Tragedi Kanjuruhan: Catatan Penting tentang Manajemen Keselamatan Kerja
Pakar menyebut pentingnya membenahi manajemen keselamatan kerja dan mengenal karakter penggemar sepak bola, belajar dari tragedi di Kanjuruhan.
Sudah hampir seminggu berlalu sejak Indonesia menyaksikan tragedi pilu dalam sejarah sepak bola.
Setidaknya 131 orang meninggal dunia dan lebih dari 370 lainnya luka-luka akibat kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pascapertandingan antara Arema FC vs Persebaya Surabaya. Pertandingan itu membawa Arema kalah 2-3 di kandang sendiri.
Penggemar yang tidak terima kekalahan tersebut masuk ke area lapangan dan membuat aparat keamanan mencoba mengendalikan situasi dengan menembakkan gas air mata, prosedur yang sebenarnya sudah dilarang oleh FIFA. Akibatnya, hampir seluruh penonton panik dan tergesa-gesa keluar stadion untuk menghindari gas air mata.
Sayang, pintu keluar stadion yang ternyata masih tertutup membuat penonton berdesak-desakan, sehingga mereka terinjak-injak dan terhimpit hingga sulit bernapas. Penyebab korban meninggal bukanlah kerusuhan ataupun kericuhannya, namun karena sesak napas serta luka parah seperti patah tulang karena terinjak-injak ketika mencoba keluar stadion.
Kepolisian telah menetapkan enam tersangka atas tragedi Kanjuruhan. Mereka adalah Komandan Kompi Brimob Polda Jatim, AKP Hasdarman, yang memerintahkan anak buahnya menembakan gas air mata, Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, Petugas Keamanan Suko Sutrisno, Kepala Bagiam Ops Polres Malang Wahyu SS, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Achmadi.
Kesalahan para tersangka dititikberatkan pada penggunaan gas air mata dan kelalaian dalam menjamin keamanan fasilitas stadion.
Dari kronologis tersebut, pakar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) serta pakar pendidikan kesehatan menekankan urgensi pembenahan oleh pemerintah terkait manajemen keamanan kerumunan (crowd safety management) dan pentingnya mengenal dan memahami karakter penggemar sepak bola tanah air.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan, Kenapa Polisi Bertindak Represif?
Pembenahan Sistem dan Prosedur Keselamatan
Menurut Prof. Fatma Lestari, ahli keselamatan kerja Departemen K3 dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) – yang juga Kepala Disaster Risk Reduction Center (DRRC) UI – tragedi Kanjuruhan harus diinvestigasi secara mendalam dari sisi K3, kedaruratan pengendalian massa, dan perancangan stadion itu sendiri.
Ini karena salah satu titik berat penyebab kematian korban dalam tragedi tersebut adalah masih lemahnya sistem dan prosedur keselamatan dalam memitigasi maupun mengelola potensi konflik yang terjadi.
Definisi K3 sendiri adalah serangkaian sistem dan prosedur yang dilakukan guna memastikan kelancaran dari suatu kegiatan dalam kondisi yang aman, sehat, dan selamat.
Secara fisik bangunan, menurut Fatma, sebuah stadion olahraga seharusnya wajib dilengkapi sistem, prosedur, sarana dan prasarana keselamatan, serta induksi keselamatan. Ini karena stadion merupakan fasilitas yang umumnya menampung ribuan bahkan ratusan ribu orang.
Hal yang perlu diperhatikan terkait struktur bangunan adalah apakah stadion cukup kokoh untuk menampung banyak orang serta bagaimana akses yang disediakan jika ada potensi terjadi kebakaran, gempa bumi dan banjir.
Berdasarkan hasil investigasi sementara, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menemukan fakta bahwa beberapa pintu keluar Stadion Kanjuruhan terkunci saat tragedi kelam itu terjadi.
Baca juga: Kekerasan Polisi: Slogan Melindungi, Mengayomi, Melayani Cuma di Atas Kertas?
Saat itu, polisi tidak hanya menembakkan gas air mata ke lapangan, tapi juga ke tribun penonton yang posisinya dekat dengan gate 13, 12 dan 11.
Sayangnya, ketika penonton panik ingin keluar stadion, gate 13 masih tertutup, sementara gate 12 dan 11 hanya terbuka sedikit. Bisa dibayangkan kengerian yang terjadi di pintu-pintu ini.
Fatma mengatakan seharusnya hal ini bisa dihindari dari awal. Panitia dan petugas stadion seharusnya sudah menyusun manajemen risiko agar kecelakaan terhindari, atau terminimalisasi, termasuk tindakan apa yang harus dilakukan saat terjadi keadaan darurat.
“Tanpa identifikasi risiko, manajemen risiko dan prosedur keadaan darurat, maka bisa terjadi kesalahan dalam penanggulangan keadaan darurat, bahkan menyebabkan kematian massal, seperti yang terjadi di Kanjuruhan,” ungkap Fatma.
Di samping itu, kejadian ini juga baiknya menjadi pelajaran bagi publik penggemar sepak bola. Para penonton di stadion harus memahami dan mematuhi prosedur keselamatan, termasuk menghindari berbagai tindakan berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain dan mengetahui rute evakuasi stadion.
Pembenahan dalam Penanggulangan Vandalisme
Yustinus Sukarmin, Dosen Ilmu Keolahragaan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), menjelaskan bahwa memang karakter pencinta bola di Indonesia lekat dengan citra vandalisme dan kekerasan. Dalam istilah psikologi, vandalisme ini dikenal sebagai agresi.
Agresi yang dilakukan oleh pendukung sepak bola umumnya mengarah ke agresi permusuhan. Tindakan yang kerap dilakukan biasanya melempari wasit, pemain lawan, atau pendukung tim lain dengan benda berbahaya.
Seringkali, meski pun tim kesayangannya menang, mereka tetap melakukan tindakan agresif terhadap siapa saja dan apa saja yang dijumpainya di jalan ketika pulang setelah pertandingan usai. Agresi ini dapat memberikan kepuasan tersendiri karena mereka dapat meluapkan emosi.
Untuk dapat menanggulangi tindakan vandalisme ini, terlebih dahulu kita perlu mengetahui penyebab timbulnya tindakan tersebut.
Baca juga: Tingkah Laku Polri-TNI: Dari Flexing sampai Narsistik
Penyebab terjadinya tindakan vandalisme di antaranya adalah beratnya tekanan hidup yang dirasakan oleh para pendukung sepak bola yang mayoritas berasal dari masyarakat kelas menengah ke bawah, tipisnya ikatan emosional antara penggemar dan klub sepak bola yang didukungnya, tersumbatnya saluran bagi penggemar untuk melampiaskan ketegangan emosi secara positif dan dapat diterima oleh masyarakat, keteladanan dari para pemimpin yang kurang baik, serta terusiknya rasa keadilan masyarakat karena tidak adilnya penegakan hukum.
Secara teknis di lapangan, untuk mencegah terjadinya kerusuhan yang ditimbulkan oleh penggemar, perlu disiapkan aparat keamanan dalam jumlah yang proporsional. Namun, aparat keamanan diharapkan benar-benar profesional dalam menjalankan tugas dan tidak bertindak berlebihan karena ini justru akan memancing penonton untuk membalas dengan tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum.
Jika hal ini sampai terjadi, aparat keamanan tidak boleh mencari pembenaran untuk melakukan kekerasan secara fisik kepada suporter. Polisi sebaiknya melakukan tindakan persuasif sehingga suasana di lapangan tetap semarak namun aman dan terkendali.
Kekeliruan pemerintah dalam merespons dan mengatasi masalah yang krusial ini sangat riskan karena justru dapat menimbulkan kemarahan publik. Dikhawatirkan, masyarakat akan semakin bertindak dengan caranya sendiri karena sudah tidak percaya lagi pada aparat penegak hukum dan para pemimpin mereka.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.