December 5, 2025
Issues Politics & Society

Kenapa Gedung DPR Enggak Pas buat Wakil Rakyat: 3 Alasan Versi Ahli Arsitektur 

Pagar tinggi, akses sulit, sampai penjagaan yang ketat. Ini alasan kenapa gedung DPR enggak ramah buat warganya.

  • September 3, 2025
  • 4 min read
  • 2013 Views
Kenapa Gedung DPR Enggak Pas buat Wakil Rakyat: 3 Alasan Versi Ahli Arsitektur 

Mungkin sudah saatnya kita membawa sound horeg untuk menyampaikan aspirasi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jakarta. Bukan tanpa sebab, belakangan, masyarakat mulai menyadari penyampaian orasi dan kritik di depan Gedung Parlemen takkan bisa terdengar sampai ke dalam. 

Salah satu warga yang mengulas hal tersebut di media sosialnya adalah Reno Suwono, lulusan arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah menghitung dengan rumus intensitas suara, orasi-orasi yang kita teriakkan nyatanya hanya terdengar setipis hembusan angin ke dalam Gedung DPR.  

“Sekeras-kerasnya massa demo pakai sound bagus, kedengarannya dari Gedung DPR hanya seperti suara AC (air conditioner) ini,” tulis Reno. 

Saya pun menghubungi Reno untuk ngobrol lebih lanjut perihal perhitungan ini. Ia menyebutkan tiga alasan mengapa Gedung DPR enggak cocok jadi tempat kerja para wakil rakyat.  

Baca juga: Rehat Adalah Perlawanan: Bertahan di Tengah ‘Political Burnout’ 

Tidak Dirancang Sebagai Gedung Wakil Rakyat Sejak Awal 

    Reno bilang, sejak awal Gedung DPR RI memang tidak dirancang untuk jadi gedung wakil rakyat. Dalam pembangunannya, Gedung DPR RI yang sekarang, awalnya akan dijadikan gedung sekretariat Conference of the Emerging Forces (CONEFO), alias Perserikatan Bangsa-bangsa bentukan Soekarno dengan spirit meredam neokolonialisme dan neoimperialisme. 

    Bonnie Triyana, Anggota Komisi X DPR RI, kepada Parlementaria.com, juga menjelaskan hal serupa. “Awalnya Kompleks MPR/DPR/DPD RI ditujukan sebagai sekretariat CONEFO. Presiden Soekarno kemudian memilih sebagian kawasan Senayan yang luasnya mencapai 80 hektar sebagai tempat sekretariat CONEFO,” ungkapnya pada (24/7) lalu. 

    Reno menjelaskan bentuk bangunan DPR yang sekarang memang dibangun sebagai ajang pamer Presiden Soekarno kepada dunia. Presiden pertama ini ingin memperlihatkan pada jagat global, Indonesia juga punya kemampuan yang mumpuni dalam dunia arsitektur.  

    “Secara histori memang semangatnya untuk menunjukkan Indonesia ini punya arsitektur juga loh. Makanya yang ditunjukkan dari bangunan ini ya kemegahannya. Pada saat itu memang tercapai tujuannya. Banyak diliput media luar gitu,” jelas Reno.  

    Pada akhirnya tujuan awal soal kemegahan dan keindahan inilah yang menyebabkan Gedung DPR tidak mampu menciptakan koneksi antara anggota dewan dengan masyarakat. Secara arsitektur Reno menyebut visibilitas gedung DPR memang tidak memenuhi kebutuhan masyarakat secara langsung.  

    “Pada dasarnya dalam arsitektur kita bisa merancang bangunan untuk saling mengkoneksikan orang banyak. Ini hal besar yang harus dilihat, atau biasa disebut visibilitas. Apakah arsitektur (DPR) itu desainnya itu bisa meningkatkan visibilitas antar sesama? Kalau yang seperti sekarang kayaknya tidak,” tambah Reno.  

    Baca juga: Kita Adalah Affan: Potret Buram Kekerasan Negara dan Ekonomi yang Menjerat 

    Terlalu Jauh dari Sumber Suara Masyarakat 

      Masih berkaitan dengan desain bangunan, secara audial, Gedung DPR juga tidak dikondisikan untuk dekat dengan rakyat. Reno bilang hal ini dapat terjadi lantaran ada jarak kurang lebih 450 meter dari pintu gerbang ke gedung utama DPR. 

      Ia pun coba menghitung jarak ini dengan potensi orasi terdengar ke dalam gedung parlemen. Setelah diukur dengan rumus intensitas suara, nyaring orasi nyatanya hanya menyentuh kekuatan suara sebesar 100 desibel. Sementara itu, butuh 168 desibel, atau setara 640 juta orang berteriak bersama-sama agar sebuah suara terdengar di dalam gedung.  

      “168 dB itu setara dengan suara roket ketika didengarkan dari dekat atau suara 640 juta orang berteriak secara bersama-sama. Sedangkan suara sound (cukup keras) yang dipakai untuk orasi demo sekitar 100 dB saja yang mana ketika didengarkan di gedung DPR hanya akan seperti suara latar AC atau percakapan pelan sekali dari jauh,” jelasnya.  

      Baca juga: Pernyataan Anggota DPR yang Bikin Publik Geleng Kepala 

      Aksesibilitas yang Minim 

        Salah satu alasan Gedung DPR dinilai kurang cocok sebagai tempat wakil rakyat adalah aksesibilitasnya yang terbatas. Reno menyebut, sampai sekarang masyarakat mungkin masih bingung lewat mana bisa masuk ke gedung megah itu. 

        Selain jalur masuk yang sulit, penjagaan ketat—mulai dari kehadiran aparat hingga gerbang tinggi—menjadi indikator aksesibilitas yang minim. Reno menekankan, hal ini membuat Gedung DPR jauh dari fungsinya sebagai tempat kerja wakil rakyat yang seharusnya dekat dengan publik. 

        Meski begitu, masih ada potensi untuk membuat gedung ini lebih ramah bagi masyarakat. Menurut Reno, arsitektur gedung seharusnya tidak hanya fokus pada estetika, tapi juga fungsionalitas ruang. 

        “Bisa kok dielaborasi meskipun dengan bangunan yang sekarang. Misal, pagar batasnya diperkecil, ruang hijau dibuka, dan sebagainya,” kata Reno. 

        Beberapa negara sudah memberi contoh gedung parlemen yang terbuka bagi publik, seperti Gedung Storting di Norwegia. Gedung ini tidak memiliki pagar tinggi, letaknya dekat istana kerajaan, dan masyarakat dipersilakan menghadiri sidang parlemen—menjadi contoh ideal gedung perwakilan yang ramah untuk rakyat. 

        About Author

        Syifa Maulida

        Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).