Penjajahan Israel terhadap Palestina makin ramai disuarakan di berbagai saluran. Di media sosial, jutaan orang menyaksikan kekerasan yang telah menewaskan ribuan orang sejak 7 Oktober 2023.
Masyarakat beralih ke media sosial untuk mempelajari sejarah dan politik wilayah tersebut. Semakin banyak pula yang menggunakannya untuk belajar tentang Islam setelah menyaksikan penderitaan warga Palestina di Gaza. Ini memunculkan gerakan eksplorasi agama.
Secara khusus, TikTok mengalami peningkatan posting, live streaming, dan diskusi tentang Alquran, dengan banyak yang menyebut keimanan Islam warga Gaza menginspirasi mereka.
Analisis TikTok menunjukkan tanda pagar (tagar) #Islam dengan cepat mendapatkan popularitas sejak awal Oktober 2023. Pada saat itu, video yang menggunakan tagar #Islam telah ditonton lebih dari 35 miliar kali secara global, satu miliar kali ditonton di Amerika Serikat (AS), dan 360 juta kali di Kanada. Mayoritas penontonnya berusia 18-24 tahun.
Baca juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis
TikTok Menantang Narasi
Pada November 2023, saya berbicara dengan enam pengguna TikTok Amerika Utara yang mengikuti gerakan online dengan mengunggah konten tentang perjalanan iman mereka. Mereka berbagi wawasan tentang apa yang telah mereka pelajari, reaksi dari audiens, dan pemikiran mereka mengenai krisis di Gaza.
“Kamu melihat para perempuan berlarian keluar dari reruntuhan bangunan sambil menggendong anak mereka yang tak bernyawa, dan hal pertama yang mereka lakukan adalah bersyukur kepada Allah,” kata TikToker Hunter Graves (@graves.hunter) saat aku ngobrol dengannya. Graves adalah mahasiswa senior berusia 21 tahun di Nashville, AS.
Dalam dua bulan terakhir, ia mengunggah beberapa video yang membahas tentang Islam. Dalam satu video, dia memamerkan buku yang dia beli. Dalam video lainnya, dia dengan ringan merenung tentang agama dan bahwa dia “berpikiran rendah hati tentang menjadi seorang Muslim.”
Satu video saat dia mengungkapkan kegembiraannya dengan mengucap Alhamdullilah ditonton hampir dua juta kali.
Pada 27 Oktober 2023, Graves mengunggah video saat dirinya mengucap kalimat syahadat—pernyataan keimanan yang membuat seseorang menjadi Muslim—di masjid dan secara resmi “kembali ke Islam”. Istilah ini digunakan oleh beberapa orang yang masuk Islam.
“Dengan iman, penderitaan memiliki makna,” ujarnya.
Muhammad Kolila, imam di Pusat Islam Pusat Kota Denver, AS, mengatakan orang-orang menggunakan media sosial untuk menyebarkan pengetahuan, menantang bias, dan mengekspresikan solidaritas.
“Kamu dapat melakukan banyak hal melalui media sosial,” katanya, seraya menambahkan bahwa beberapa pihak menghubungkan perjuangan warga Palestina dengan perjuangan masyarakat pribumi di Amerika Utara dan apartheid di Afrika Selatan.
Banyak pengguna TikTok yang mengatakan, gerakan tersebut telah merombak keyakinan negatif tentang Islam yang mereka yakini sejak kecil.
Apa yang terjadi di dunia maya sangat kontras dengan sentimen anti-Muslim yang berkembang di Barat sejak awal abad ke-21. Komite Hak Asasi Manusia Senat Kanada baru-baru ini merilis laporan yang menguraikan frekuensi dan bahaya diskriminasi, kekerasan, dan kebencian online terhadap Muslim Kanada.
Madison (@6toedcats), pemuda berusia 24 tahun dari Tampa, Florida, AS, mengunggah video berlinang air mata pada pertengahan Oktober 2023. Ia mencari perempuan Muslim setempat untuk mendukung perjalanannya menjadi seorang Muslim. Dia sebelumnya telah meneliti Islam secara online, tapi mengatakan Palestina adalah faktor penentunya.
“Hal itu terlintas di kepala saya–saya menganggap diri saya sebagai Muslim, tapi mengapa saya belum menjadi seorang Muslim?” ungkapnya dalam sebuah wawancara.
Charlie Bowling (@gingerbeard.prog), yang menganggap dirinya agnostik, mengunggah video mendengarkan dan membaca Alquran.
“Saya melihat keimanan orang Palestina yang membuat mereka begitu ikhlas dan kuat,” katanya pada saya, “saat saya mulai membaca Alquran, saya ingin mendokumentasikan perjalanan saya.”
Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel
Sejarah Terulang Kembali
Setelah serangan 11/9, fenomena serupa yaitu orang-orang yang mendalami Islam juga terjadi, khususnya di kalangan perempuan. Minat saat ini juga mencerminkan hal tersebut, tapi terjadi melalui media sosial dan di hadapan khalayak yang lebih luas.
Camela Widad (@camelawidad) mulai belajar tentang Islam pada bulan-bulan sebelum 11/9 dan secara resmi berpindah agama pada tahun 2003.
“Kami mulai melihat orang-orang bertanya ‘Benarkah? Apakah ini benar-benar agama yang mendukung terorisme?’ Dan saat itulah saya mendapatkan momentum,” katanya. Di matanya, akses terhadap media sosial saat ini telah memanusiakan umat Islam.
Islam telah membuat individu di Gaza tetap teguh dalam menghadapi kesulitan, sekaligus menarik khalayak di media sosial. Agama menghibur individu dengan memberikan jawaban atas pertanyaan eksistensial tentang kehidupan, kematian, dan penderitaan. Alquran mendorong adanya hubungan antara pelajaran dari kisah-kisahnya dan masa kini, sehingga berkontribusi pada nilai-nilainya di masa-masa sulit.
Lonjakan konten online juga menginspirasi beberapa orang untuk mengeksplorasi kembali keyakinan mereka. Fatima Abdi (@bbyfatz), seorang fashion influencer dengan lebih dari 83 ribu pengikut, menjauhi Islam saat remaja, tapi mulai menemukan perjalanannya kembali. Melihat video orang lain menginspirasinya untuk bertindak sesuai keyakinannya–dia mulai membagikan sebagian keyakinannya dan perjalanan fesyennya yang sederhana kepada pengikutnya.
Cornell Jones (@ciouscorn) masuk Islam tiga tahun lalu. Ketika saya berbicara dengannya pada November 2023, dia mengatakan krisis yang terjadi di Gaza saat ini terasa seperti hilangnya kemanusiaan, tapi TikTok telah mengizinkannya untuk “memberi ruang untuk beriman kepada Allah.” Jones mengatakan dia menerima banyak pesan yang menanyakan pengalamannya masuk Islam.
Baca juga: Peran Penting Perempuan dalam Penyelesaian Konflik dan Terorisme
Dampak Lain Media Sosial
Meskipun media sosial bisa menjadi hal yang hebat, Kolila memperingatkan agar kita tidak terburu-buru atau membandingkan perjalanan seseorang dengan perjalanan online orang lain.
“Berjalanlah berdasarkan keyakinan, bukan masyarakat,” katanya. Mencari sumber yang memiliki reputasi baik adalah kuncinya. “Hanya karena kami punya platform, bukan berarti kami punya otoritas,” kata Jones.
Abdi dan Graves menambahkan, bersikap terbuka tentang iman secara online dapat memantik pengawasan yang ketat.
Bagaimana pun, hubungan antara Muslim dan non-Muslim di TikTok telah menciptakan ruang yang jarang bagi berkembangnya empati. Pada intinya, gerakan ini memungkinkan orang untuk bersatu, belajar dan melupakan. Di masa yang penuh dengan ketidakmanusiawian dan kesedihan kolektif, melakukan hal ini mungkin bisa membantu kita mengatasinya.
Nahid Widaatalla, Dalla Lana Fellow in Journalism and Health Impact, University of Toronto.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh Karina Tungari