Politics & Society

Tidak Perlu Membuat Badai yang Tidak Perlu: Pengalaman Membuka Jilbab

Perjalanan setiap orang unik, jadi tidak perlu mempertanyakan keputusan seseorang membuka jilbab.

Avatar
  • August 28, 2018
  • 5 min read
  • 944 Views
Tidak Perlu Membuat Badai yang Tidak Perlu: Pengalaman Membuka Jilbab

Sekitar tiga tahun yang lalu, saya memutuskan untuk tidak lagi memakai jilbab. Pulang ke rumah setelah menyelesaikan kuliah selama kurang lebih enam tahun dengan rambut terurai membuat Ibu saya menangis. Sambil memegang rambut saya, dengan pelan dia berkata, “Lihat, Pak, anak kita sudah tidak berkerudung lagi.” Bapak hanya tersenyum dan sampai sekarang saya kurang paham arti senyumannya.
 
Saya dibesarkan dalam lingkungan kelas menengah biasa. Ibu dan Bapak saya bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Gaji mereka tidak besar tapi cukup membuat saya dapat membeli buku dan membaca dengan rutin. Meskipun saya tahu mereka harus menyisihkan pengeluaran bulanan yang lumayan besar untuk buku-buku selain belanja kebutuhan rumah dan tanggungan lainnya.
 
Diangkat menjadi PNS di zaman Orde Baru membuat mereka menjadi produk generasinya. Mereka tidak terlalu akrab dengan ide pembelokan sejarah, sensor karya, dan segala propaganda Orba hingga ke tingkat keluarga – Keluarga Berencana (KB) dan norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS). Mereka hanya tahu harga kebutuhan pokok jauh lebih murah dari zaman sekarang dan Soeharto adalah Bapak Pembangunan. Mereka berusaha menjadi keluarga yang bahagia, sejahtera, dan religius.

Mereka berusaha membesarkan saya dengan norma normal pada umumnya. Pergi sekolah, belajar di Taman Pendidikan Alquran (TPA) dan tidak boleh bicara kasar (kalau tidak mulut saya dijejali cabai rawit). Saya belajar salat, berpuasa, dan mengaji. Tapi selain belajar kitab suci saya juga membaca buku-buku yang lainnya. Hingga sekarang saya sungguh bersyukur ibu saya membolehkan membeli buku di toko buku kecil di kampung saya dulu. Sungguh berbahaya orang-orang yang hanya membaca satu buku saja.
 
Karena buku-buku lain itulah saya sering bertanya, “Tuhan di mana?” dan jawaban kesukaan Ibu adalah, “Tuhan lebih dekat daripada urat nadimu.” Saya senang sekali dengan jawaban ini, meskipun Ibu masih menekankan bahwa saya harus salat dan berpuasa tapi jawaban ini terasa romantis sekaligus kontradiktif. Tapi memang begitulah pandangan personal saya tentang tuhan, dari sananya dia memang sebuah kontradiksi.
 
Dengan segala keraguan, saya memutuskan untuk memakai jilbab saat kuliah merantau di kota kembang. Saat itu saya merasa bahwa itu adalah keputusan tepat. Saya merasa sudah saatnya dan keputusan itu diambil dengan sadar tanpa paksaan. Ibu saya senang bukan main dan salah satu dosen bahkan mendoakan agar saya istikamah.
 
Waktu berlalu, saya tetap hidup dengan segala keraguan yang disimpan dan dibiarkan saja. Sampai akhirnya menumpuk. Saya mulai berontak terhadap keraguan saya dengan alasan saya ingin percaya. Sungguh, saya ingin percaya dengan segala aturan yang ada di agama saya dulu. Bahwa tuhan saya bernama Allah, salat itu wajib lima waktu, dan menutup aurat dengan memakai jilbab adalah keharusan bagi perempuan.
 
Tapi keraguan yang menumpuk itu mulai membludak. Hati dan otak saya mulai menjerit setiap malam dan mengulang-ulang pertanyaan itu tanpa ada filter. Cukup lama mereka menjerit dan rasanya capek sekali. Sempat membuat saya tidak mau keluar kamar dan berinteraksi dengan manusia. Saya hanya bengong dan menangis karena saya tidak terlalu mengerti. Ke mana kepercayaan saya selama ini? Rasanya seperti tercerabut dari akar yang telah kuat tertanam.
 
Sampai akhirnya saya menyerah dan menerima keraguan saya. Pelan-pelan saya susuri apa saja yang membuat saya seperti ini. Apa yang harus saya lakukan untuk mengurangi pergulatan iman yang setiap malam menjerit tidak tahu waktu? Dan saya pun mulai memegang kain yang menempel sehari-hari di kepala saya.
 
Kain yang bagi saya adalah sebuah simbol identitas kepercayaan saya. Simbol kestabilan dan ketenangan iman saya. Saya yang mulai menerima keraguan saya kembali bertanya, masih pantaskah saya memakai kain ini di kepala sedangkan isi kepala saya sudah sedemikian tidak percayanya? Tapi tidak, saya tidak mau melepas kain ini. Saya masih takut akan anggapan orang-orang terdekat saya, saya takut melihat ibu saya menangis dan diomongkan orang-orang. Pelajaran bahwa perempuan harus sopan dan menurut lumayan mengakar di diri saya, meskipun pelan-pelan saya mulai belajar melepaskan stigma turunan tanpa faedah seperti itu.
 
Lama kelamaan saya mulai tidak kuat. Kain itu bukan lagi identitas saya. Ketidakpercayaan itu tidak bisa lagi dibendung. Sampai akhirnya saya mulai menanggalkannya di situasi tertentu. Saat bermain dengan teman-teman dekat yang sudah kenal buruk baiknya saya dan di acara tertentu yang tidak banyak melibatkan kaum konservatif.
 
Hingga akhirnya, satu tahun berikutnya, saya memutuskan menanggalkan jilbab saya secara menyeluruh dan sampai di depan pintu rumah saya. Untuk pertama kalinya saya pulang tanpa menggunakan jilbab. Saya tidak bisa tidur malam sebelumnya dan tangan saya dingin dan berkeringat. Saya sempat terdiam di depan pintu dan mulai berpikir lagi untuk memakai jilbab sebelum masuk ke rumah. Perut saya mulas sekali.
 
Tapi saya ingat, saya harus kuat menyampaikan keraguan saya. Saya harus lembut dengan kuat tanpa membuat badai yang tidak perlu. Inilah saya dengan perjalanan iman saya pulang ke rumah. Dengan menarik napas saya mengucapkan, “Assalamualaikum” dan masuk ke rumah disambut dengan tatapan bingung Ibu.
 
Sepertinya doa dosen saya tidak dikabulkan oleh semesta. Hingga kini saya masih penuh keraguan dan terus mencari ketenangan. Orang tua saya sudah terbiasa melihat saya tidak berkerudung. Ibu saya masih sering mengelus rambut saya setiap pulang ke rumah dan Bapak saya tidak pernah sekalipun berkomentar atau menyuruh saya memakai kerudung kembali. Justru Oom dan tante yang kadang masih suka bertanya, berkomentar, dan menyuruh saya memakai kerudung lagi.
 
Dulu pertama kali mendapat komentar “Kamu kurang bahan?” membuat saya marah dan hendak berdebat. Tapi sekarang saya hanya tersenyum dan berpikir tak perlulah membuat badai yang tak perlu karena perjalanan manusia semuanya unik dan berbeda satu sama lainnya.

 

 

Al Kaisum Husnayah adalah pencerita di dalam kepalanya. Pernah merawat kucing bernama Bulan dan menyesal meninggalkannya di rumah. Sehari-hari bekerja sebagai Project Manager dan berharap suatu hari dapat bercocok tanam di kebun mungil.



#waveforequality


Avatar
About Author

Al Kaisum Husnayah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *