Dari ‘Anker’ Cikarang Saya Belajar, Rumah Bukan Tempat Pulang tapi Alasan Bertahan
Senin malam, pukul sebelas kurang, ada orderan masuk dari kawasan industri Jababeka, tujuan Stasiun Cikarang. Penumpang hening sepanjang jalan. Saya membatin, untuk apa repot-repot ke stasiun jika kereta terakhir sudah lama meninggalkan peron?
Awalnya saya kira penumpang tersebut salah pesan atau tak teliti membaca jadwal kereta listrik harian. Namun dugaan saya keliru. Penumpang saya, pemuda dengan seragam kerja berkata, “Saya mau menunggu kereta pertama, Pak.”
Saya kaget. Lebih terkaget-kaget lagi begitu tiba di stasiun. Nyatanya puluhan orang sudah mengambil posisi rebah di lantai, tangga, kursi, dan setiap permukaan datar lainnya. Mereka bukan gelandangan, tapi pekerja shift malam dari ribuan pabrik di Bekasi–Cikarang—kawasan yang menyerap sekitar 1,6 juta angkatan kerja, mayoritas di sektor industri. Lelah mereka nyata, tapi tak tampak di laporan perusahaan.
Beberapa duduk menatap ponsel, memberi kabar singkat pada keluarga bahwa “shift sudah selesai” sebelum menyerah pada kantuk.
Baca juga: Konten ‘Jakarta Keras’: Potret Wajah Kota yang Tak Setara
Rumah Sebagai Alasan Bertahan
Fenomena ini membuka realitas yang jarang terlihat. Bagi sebagian orang, rumah hanyalah tempat untuk tidur atau menjauh sejenak dari dunia luar. Namun buat mereka, rumah telah berubah makna, bukan lagi tujuan, tapi alasan untuk tetap bertahan.
Habis lembur hingga pukul 23.00 WIB, kereta terakhir Commuter Line dari Cikarang sudah berangkat pukul 22.20, sementara kereta pertama baru tiba pukul 04.12 pagi. Celah tujuh jam itu membuat tidur para “pejuang” ini relatif penuh siksaan. Udara dingin, tanpa kasur, dan suara yang berisik.
Sebenarnya mereka bisa saja mengambil alternatif lain, seperti naik ojek online ke Karawang atau kontrakan. Masalahnya ongkos ojek tak murah, minimal Rp50.000 sekali jalan; pulang-pergi bisa Rp100.000. Jumlah itu lebih dari separuh gaji harian rata-rata Rp213.000, jika dihitung dari upah mininum Bekasi 2025 sebesar Rp5.558.515 dibagi 26 hari kerja.
Bagi pekerja shift malam, stasiun bukan sekadar tempat menunggu. Tubuh menempel di lantai dingin, sementara pikiran menyusun strategi untuk esok hari. Mereka pun bukan penumpang biasa: Sedia bertahan menginap di dalam Stasiun Cikarang demi memastikan kebutuhan keluarga terpenuhi. Saya membandingkan dengan kehidupan saya yang bisa tidur nyaman di atas kasur sepulang dari mengantar penumpang. Tiba-tiba saya merasa kecil di hadapan ketangguhan mereka.
Baca juga: Ternyata Rindu Memang Berat, Kisahku Belasan Tahun Tak Mudik Lebaran
Kalkulasi Hidup dan Perjuangan Ekonomi
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Kawasan industri Bekasi–Cikarang menyerap jutaan pekerja dengan jam kerja panjang dan transportasi publik yang terbatas. Mereka menghadapi dilema: Pulang ke rumah dengan biaya mahal atau bertahan di stasiun menunggu kereta pertama. Setiap malam yang dihabiskan di lantai dingin adalah bentuk disiplin batin.
Bagi sebagian pekerja, menahan kantuk dan dingin adalah strategi ekonomi. Mengeluarkan Rp100.000 untuk ojek pulang-pergi setara separuh gaji harian, uang yang seharusnya bisa untuk makan malam keluarga atau kebutuhan esok hari. Fenomena ini membuka pertanyaan: Apakah sistem industri cukup memperhatikan hak pekerja di luar jam kerja? Apakah transportasi publik dan akses rumah tinggal memadai bagi mereka yang menanggung beban fisik dan mental ekstra?
Malam itu, saya meninggalkan stasiun dengan rasa campur aduk. Namun sekali lagi, saya tahu satu hal: Rumah bukan lagi sekadar tempat pulang tapi alasan untuk bertahan hidup.
Akhmad Yunus Vixroni pernah belajar psikologi. Kini berprofesi sebagai driver online di wilayah Bekasi.
















