December 6, 2025
Issues Opini Politics & Society Technology

Bisakah Kita Mendesain Ulang Trotoar dengan Perspektif Perempuan?

Ada yang tidak baik-baik saja dari trotoar kita. Dan ia harus lebih sering dibicarakan.

  • September 15, 2025
  • 4 min read
  • 4184 Views
Bisakah Kita Mendesain Ulang Trotoar dengan Perspektif Perempuan?

Suatu malam, pulang dari kampus, saya berjalan menyusuri trotoar sempit yang gelap di Kota Bandung. Saya berjalan pelan sambil menjaga napas setelah melewati hari yang panjang, ketika kaki saya akhirnya tersandung pinggiran trotoar yang rusak. Saya terjerembab ke dalam got terbuka yang tak terlihat karena tidak ada lampu jalan. Lutut saya berdarah, tas saya basah.

Beberapa kali suara motor melintas terdengar, suara yang hanya menambah marah dan malu buat saya. Tapi yang paling menyakitkan bukan luka di kaki, melainkan kenyataan bahwa pengalaman semacam ini dianggap biasa. Seolah menjadi risiko wajar karena saya memilih berjalan kaki. 

Sungguh, trotoar memang tak mengenal luka, dan tubuh kota terlalu biasa melihat pejalan kaki yang celaka.

Baca juga: Dari 1998 ke 2025: Warga Keturunan Tionghoa di Antara Harapan dan Trauma Kolektif

Perempuan Jadi Lebih Rentan

Sebagai perempuan, berjalan kaki di banyak kota Indonesia bukan perkara sederhana. Siang hari pun kerap tak aman, apalagi malam. Lampu jalan mati, jalan berlubang, kendaraan motor naik ke trotoar tanpa rasa bersalah. Tak jarang perempuan harus menahan napas ketika ada laki-laki asing yang mendekat, menyiapkan diri kalau-kalau dilecehkan secara verbal atau bahkan fisik. 

Banyak perempuan yang pada akhirnya memilih memutar jauh, menunggu teman, atau bahkan membatalkan aktivitas hanya karena tidak yakin trotoar yang akan dilalui cukup aman. Ini bukan paranoid, ini kenyataan harian yang dialami banyak perempuan dari berbagai usia.

Saya menulis tulisan ini dengan niat bukan untuk mengeluh. Saya menulis sebagai sosiolog yang menyadari bahwa pengalaman pribadi perempuan di ruang kota kerap kali tak dianggap penting dalam perencanaan tata ruang

Sebagaimana ditulis Leslie Kern dalam Feminist City (2020), kota kerap dibangun dari kacamata maskulin: cepat, efisien, dan kendaraan-sentris. Padahal, kota yang adil bukan hanya kota yang lancar untuk mobil, tetapi juga aman untuk kaki-kaki melangkah pelan. Terutama kaki perempuan, yang setiap harinya menanggung beban pengawasan, kecemasan, dan ancaman yang tak selalu terlihat di permukaan. 

Anak-anak dan lansia pun tak luput dari risiko yang sama. Trotoar kerap diserobot pedagang, parkir liar, hingga pemilik toko, tanpa ada penegakan aturan yang tegas. Lemahnya pengawasan dan perawatan rutin menjadikan trotoar rawan celaka. Pemerintah harus bertindak preventif dan publik perlu sadar bahwa ruang bersama harus dirawat bersama.

Baca juga: Terobos Kerumunan Massa Aksi, Kendaraan Taktis Brimob Lindas Ojol

Jika Trotoar Punya Nurani

Coba bayangkan, kalau trotoar punya hati nurani, ia pasti akan menolak ditunggangi motor, menjerit saat melihat perempuan dilecehkan, dan menangis ketika stroller bayi, kursi roda lansia, atau alat bantu disabilitas terpaksa turun ke jalan raya karena trotoar penuh lubang dan tak layak dilalui. Tapi trotoar kita tak bicara. Ia diam, seperti kebanyakan dari kami yang terbiasa mengalah dengan berjalan sambil tetap waspada, menggenggam tas erat-erat, dan mata menunduk agar tak memancing gangguan. 

Pada khazanah sosiologi kota, Henri Lefebvre pernah menyuarakan bahwa kota adalah ruang sosial yang sering diperebutkan. Siapa yang punya kuasa atas ruang, dia pula yang menentukan siapa yang dapat merasa aman, dan siapa yang dikorbankan. 

Maka tak heran jika banyak perempuan mengaku enggan jalan sendirian malam-malam. Bukan karena malam itu menakutkan bagi kami, tapi karena kota ini belum dirancang untuk rasa aman yang setara. Dalam struktur sosial kota, perempuan tak hanya dianggap menjadi pengguna pasif ruang publik, tapi juga menjadi sarana dari kontrol sosial yang melekat dalam setiap sudut trotoar yang gelap, rusak, catcalling yang tak kunjung reda, dan juga diperebutkan kendaraan bermotor.

Saya berandai-andai: di berbagai wajah kota di Indonesia, trotoar bisa dibalut dengan rasa aman bagi perempuan yang menggunakannya. Dirancang dengan prinsip keadilan gender, sebagaimana yang didengungkan para feminis urban: terang benderang di malam hari, bebas dari gangguan kendaraan, cukup lebar untuk stroller dan kursi roda, ada tempat duduk yang dapat dimanfaatkan untuk beristirahat sejenak, dan memiliki titik-titik aman seperti pos pemantau, CCTV aktif, dan ruang aduan cepat.

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: Berjalan Kaki dengan ‘Happy’, Kemewahan Terakhir Kelas Pekerja 

Ruang publik yang aman memperluas mobilitas sosial perempuan, membebaskan mereka bekerja, belajar, dan bersosialisasi tanpa rasa takut. Kota semestinya adil memberi ruang aman bagi siapa pun untuk melangkah, berlari, bahkan sekadar berdiri dan menikmati udara malam.

Sudah saatnya kita bertanya: untuk siapa kota ini dibangun? Jika trotoar bisa bicara, ia pasti akan memihak mereka yang paling sering disingkirkan, yakni mereka yang tak punya pilihan selain berjalan kaki setiap hari, dan tubuhnya dianggap “gangguan” hanya karena eksistensinya di ruang publik.

Dengan demikian, di tengah gegap gempitanya revitalisasi kota dan pembaruan wajah trotoar, bisakah kita mendesainnya dengan perspektif perempuan, dan bahkan mereka yang paling rentan, sebagai titik tolak keadilan yang nyata?

About Author

Elsa Lutmilarita Amanatin