oleh tirani keluarga patriarki, yang memaksanya untuk menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya. Namun, Ellie membantu untuk menjelaskan mengenai tentang term cinta. Hal tersebut menggerakan hati Aster untuk membuka diri mencari kebebasan dirinya sendiri.
“Love isn’t patient, and kind, and humble. Love is messy, and horrible and selfish and bold. It’s not finding your perfect half. It’s the trying, and reaching, and failing” – Ellie Chu.
“Trying, reaching, and failing” termanya mirip dengan “patient, kind, and humble.”
Namun jika dirasakan, tentu berbeda sama sekali, seperti gradasi warna yang dianalogikan Ellie pada lukisan Aster. Bahwa dalam membedakannya hanya bisa dengan merasakannya.
Baca juga: ‘Balada Sepasang Kekasih Gila’, Potret Derita ODGJ di Tengah Stigma
Inilah yang dimaksud Ellie mengenai ambiguitas cinta. Bahwa cinta tak selalu hadir dalam keadaan menyenangkan. Jika cinta hadir dalam kondisi tak ideal, bukan berarti itu buruk. Bahkan cinta semacam itu bisa saja memberikan kekuatan untuk individu tersebut.
Favorit Saya: Lelaki juga Feminis
Masih terkait ambiguitas cinta, scene paling menarik The Half of It adalah ketika Paul dan Ellie berpisah di stasiun, mereka berpelukan erat. Ini bisa dimaknai sebagai suatu penolakan feminis pada stigma masyarakat yang menyatakan, “Semua feminis membenci laki-laki.”
Paul adalah simbol laki-laki yang menerima dan mendukung keberagaman dan kesetaraan. Bahkan scene ketika Paul mengejar kereta yang dinaiki Ellie Paul menggambarkan, laki-laki juga berhak mendukung atau menjadi feminis. Film ini sekali lagi menandaskan, yang perlu kita lawan adalah sistem patriarki bukan laki-laki, karena sistem patriarki tidak hanya menindas perempuan tetapi juga laki-laki.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.