Titik Hamzah: Menjadi Musisi, Ibu, dan Perempuan
Titik Hamzah, bersama band perempuan Dara Puspita, adalah bagian sejarah musik Indonesia yang belum tergantikan.
Bagi generasi muda zaman sekarang, nama band perempuan legendaris Dara Puspita tidak akrab di telinga. Namun, ketika mendengar lantunan lagu “Surabaja”, mungkin akan terpikir “Kok, seperti pernah dengar, ya?”
Surabaya, Surabaya, oh Surabaya
Kota kenangan, kota kenangan
Takkan terlupa
Berirama linso dan sebelumnya saya pikir adalah lagu rakyat, lagu itu yang melejitkan nama Dara Puspita pada ketenaran di tahun 1960an dan sering diputar sampai saat ini. Namun ternyata para anggota band perempuan pertama di Indonesia ini tidak sreg dengan lagu itu.
“Kami enggak suka,” ujar Titik Hamzah, pemain bass/gitar dan vokalis Dara Puspita, dalam wawancara dengan Magdalene baru-baru ini.
“Coba kalau kamu dengar rekamannya, itu kami mainnya ogah-ogahan banget,” tambah musisi berusia 70 tahun itu sambil membuang abu yang menempel di rokok.
Titik dan teman-teman tidak menyukai lagu tersebut karena itu “lagu titipan” untuk menyenangkan Presiden Soekarno, yang sangat sebal dengan musik “Barat” kesukaan anak-anak muda yang si Bung sebut musik ngak-ngik-ngok. Salah satu produser Dara Puspita pun membujuk para musisi perempuan itu agar mau merekamnya demi memudahkan perjalanan karier mereka.
Setelah menyajikan lagu tersebut di album Jang Pertama (1966), band itu ternyata masih dijegal kanan-kiri saat manggung dan mereka kerap tampil di bawah tekanan. Suatu kali di Solo, mereka pernah membawakan lagu “Soekarno Jaya” di bawah ancaman bayonet.
Baca juga: Indonesia Pernah Punya Band-band Perempuan Cadas
Zaman itu memang berbeda. Lagu-lagu The Beatles dicap terlarang. Kelompok Koes Bersaudara bahkan pernah dipenjara karena memainkan lagu band asal Liverpool itu di sebuah pesta. Di acara yang sama, Dara Puspita turut digelandang ke Kejaksaan dan kemudian diwajibkan melapor setiap hari selama sebulan. Titik mengaku bingung harus melaporkan apa setiap hari. Yang pasti mereka diinterogasi dengan pertanyaan yang mengada-ada dan mereka jawab seadanya, seperti:
“Kalian nyanyi lagu The Beatles, ya?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Enak.”
Sejak saat itu, mereka harus selalu dikawal oleh Kejaksaan ketika tampil di mana pun. Namun bukan Dara Puspita namanya kalau manut dengan peraturan dan sistem begitu saja, terutama Titik.
Saat diundang Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Polda Metro Jaya), Titik melihat penonton antusias saat mereka memainkan “I Can’t Get No (Satisfaction)” dari The Rolling Stones (yang tidak dilarang polisi). Namun hadirin tidak bereaksi saat mereka menampilkan lagu keroncong “Bandung Selatan”.
Para perempuan itu pun nekat memainkan “Mr. Moonlight” dari The Beatles. Seusai dimainkan, polisi mendekat dan bertanya:
“Itu tadi lagu The Beatles?”
“Bukan, (band) Liverpool, Pak.”
Situasi pun aman. Titik serta kawan-kawan kemudian sadar bahwa tidak ada standar pasti tentang lagu yang dilarang atau tidak, jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk mematuhinya.
Loncat, tidak hanya jalan
Titik sudah sangat mencintai dunia musik sejak usia enam tahun. Lahir di Bukittinggi dan besar di Surabaya, ia pernah meminta pada ibunya untuk disekolahkan di Akademi Musik Yogyakarta. Saat itu ia masih di bangku sekolah dasar, jadi sang ibu mengatakan, nanti jika sudah SMA.
Titik muda tidak bisa menerima hal itu. “Kita kan enggak cuma jalan, boleh loncat juga,” ujarnya. Ia kemudian mempelajari musik dari buku-buku SMA dan orang dewasa.
Ia sempat bergabung dengan band bocah bernama Xaverius bersama musisi Jopie Item, sebelum bergabung dengan Dara Puspita pada 1965, ketika ia masih berusia 16 tahun. Saat itu ia diminta menggantikan Lies A.R. sebagai pemain bass selama sebulan, karena Lies harus menyelesaikan sekolahnya. Kecocokan dengan Lies, Susy Nander (drum) dan Titiek A.R. (gitar), akhirnya membawa Titik terus bermusik bersama Dara Puspita. Ia meloncat ke dalam industri musik tanpa sekolah.
Keberanian Dara Puspita membawa mereka ke karier internasional padahal mereka masih sangat belia. Pada 1968, grup musik ini menandatangani kontrak dengan sebuah label musik dari Jerman dan tur di Eropa dengan nama Flower Girls. Mulai dari menghadapi culture shock sampai menggunakan jalur-jalur tidak resmi untuk menyeberangi negara-negara Eropa, semua dihadapi bersama.
Tanpa rasa takut, mereka juga melepaskan diri dari kontrak tersebut dengan meninggalkan semua alat musik dan membawa uang seadanya ketika sebuah label musik dari London menawarkan kontrak untuk mereka.
Titik kemudian mundur dari Dara Puspita setelah konser di Jakarta pada 1972 karena merasa jenuh dan tidak nyaman sebab Dara Puspita hanya menyanyikan lagu orang lain tanpa menciptakan lagu sendiri.
Ia terus berkarier sebagai pemusik dan pencipta lagu setelah itu. Beberapa di antaranya memenangkan berbagai penghargaan, seperti lagu “Siksa” yang dinyanyikan Euis Darliah dan “Sayang” yang dinyanyikan oleh Hetty Koes Endang. Sempat menghasilkan sebuah album, Tragedi (1982), Titik juga masih memiliki visi untuk meregenerasi Dara Puspita dan masih giat bermusik.
Ikhlas dan semangat
Titik mengatakan bahwa empat tahun berkarier di Eropa dengan Dara Puspita memberinya semua nilai-nilai yang masih dipegangnya dalam bermusik hingga kini, yaitu disiplin dan keikhlasan dalam memberi.
Seorang muslim, ia mengatakan mengagumi Yesus Kristus yang membagikan roti dan ikan kepada banyak orang dan membuat mereka kenyang. Titik mengatakan sering memikirkan bagaimana hal sesederhana itu bisa memuaskan banyak orang.
“Setelah Tante bisa berpikir lebih dewasa, (ternyata) itu adalah keikhlasan,” ujarnya.
Baca juga: 6 Band Perempuan Indonesia Milenial yang Wajib Masuk Playlist
Keikhlasan dalam menghibur penggemar dan disiplin tinggi yang meningkatkan profesionalitas sebagai musisi adalah kewajiban baginya. Hal-hal ini masih dia pegang dan bahkan wariskan kepada musisi-musisi muda yang beliau mentori.
Tidak hanya dalam bermusik, Titik juga adalah pribadi yang passionate dalam berumah tangga.
“I’m a mother. I’m a woman,” tegas ibu empat anak ini.
Menurutnya, ibu mengemban tugas yang tidak main-main: menjaga rumah agar tetap hidup adalah salah satunya. Pekerjaan domestik seperti memasak, mengasuh, hingga merawat tempat tinggal kerap hanya dipandang sebelah mata. Bebannya tidak kasat mata hanya karena sudah ada perempuan yang mengembannya.
Pandangan yang demikian pula-lah yang membulatkan niatnya hengkang dari Dara Puspita karena ia tidak mau fokusnya terpecah.
Dalam waktu dekat, Tragedi tidak lagi akan menjadi album solo satu-satunya dari Titik Hamzah. Ia sempat membagi dengar beberapa lagu yang tengah digarap, dan musiknya terdengar kontemporer, dengan tarikan suaranya yang masih kuat dan serak seksi.
Walau mengaku kecewa dengan industri musik yang kerap mengebiri hak-hak musisi, hal tersebut tidak tampak mengurangi kecintaan Titik kepada dunia musik. Semangat dan perjuangan beliau bermusik seakan tidak kunjung padam sejak dahulu hingga kini. Sesuatu yang ia sebut “the spirit of Dara Puspita.”
Dengan tatapan mata yang teduh dan suara seraknya yang melembut, Titik berkata, “Saya tidak akan pernah menjadi Titik Hamzah yang composer yang menang di festival, kalau saya nggak lewatin Dara Puspita.”
Hak cipta foto: Dyah Paramita Saraswati