17 Tahun Aksi Kamisan: 4 Catatan Penting yang Harus Kamu Tahu
Dari isi tuntutan Aksi Kamisan hingga tudingan bahwa ini jadi alat menjatuhkan politisi tertentu di Pilpres 2024.
Istana Negara “menghitam”, Kamis (18/1) kemarin. Ratusan orang dari penyintas dan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), aktivis, hingga mahasiswa berkumpul di depannya. Mereka mengenakan baju hitam-hitam, kain penutup mata dan payung dengan kelir serupa. Barisan massa di depan memegang papan bertuliskan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, yakni Tragedi Tanjung Priok (1989), Tragedi Mei (1998), dan penghilangan orang secara paksa (1997-1998).
Gerimis turun sejak jam 3 sore, tapi massa tak beranjak dari tempatnya. Mereka bergantian bernyanyi dan berorasi di depan tenda yang didirikan di depan Istana Negara, simbol pusat kekuasaan. Di antara yang hadir ada penggagas Aksi Kamisan, Maria Katarina Sumarsih, ibunda Bernardus Realino Norma alias Wawan, korban tragedi Semanggi 1; dan Suciwati, istri mendiang pejuang HAM Munir Said Thalib. Ada juga ekonom Faisal Basri, serta aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
Hari itu tepat 17 tahun sejak Aksi Kamisan pertama digelar pada 18 Januari 2007. Aksi ini sendiri selalu dilakukan dengan cara yang sama: Massa diam mematung di depan Istana Negara, mengenakan busana dan payung serba hitam. Tujuannya untuk menagih janji negara menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu. Lambat laun gerakan yang semula bernama Aksi Diam ini berubah jadi wadah protes warga yang haknya dicerabut paksa: Petani, nelayan, atau buruh yang ruang hidupnya dirampas korporasi dan negara.
Ada beberapa catatan penting yang redaksi Magdalene kumpulkan tentang Aksi Kamisan ke-17 tahun, dilansir dari berbagai sumber:
Baca juga: 3 Pelajaran dari Aksi Kamisan dalam Membangun Gerakan Sosial
1. Sejarah Kamisan dan Payung Hitam
Aksi Kamisan adalah ide dari Suciwati, Sumarsih, dan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK)—yang kala itu bertindak sebagai presidium, Bedjo Untung. Terinspirasi dari gerakan senada di Argentina, ibu-ibu dari Asociacion Madres de Plaza de Mayo berdiri di depan Plaza de Mayo dengan kerudung putih khasnya. Mereka menuntut pertanggungjawaban atas anak-anaknya yang dibunuh paksa junta militer Argentina saat itu.
Aksi Kamisan sendiri mulai diadakan sejak Kamis di tanggal 18 Januari 2007. Sampai kemarin 18 Januari 2024, berarti sudah 17 tahun Aksi Kamisan dan terhitung 802 kali aksi ini berlangsung. Aksi ini selalu diadakan di depan Istana Negara.
Warna hitam dipilih sebagai simbol keteguhan dalam mencintai manusia. Sumarsih mencintai anak kesayangannya yang didor aparat saat sedang menolong temannya yang juga ditembak di parkiran Universitas Atmajaya, Jakarta. Suciwati mencintai suaminya yang dibunuh di dalam pesawat dengan racun arsenik, saat menuju ke kampus tempatnya melanjutkan pendidikan di Belanda.
Keteguhan mencintai ini pula yang bikin mereka tetap konsisten mendorong pemerintah menepati janjinya. Meski Aksi Kamisan sudah memasuki usia 17 tahun, tapi tak satu pun pelanggaran HAM masa lalu dituntaskan. Dalam sejarahnya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjadi satu-satunya yang bertemu dengan peserta Aksi Kamisan pada Kamis, 31 Mei 2018. Sayangnya, pertemuan itu tidak membawa hasil yang signifikan. Dilansir KBR, Jokowi berdalih akan mempelajari dulu berkas yang diserahkan Sumarsih dkk.
Baca juga: Kamis ke-500: Menuntut Keadilan yang Masih Sebatas Janji
2. Dari Jakarta Menyebar ke Berbagai Kota
Siapa sangka, Aksi Kamisan telah menginspirasi berbagai aksi serupa di kota-kota lainnya. Dari Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Yogyakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah. The Conversation menulis, menurut data yang dihimpun oleh aktivis Aksi Kamisan, sejak November 2019 hingga Juli 2020, Aksi Kamisan di Jakarta sudah menginspirasi 39 titik di 23 provinsi dan satu negara bagian di Australia.
Mereka menuntut penyelesaian pelanggaran HAM di depan simbol-simbol kekuasaan di daerahnya masing-masing. Aksi Kamisan di depan Gedung Sate di Bandung; di depan Monumen Tugu di Yogyakarta; di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur di Samarinda; dan titik-titik aksi lainnya. Ada dua keunikan Aksi Kamisan di kota-kota tersebut. Pertama, itu diinisiasi oleh aktivis mahasiswa yang tergabung dalam gerakan atau pers mahasiswa. Kedua, aksi ini menular dan diikuti oleh elemen masyarakat sipil yang lebih beragam, dari pegiat perpustakaan, orang dengan disabilitas, tukang cukur rambut, hingga musisi.
Aksi Kamisan juga menggugah para Gen Z untuk terlibat. BBC Indonesia melaporkan, lewat roadshow yang mulai rutin digelar ke berbagai kampus di Jabodetabek tahun ini, kesadaran Gen Z yang notabene lahir pasca-1998 ini terbentuk lapis demi lapis. Bedjo Untung dalam wawancaranya dengan media itu bilang, para mahasiswa akan berupaya memasifkan lagi diskusi menolak lupa pelanggaran HAM masa lalu.
Baca juga: 18 Tahun Mencari Keadilan
3. Tiga Tuntutan di Peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan
Sejak Aksi Kamisan 17 tahun yang lalu, Kompas.id mengabarkan para korban dan keluarga korban hanya ingin berkumpul dengan satu maksud. Mereka mempertanyakan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu yang enggak kunjung rampung. Anak, anggota keluarga, dan kerabat mereka hilang atau meninggal tanpa ada pertanggungjawaban sama sekali.
Dilansir dari akun Instagram resmi Aksi Kamisan (akun Aksi Kamisan di X hilang jelang refleksi 17 tahun), untuk memperingati 17 tahun Aksi Kamisan, JSKK menuntut beberapa hal. Pertama, menuntut Presiden Jokowi membuktikan komitmen dengan melakukan melakukan langkah nyata dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara adil.
Kedua, agar Jokowi bisa memerintahkan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM dan membentuk tim penyidik ad hoc. Sebab, sesuai mandat yang ada di Pasal 21 Ayat 3 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Ketiga, memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat secara menyeluruh.
4. Kritik Soal Pemilu
Aksi Kamisan sudah melewati empat masa kepemimpinan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Namun masih saja banyak pihak yang merasa aksi tersebut hanya isu lima tahunan alias barang dagangan yang sengaja dimunculkan setiap musim Pemilu digelar. Ini terbukti dari sentimen yang muncul di berbagai akun media massa saat peserta Aksi Kamisan menyampaikan pendapatnya.
Sejumlah orang menuding, ini cara pembenci Prabowo Subianto untuk menggagalkan dia di Pemilu 2024. Sebagian menstempel kritik Sumarsih dan Suciwati sebagai berita palsu. Sebagian lagi membela Prabowo dan menyebutnya sebagai korban yang selalu disalahkan, padahal ia cuma menjalankan perintah atasan.
Perlu diketahui, Prabowo adalah salah satu pejabat yang dikritik karena dugaan keterlibatannya pada penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998. Masih ada sederet nama lain yang disebut-sebut mendapatkan impunitas meski tersangkut pelanggaran HAM berat masa lalu. Mulai dari Wiranto hingga Untung Budiharto, eks Tim Mawar–pelaku penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998.
Menurut Suciwati dalam orasinya yang dikutip dari akun Instagram @AksiKamisan, “Bagaimana HAM mau diinjak-injak karena hari ini kita bisa melihat, penjahatnya maju menjadi calon presiden (Prabowo Subianto). Apakah itu lima tahunan, iya kalau yang muncul orangnya itu-itu saja. Kalau yang lain kita ngomong lagi yang lain, bukan tentang kasus penculikannya kemudian tapi kejahatan apa yang dia bawa. Jadi jangan memutarbalikkan fakta bahwa kita memunculkan ini lima tahun sekali. Setiap Kamis kita berdiri di sini, kita ngomong kasus penculikan, tapi di sana budek. Saya harus bicara apa pada anak saya ketika penjahatnya maju sebagai capres. Ini hal memalukan karena ini menormalisasi kejahatan,” ujarnya emosional.
“Setiap ganti presiden selalu dijanjikan soal penegakan HAM, soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Tapi nyatanya kami masih saja selalu dikhianati. Siapa pun capresnya, yang kemudian jadi presiden, mengkhianati janji-janji mereka sendiri,” imbuhnya.
Senada, Sumarsih dalam wawancaranya yang tayang di Youtube menjelaskan, setelah Presiden Jokowi mengakui ada kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, mestinya status Prabowo sudah bukan terduga pelaku tapi penjahat kemanusiaan. “Dia adalah dalang kejahatan kemanusiaan, buktinya video pemecatan Prabowo dari kesatuan Kopassus,” ungkapnya.
Saat artikel ini ditulis, elektabilitas Prabowo menurut sejumlah lembaga survei masih mengungguli kandidat lainnya.