December 5, 2025
Issues Opini

Tak Semua Ayah Patut Dihormati

Kalimat “bagaimanapun dia ayahmu” sering dianggap nasihat bijak. Tapi bagi banyak anak, ini justru menjadi tekanan untuk menerima kekerasan dalam keluarga sebagai hal yang wajar.

  • August 15, 2025
  • 4 min read
  • 1307 Views
Tak Semua Ayah Patut Dihormati

“Awak sudah muak. Gak bisa lagi anggap dia ayah. Tapi ya gitu, ibuk awak selalu marah, trus bilang ‘bagaimanapun di ayahmu’. Padahal cuma modal sperma!”

Kalimat itu tumpah begitu saja dari mulut teman saya. Ia anak sulung dari empat bersaudara, dibesarkan oleh kakek dan neneknya, sementara sang ayah sibuk berpindah dari satu bentuk kekerasan ke lainnya—narkoba, KDRT, penjara. Belum lagi terlibat utang sana sini. Tapi setiap kali ia menolak menyebut laki-laki itu sebagai ayah, ibunya, yang pernah menjadi korban tamparan dan bentakan yang sama, justru mengatakan, “Bagaimanapun, dia tetap ayahmu.”

Baca juga: Bolehkah Perempuan Korban KDRT Bela Diri dengan Kekerasan juga?

Pertanyaan itu tak hanya datang dari sang ibu, tapi juga dari keluarga besar, tetangga, bahkan teman-teman dekat. Semacam paduan suara budaya patriarki yang iramanya rasa bersalah, liriknya penuh penyangkalan.

Saya mengenal pola ini karena saya pernah mengalaminya. Ada jenis kesetiaan yang lahir bukan dari cinta, tapi dari luka yang sudah terlalu lama dipeluk. Kita diajari bahwa mungkin begitulah cinta, begitulah menjadi istri atau anak yang baik—bertahan, memaafkan, dan mengerti.

Tapi anak-anak zaman sekarang tidak lagi mau ikut diam. Mereka bertanya, melawan, menolak. Mereka tahu, menjadi ayah tidak cukup hanya dengan menyumbang sperma.

“Kalau cuma itu, dokter pun bisa,” kata seorang remaja dalam forum diskusi yang pernah saya fasilitasi. Saya tertawa—bukan karena lucu, tapi karena ngeri. Mereka bukan hanya tajam lidahnya, tapi juga logikanya. Dan sayangnya, mereka memang benar.

Kalimat “bagaimanapun dia ayahmu” bukanlah nasihat bijak, melainkan cermin dari sistem nilai yang memaksa kita menghormati kekuasaan, bukan kasih. Cendekiawan feminis Sara Ahmed dalam Living a Feminist Life (2017) menulis bahwa menjadi perempuan sering berarti hidup dalam kompromi yang tak berujung—mengurusi perasaan orang lain sambil menyingkirkan perasaannya sendiri. Dalam kasus ini, kompromi itu juga diwariskan ke anak-anak.

Baca juga: Warisan Ayah: Memutus Rantai KDRT

Rumah, kekuasaan, dan warisan kekerasan

Pengalaman panjang saya dalam gerakan perempuan akar rumput di Sumatera Utara menunjukkan, kalimat “bagaimanapun dia ayahmu” telah menjadi mantra sosial. Sebuah narasi yang tampaknya luhur tapi sebenarnya melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga. Ia digunakan untuk memaksa korban tetap loyal kepada pelaku, atas nama kesatuan keluarga.

Anak yang menolak tunduk pada narasi ini sering dianggap durhaka, kurang ajar, atau tidak tahu diri. Tapi justru mereka lebih waras. Mereka tahu bahwa rumah bukan seharusnya tempat luka ditoleransi, dan bahwa cinta yang menyakitkan bukan cinta yang layak dipertahankan.

Dalam banyak komunitas yang saya dampingi, rumah justru menjadi lokasi awal kekerasan, tempat di mana anak-anak pertama kali belajar takut. Perempuan belajar menahan perih sebagai bentuk kesetiaan. Bahkan ketika agama digunakan sebagai pembenar, tafsir yang digunakan sering bias patriarki.

Padahal, cendekiawan Islam Asma Barlas, dalam Believing Women in Islam (2002/2019), menegaskan bahwa Islam tak pernah melegitimasi relasi keluarga berbasis dominasi. Ayat tentang kepemimpinan laki-laki dalam keluarga semestinya dimaknai sebagai tanggung jawab, bukan kuasa mutlak.

Namun dalam praktiknya, banyak perempuan lebih takut dicap gagal menjaga keluarga daripada gagal menjaga kewarasan anak-anak mereka. Takut cerai, takut malu, takut disebut durhaka. Akibatnya, ketika seorang anak berani bicara—bukan untuk menghina, tapi untuk menjaga batas dirinya—anak itu yang disalahkan.

Sistem ini menjadikan “keluarga utuh” sebagai tujuan mutlak, meski isinya penuh luka. Kita diajari bahwa keluarga layak dipertahankan, meski dengan menyingkirkan rasa aman. Kita membungkus luka dengan kata “pengorbanan”, lalu mewariskannya ke generasi berikutnya.

Baca juga: Oh, Ibu dan Ayah, Putuskan Rantai Kekerasan terhadap Anak

Padahal menjadi orang tua bukan soal status, atau posisi hierarkis dalam kartu keluarga. Menjadi orang tua berarti hadir, belajar, dan bertanggung jawab. Anak-anak tahu itu. Dan ketika mereka tidak melihat kehadiran, mereka pun berhak untuk bertanya ulang: siapa yang pantas disebut “ayah”?

Mungkin sudah saatnya kita berhenti mengulang kalimat-kalimat warisan yang menyakitkan itu. Kalimat seperti “bagaimanapun dia ayahmu” bisa jadi bukan kebijaksanaan, melainkan bentuk penyangkalan kolektif atas kekerasan yang kita normalisasi.

Kalau kamu sedang bergulat dengan pertanyaan yang sama, atau pernah mengalaminya, kamu perlu tahu bahwa kamu tidak sendiri. Dan kamu tidak salah karena ingin waras. Karena waras adalah pilihan yang berani. Dan kadang, satu-satunya bentuk cinta yang paling jujur adalah menolak untuk diam.

About Author

Laili Zailani

Lely adalah fasilitator pemberdayaan perempuan, pendiri HAPSARI dan Rumah Kata. Fellow Ashoka Indonesia (2000), serta penulis yang percaya bahwa cerita adalah alat perubahan.