‘Greenwashing’ Kim Kardashian: Saat Fakta Tak Sehijau Kata-kata
Merek SKIMS Kim Kardashian melakukan ‘greenwashing’, dengan menggunakan krisis iklim sebagai strategi pemasaran. Sebagai konsumen, kita perlu kritis dengan empat tips ini.
Awal November lalu, SKIMS—merek pakaian dan shapewear yang didirikan Kim Kardashian, serta Jens dan Emma Grede—menuai kritik netizen. Ini bermula saat SKIMS mengiklankan produk terbarunya, ultimate nipple bra, lewat video di Instagram. Bra tersebut menghadirkan inovasi berupa puting susu palsu, seperti pernah populer pada 1970-an.
Dalam iklannya, Kardashian menyinggung krisis iklim sebagai strategi pemasaran. Ia mengatakan, sepanas apa pun suhu Bumi, pengguna ultimate nipple bra akan tetap terlihat “dingin”—di sini Kardashian merujuk pada puting susu yang ereksi. Tak seperti gunung es yang menghilang akibat mencair, puting susu akan tetap tampak.
Di samping itu, lewat situsnya SKIMS menyatakan perusahaannya beretika dan berkomitmen untuk mendukung keberlanjutan. Mereka mengklaim bekerja sama dengan vendor dan pemasok yang juga memegang nilai akuntabilitas, keberlanjutan, serta transparansi. Kemudian para pekerjanya mendapatkan upah layak, dan kondisi kerja yang sehat.
Sementara di kolom frequently ask questions, SKIMS menyebutkan telah menghapus semua bahan plastik dan yang tak dapat didaur ulang dari kemasannya. Kemudian diganti dengan kotak kertas daur ulang dan tas ramah lingkungan, yang dapat dijadikan kompos.
Baca Juga: Potensi ‘Sustainable Fashion’ di Indonesia
Meski demikian, Good On You—platform yang memberikan peringkat keberlanjutan produk fesyen berdasarkan dampak lingkungan, kondisi ketenagakerjaan, dan kesejahteraan hewan—menilai SKIMS enggak cukup transparan, sehingga memberikan rating paling rendah. Padahal, transparansi dibutuhkan agar konsumen dapat memvalidasi klaim keberlanjutan serta meningkatkan kepercayaan terhadap brand. Setidaknya mencakup bagaimana produk dibuat dan bahan yang digunakan.
Kenyataannya, SKIMS masih menggunakan kemasan berbahan plastik, yang ironisnya disertakan klaim bertuliskan “I AM NOT PLASTIC”. Tulisan itu dapat dilihat pada kemasan SKIMS, yang menyertakan simbol daur ulang bernomor empat, yakni bahan terbuat dari plastik LDPE (low-density polyethylene). Artinya, klaim “I AM NOT PLASTIC” menyesatkan.
Lebih dari urusan produksi, kurangnya transparansi mencakup detail atau bukti dari pernyataan kelayakan upah, yang SKIMS berikan untuk para pekerja. Melansir Vanity Fair, pada 2021 tujuh mantan staf Kardashian menudingnya menahan gaji, menolak membayar lembur, dan tidak memberikan istirahat makan. Hal ini kemudian mengkhawatirkan kondisi pekerja SKIMS.
Berkaca dari realitas tersebut, SKIMS tak hanya menunjukkan kurangnya komitmen mereka sebagai brand terhadap beretika dan keberlanjutan, melainkan juga melakukan greenwashing.
Kalau kamu belum familier, greenwashing adalah strategi pemasaran yang dimanfaatkan brand, dengan menyebut produknya ramah lingkungan, biodegradable, dan mendukung keberlanjutan. Namun, perusahaan hanya melakukannya untuk menarik calon konsumen, tanpa benar-benar menjalankan.
Akibatnya, greenwashing merugikan publik, konsumen, serta investor yang memiliki perhatian untuk menciptakan keberlanjutan. Seperti mengambil pilihan yang ternyata berdampak buruk pada lingkungan, dan merusak kepercayaan mereka terhadap brand. Selain itu juga mempersulit orang-orang untuk mendukung, dan mengenali bisnis yang serius berkomitmen terhadap keberlanjutan.
Sebenarnya, SKIMS menyumbangkan 10 persen keuntungan dari penjualan ultimate nipple bra ke 1% for The Planet, sebuah organisasi lingkungan. Sayangnya, mendonasikan uang belum cukup berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan iklim. Lagi pula, pembuatan pakaian baru seperti SKIMS enggak mendukung keberlanjutan—yang pada tahun pertamanya disebutkan Vogue Business berhasil menjual lebih dari tiga juta produk. Bahkan, diperkirakan menghasilkan US$750 juta tahun ini, atau sekitar Rp11 triliun.
Enggak hanya dari angka penjualan yang kontradiktif dengan konsep keberlanjutan, produk SKIMS menggunakan virgin polyester—termasuk jenis plastik dan enggak biodegradable. Yang mana membutuhkan setidaknya 342 juta barel minyak setiap tahun untuk produksi.
Sebagai co-founder, Kardashian pun masih menyumbang emisi karbon dari jet pribadi. Berdasarkan laporan dari Yard Digital, emisi karbon itu sebanyak 4.268,5 ton dari 57 penerbangan, yang mana 609,8 kali lebih banyak dari emisi rata-rata orang dalam setahun.
Dengan besarnya target pemasaran, sebenarnya SKIMS dapat berkontribusi dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Misalnya memanfaatkan tekstil daur ulang untuk membatasi penggunaan air dan limbah tekstil dalam produksi. Kemudian menentukan tujuan keberlanjutan yang nyata dan terukur, serta memastikan para pekerja mendapatkan upah layak dan kondisi kerja yang aman.
Selain SKIMS, terdapat sejumlah brand lain yang mengeklaim keberlanjutan dan kekhawatirannya terhadap krisis iklim. Pertanyaannya, bagaimana cara membedakan brand yang berkomitmen untuk sustainable, denganyang greenwashing?
Baca Juga: Mobil Listrik di Jakarta: Solusi Polusi yang Bias Kota
1. Perhatikan Transparansi Merek
Transparansi merupakan hal esensial ketika sebuah brand mengeklaim sustainability dalam visi misi dan produknya. Ini menjadi salah satu bentuk pertanggungjawaban pada konsumen, dengan menunjukkan proses produksi, orang-orang yang terlibat di baliknya, bahan produksi, serta dampaknya pada lingkungan.
Apabila perusahaan menyembunyikan atau enggak memberikan penjelasan dari klaim bernuansa “sustainable”, mereka justru menunjukkan enggak punya dampak positif pada lingkungan, dan melakukan praktik greenwashing.
Salah satunya Sukin, perusahaan skincare asal Australia. Lewat situsnya, Sukin menjelaskan nilai-nilai keberlanjutan yang diusung dan diterapkan dalam produknya. Seperti bahan-bahan natural yang dimanfaatkan dan apa saja yang tidak digunakan, botolnya dapat didaur ulang, dan berupaya menyeimbangkan emisi karbon untuk menetralkan jejak lingkungan serta hasilnya. Kemudian, Sukin termasuk brand yang tidak melakukan uji coba pada hewan, dan diakui oleh program Leaping Bunny—organisasi yang berupaya menghentikan eksperimen terhadap hewan.
2. Cari Merek Bersertifikasi “B Corporation”
Sertifikasi “B Corporation” mengindikasikan perusahaan yang memenuhi tanggung jawab sosial dan lingkungan. Mereka memenuhi lima kategori utama: Pekerja, lingkungan, komunitas, pelanggan, dan tata kelola.
Mengutip Kompas, perusahaan yang memiliki sertifikasi tersebut punya kinerja lebih baik lantaran reputasi terjaga, operasional tidak terganggu, dan membuka peluang lebih besar untuk ekspansi. Di samping itu, kesejahteraan dan keberlangsungan perusahaan akan terjamin, karena berkontribusi memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Sejauh ini, terdapat sejumlah brand di Indonesia yang bersertifikasi “B Corporation”, seperti Danone, Percolate Galactic, SukkhaCitta, dan Gree Energy.
3. Cek Latar Belakang dan Kepemilikan Perusahaan
Mengetahui pemilik utama suatu perusahaan menjadi hal penting untuk melihat dampak lingkungan, dari sebuah brand. Sebab, sering kali perusahaan besar dengan dampak lingkungan yang tinggi, membeli brand kecil. Tujuannya adalah menargetkan pelanggan yang sadar terhadap isu lingkungan sebagai pasarnya, karena mereka enggan membeli produk dari perusahaan besar.
Kalau pun brand enggak membeli perusahaan kecil dan mengusung sustainability, kamu bisa mengecek perilaku dan gaya hidup pemiliknya. Seperti SKIMS milik Kim Kardashian, contohnya. Atau Elon Musk sebagai CEO Tesla Motors—yang menciptakan mobil dengan energi terbarukan, tetapi masih menggunakan jet pribadi. Dengan kata lain, gaya hidup pemilik perusahaan belum sejalan dengan sustainability model yang ditawarkan melalui produk.
Baca Juga: ‘Sampah Plastik Bisa Didaur Ulang’ Ternyata Cuma Mitos?
4. Kenali Istilah yang Berkaitan dengan Greenwashing
Sejumlah brand yang melakukan praktik greenwashing, umumnya menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan etika dan keberlanjutan demi menarik konsumen. Berikut beberapa di antaranya:
- Sustainable
Penggunaan kata ini sering dikaitkan dengan pembicaraan seputar konservasi lingkungan. Tulisan “sustainable” yang tertera dalam suatu produk seolah mengesankan, produk tersebut tidak berdampak buruk bagi lingkungan.
- Ramah lingkungan
Istilah “ramah lingkungan” sering kali digunakan brand, untuk memberikan citra bahwa produknya berkontribusi pada green living.
- Organik
Produk yang berlabelkan “organik” belum tentu sesuai dengan klaimnya. Kamu perlu mengecek, apakah produk itu “bersertifikasi” organik. Seperti H&M yang mengeklaim “conscious choice” di sejumlah produk.
H&M merujuk pada pakaian, yang diproduksi dengan lebih mempertimbangkan dampaknya pada lingkungan. Setiap produk “conscious choice” mengandung 50 persen katun organik atau poliester yang didaur ulang. Namun, mereka tetaplah bagian dari industri fast fashion yang memproduksi pakaian dengan masif, dan tidak menerapkan kondisi kerja yang sehat bagi para buruh.
- Biodegradable
Sejumlah produk menunjukkan besaran persentase produk mereka dapat terurai. Namun, dalam penguraian bahan, hanya ada dua kemungkinan: terurai sepenuhnya dan tidak.
Karena itu, klaim seperti “x persen biodegradable” berarti akan tetap meninggalkan dampak pada lingkungan akibat tidak terurai. Yakni dengan merusak tanah, atau menambah unsur hara. Sedangkan produk berbahan biodegradable seharusnya terurai dalam satu generasi, dan tidak meninggalkan sisa—kecuali karbon dioksida, air, biomassa, dan mineral.
- Green
Green products didesain untuk mengurangi dampak pada lingkungan. Pada pakaian, misalnya, biasanya menggunakan bambu atau katun organik. Namun, kamu perlu skeptis dengan klaim ini karena tak dimungkiri jika produk berlabelkan “green” hanya mengikuti hype tanpa ada substansi.