Tips Cegah Kekerasan Verbal di Ruang Digital
Kekerasan verbal daring biasanya berlindung di balik akun anonim. Bagaimana cara mengatasinya?
Di era digital yang serba terhubung ini, kekerasan verbal online menjadi ancaman yang semakin meresahkan. Laporan WHO mengungkapkan bahwa satu dari enam anak menjadi korban perundungan siber pada tahun 2024.
Survei UNICEF tahun 2019 di 30 negara menunjukkan sepertiga remaja pernah mengalami pelecehan di dunia maya. Bahkan, satu dari sepuluh remaja terlibat konflik fisik akibat perundungan online.
Parahnya, fenomena ini tidak terbatas pada kelompok usia tertentu. Dari anak-anak hingga orang dewasa, bahkan di lingkungan profesional, kekerasan verbal online bisa saja terjadi. Sebab, kekerasan verbal online dapat dilakukan secara anonim, terus menerus, dan menyebar, sehingga membutuhkan solusi multidimensi.
Baca Juga: SDG Talks: Korban KBGO Lakukan Sensor, Batasi Aktualisasi Diri
Di Bawah Lindungan Anonimitas
Kekerasan verbal online hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari perundungan digital, pelecehan seksual online, hingga ujaran kebencian di media sosial.
Anonimitas menjadi salah satu faktor kunci yang mendorong tindakan ini. Dengan bersembunyi di balik layar, pelaku merasa lebih berani dan tidak terbebani konsekuensi langsung dari ucapannya.
Ini menciptakan ilusi kekebalan yang mendorong perilaku agresif. Ini juga yang menyebabkan ekosistem game online dan media sosial sangat rentan dengan perundungan digital.
Selain itu, efek ‘disinhibisi’ online—kurangnya empati akibat tidak bertatap muka langsung— juga berperan besar.
Anonimitas dan efek ‘disinhibisi’ online memicu lebih banyak trolling. Trolling adalah perilaku online yang sengaja memprovokasi atau menghina orang lain untuk memicu reaksi emosional.
Trolling bisa menjadi hiburan gelap bagi sebagian orang. Mereka menikmati melihat orang lain menderita dan mendapatkan reaksi emosional dari korban.
Trolling biasanya dianggap salah karena bisa menyakiti orang lain. Namun, trolling juga bisa diterima, misalnya, saat mengungkap kemunafikan, menantang kemarahan yang tidak berdasar, atau mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Trolling seperti ini dilakukan untuk menunjukkan kelemahan atau cacat dalam logika atau moralitas di balik perilaku atau pandangan seseorang atau kelompok, bukan menyerang pribadi.
Mengapa Kekerasan Verbal Cepat Viral
Berbagai faktor di atas diperburuk oleh algoritme, yang membuat konten dengan reaksi emosional kuat, seperti trolling, mudah dibagikan dan dikomentari. Akibatnya, dampak dan jangkauan konten-konten semacam ini semakin luas.
Algoritme juga bahkan menciptakan ruang gema. Dalam proses ini, ruang gema terbentuk ketika pengguna hanya melihat informasi yang memperkuat keyakinan mereka sendiri, mengisolasi pandangan yang berbeda, dan memperburuk polarisasi serta sikap ekstrem di dunia maya.
Kompleksitas masalah ini semakin bertambah dengan adanya fenomena “mob mentality” di dunia maya, yaitu serangan verbal yang dilakukan secara massal dan terorganisir, sehingga menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa bagi korban.
Contohnya, kematian penyanyi dan artis Korea Selatan akibat depresi berat karena perundungan digital. Di Indonesia, seorang selebgram melakukan kekerasan verbal di ruang digital terhadap murid SMK dan memviralkan videonya di Tiktok. Ini menyebabkan korban kehilangan kepercayaan diri dan terpengaruh secara psikologis.
Bahaya Kekerasan Verbal
Menganggap seseorang harus “kuat mental” di dunia maya adalah pandangan yang keliru dan berbahaya. Meski tak meninggalkan bekas fisik, kekerasan verbal online memiliki dampak yang tak kalah serius dengan kekerasan fisik. Bahkan, dalam beberapa aspek, dampaknya bisa lebih parah dan bertahan lebih lama.
Kekerasan verbal online bisa terjadi selama 24/7, menembus batas ruang dan waktu. Korban bisa mendapat serangan kapan saja, bahkan di tempat yang seharusnya aman seperti rumah. Ini menciptakan perasaan terancam yang konstan, memicu stres kronis yang berdampak pada kesehatan fisik dan mental.
Dari segi kesehatan mental, korban kekerasan verbal online berisiko mengalami depresi, kecemasan, dan dalam kasus ekstrem, keinginan bunuh diri. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mengalami perundungan digital memiliki risiko tiga kali lebih tinggi untuk mencoba bunuh diri dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya.
Secara kognitif, paparan terus-menerus terhadap kekerasan verbal online dapat memengaruhi cara korban memandang diri sendiri dan dunia sekitarnya. Ini bisa mengakibatkan penurunan kepercayaan diri, isolasi sosial, dan kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan.
Kekerasan verbal online juga bisa berdampak pada kesehatan fisik. Stres kronis yang dialami korban dapat memicu berbagai masalah kesehatan seperti gangguan tidur, sakit kepala, dan bahkan melemahnya sistem kekebalan tubuh.
Lebih jauh, dampak kekerasan verbal online bisa meluas ke aspek profesional dan akademik. Korban mungkin mengalami penurunan produktivitas, kesulitan berkonsentrasi, atau bahkan memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan atau sekolah untuk menghindari pelaku perundungan.
Baca Juga: Bersama Lawan KBGO: Meta sampai AMSI tentang Penanganan Kekerasan Seksual di Ruang Virtual
Solusi dari Banyak Sisi
Mengatasi kekerasan verbal online membutuhkan pendekatan multidimensi yang melibatkan berbagai pihak, dari individu hingga pembuat kebijakan.
Di tingkat individu, edukasi tentang etika berinternet dan kesadaran akan dampak kata-kata kita di dunia maya sangat penting. Sekolah dan tempat kerja perlu menerapkan program literasi digital yang tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tapi juga aspek etika dan empati dalam berkomunikasi online, misalnya dengan memanfaatkan game edukasi.
Penyedia platform digital juga memiliki peran krusial. Mereka perlu mengembangkan dan menerapkan kebijakan moderasi konten yang lebih ketat. Mereka juga sepatutnya menyediakan alat pelaporan yang mudah diakses dan efektif bagi pengguna yang mengalami kekerasan verbal.
Dari sisi hukum, Indonesia memang sudah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tapi implementasinya masih lemah, terutama dalam kasus kekerasan verbal online. Definisi kekerasan verbal online yang kurang jelas membuat perundungan digital diasosiasikan dengan delik pencemaran nama baik. Selain itu, proses pelaporan yang rumit sering membuat korban enggan mencari bantuan hukum.
Ini menunjukkan a Indonesia membutuhkan revisi UU yang lebih spesifik mengenai kekerasan verbal online serta pelatihan bagi aparat penegak hukum tentang penanganan kasus-kasus ini.
Indonesia bisa belajar dari regulasi Basic Online Safety Expectations (BOSE) Australia, yang menetapkan standar keamanan bagi platform digital, termasuk mekanisme pelaporan yang jelas, transparansi, dan perlindungan khusus untuk anak-anak.
Pendekatan ini dapat melengkapi UU ITE melalui program literasi digital, dan mewajibkan platform untuk mengembangkan kebijakan moderasi konten yang lebih ketat. Penegak hukum perlu dilatih khusus, dan dukungan untuk korban harus ditingkatkan. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip BOSE seperti proaktif, transparan, dan berbasis risiko, Indonesia bisa menciptakan ekosistem digital yang lebih aman.
Untuk pemulihan korban, akses terhadap layanan konseling dan dukungan psikologis harus dipermudah. Pembentukan support group bagi korban kekerasan verbal online juga bisa menjadi langkah positif, memberikan ruang aman bagi korban untuk berbagi pengalaman dan strategi coping—cara atau taktik menghadapi situasi yang membuat stres atau tertekan.
Terakhir, perlu ada gerakan sosial yang lebih luas untuk mengubah norma di dunia maya sehingga tercipta budaya internet yang lebih positif dan empatik.
Kunci keberhasilan terletak pada pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, platform digital, dan masyarakat. Dengan pendekatan seperti ini, kita bisa menciptakan ruang digital yang lebih aman dan sehat bagi semua penggunanya.
Arif Perdana, Associate Professor in Digital Strategy and Data Science, Monash University.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.