Issues Politics & Society

Tujuh Isu Krusial yang Membayangi Kemenangan Prabowo-Gibran

Prabowo-Gibran diprediksi menang lewat perhitungan cepat. Ini tujuh catatan isu penting yang diduga akan lemah selama kepemimpinan mereka.

Avatar
  • February 19, 2024
  • 11 min read
  • 1555 Views
Tujuh Isu Krusial yang Membayangi Kemenangan Prabowo-Gibran

Setelah empat kali mengikuti perhelatan pemilihan umum (pemilu) dan tiga kali maju sebagai calon presiden (capres), mantan jenderal Prabowo Subianto yang kini masih menjabat Menteri Pertahanan di kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo akhirnya hampir berhasil mendapatkan kursi kekuasaan tertinggi negara, setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei, capres Prabowo dan calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka meraih suara tertinggi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Dari 90 persen suara nasional yang sudah masuk hitungan, Prabowo-Gibran meraih lebih dari 58 persen suara. Lawannya, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, tertinggal cukup jauh, masing-masing sekitar 25 persen dan 16 persen.

 

 

Hasil hitung cepat juga menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran menang di 36 dari total 38 provinsi di Indonesia. Mayoritas lembaga survei sudah mendeklarasikan bahwa Prabowo menang satu putaran.

Kami merangkum pandangan sembilan akademisi terkait tujuh isu krusial yang menjadi perbincangan di publik—beberapa di antaranya menjadi bahasan dalam debat capres dan cawapres beberapa waktu yang lalu. Para akademisi menganggap gagasan serta program kerja Prabowo-Gibran dibayangi sejumlah kelemahan dan memiliki risiko besar bagi kelangsungan Indonesia ke depan.

1. Penegakan HAM Tinggal Harapan

Eka Nugraha Putra, Research Fellow dari National University of Singapore, yang sekaligus dosen ilmu hukum dari University Merdeka Malang, Jawa Timur, menegaskan bahwa Prabowo, sebagai sosok yang kental dengan catatan buruk pelanggaran HAM, adalah capres dengan prospek paling meresahkan.

Prabowo pernah mengakui melakukan penculikan aktivis, namun sudah mengembalikannya. Pernyataan ini menjadi bentuk pengakuan atas peran dirinya dalam tragedi yang terjadi tahun 1997-1998 silam. Pengakuannya tersebut seharusnya ditindaklanjuti dengan proses investigasi dan peradilan untuk mengungkap kasusnya. Mengembalikan aktivis yang ia culik tidak berarti proses hukumnya terhapuskan begitu saja.

Namun, Prabowo seakan kebal hukum, bahkan sampai bisa memenangkan Pilpres 2024 ini.

Ironisnya lagi, lanjut Eka, komitmen penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu bahkan tidak ada dalam visi misi dan program Prabowo-Gibran. Eka juga menyebut fakta lainnya, yakni ketika Human Rights Watch, salah satu organisasi HAM internasional, mengirimkan kuesioner untuk mencari kejelasan terkait posisi para kandidat terkait isu-isu HAM, hanya kubu Prabowo yang tidak merespons kuesioner tersebut.

“Berharap pada Prabowo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu tampaknya fana. Sulit berharap Prabowo bisa melakukan perlindungan HAM secara utuh pada hak-hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan sosial budaya segenap masyarakat,” kata Eka.

Selain soal hak hidup dan rasa aman, kebebasan sipil bisa dinilai dari kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Terkait kedua hal ini Prabowo juga lagi-lagi tidak punya catatan yang baik.

Pada 2018, Eka menyebutkan, Prabowo pernah menyatakan bahwa para jurnalis adalah antek penghancur negara karena minimnya pemberitaan dirinya datang ke demo Reuni 212.

Dengan kemenangan satu putaran Prabowo, rakyat Indonesia kini menghadapi risiko terancamnya kebebasan dan keterbukaan terhadap dialog serta kritik atas hukum dan kebijakan.

“Ini seolah ‘meneruskan’ sikap Jokowi yang kerap tidak mendengarkan kritik dan kajian ilmiah dari akademisi dan masyarakat sipil, sehingga melahirkan produk hukum tanpa kajian mendalam dan keterbukaan proses,” pungkas Eka.

2. Nasib IKN: Waspada Anggaran

Terpilihnya Prabowo-Gibran berarti proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) akan terus berlanjut sesuai rencana.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, berargumen akan sulit untuk bisa menjalankan ambisi ini dari sisi pembiayaan, paling tidak di tahun pertama pemerintahan.

Dengan banyaknya program-program kampanye Prabowo-Gibran yang membutuhkan pendanaan besar–termasuk program makan siang dan internet gratis yang kerap jadi bahan diskusi–ruang gerak fiskal mereka akan sangat terbatas.

“Masih ada beban dari utang yang diwariskan oleh pemerintahan Jokowi dan bunga utangnya juga sangat besar, itu membuat ruang fiskal semakin sempit,” terang Bhima.

Baca juga: 7 Fakta Penting Film ‘Dirty Vote’ yang Bikin Pemainnya Dipolisikan

Menurutnya, Prabowo harus bisa melakukan prioritas kebijakan di tengah janji-janji ambisiusnya. Apalagi, proyek IKN diperkirakan akan menelan investasi sebesar Rp466 triliun, dengan pembiayaan dari APBN sekitar 19 persen dari total kebutuhan dana. Akan sulit mengandalkan pembiayaan utang di tengah kondisi global seperti sekarang, yang membuat tren pembelian surat utang pemerintah terganggu dan investor di negara-negara maju berhati-hati untuk berinvestasi.

“Sementara kalau menggeser dari anggaran-anggaran bantuan sosial dan pendidikan, khawatir malah mengganggu kinerja dari output lainnya yang sebenarnya sama-sama penting,” tambahnya.

Sementara itu, kandidat doktor dari Global Development Institute University of Manchester di Inggris, Sandy Nofyanza, mengatakan proyek IKN akan berdampak pada kelangsungan hutan konservasi di Taman Hutan Raya Bukit Suharto, Hutan Lindung Sungai Wain, dan hutan tanaman industri di wilayah timur Kalimantan. Akibatnya, tutupan hutan akan berkurang dan emisi karbon akan bertambah. Ini belum dihitung dengan risiko kehilangan keanekaragaman hayati karena pengurangan tutupan tersebut.

“Kalau deforestasi di (hutan tanaman) sama pemerintah mungkin tidak dihitung. Namun, kalau data-data global jika angka tutupan hutan berkurang pasti akan terhitung,” kata dia.

3. Food Estate Dibayangi Kegagalan

Kemenangan Prabowo juga turut menaikkan peluang berlanjutnya proyek food estate ala Jokowi yang menuai polemik.

Pakar sosiologi pertanian Institut Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat, Angga Dwiartama, mengatakan proyek pertanian massal yang marak sejak era Revolusi Hijau pada 1950-an ini memang menjanjikan produktivitas pangan yang menggiurkan. Namun, di tengah iklim yang berubah dan risiko cuaca ekstrem seperti saat ini, proyek food estate tersebut berisiko tinggi mengalami kegagalan.

Angga mewanti-wanti, siapapun presiden yang terpilih nantinya harus menimbang dua-tiga kali untuk melanjutkan proyek food estate. Indonesia, kata dia, sudah dua kali buntung akibat memaksakan diri menggenjot pertanian massal: proyek cetak sawah sejuta hektare era Suharto di Kalimantan Tengah dan proyek lumbung pangan di Merauke pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Dengan kondisi lingkungan sekarang dan perubahan iklim jadi rentan sekali (kegagalan) di pertanian,” ujar Angga.

4. Strategi Hilirisasi Tak Memadai

Menurut Krisna Gupta, senior fellow dari Center for Indonesian Policy Studies, tampak jelas Prabowo-Gibran akan meneruskan kebijakan rezim Jokowi terutama, namun tidak terbatas pada, komoditas nikel. Kesimpulan ini diperolehnya dari dokumen visi misi, rangkaian debat pasangan calon, dan analisis rekan-rekan satu bidang.

Krisna berpendapat bahwa kita perlu melihat apakah pasangan ini benar-benar bisa menjalankan strategi tersebut. Sebab, setelah berhasil memancing investasi miliaran dolar untuk mendukung hilirisasi, industri nikel tampaknya tengah kehilangan kilaunya.

Impian Jokowi untuk menjadi sentra baterai dunia dengan memaksimalkan nikelnya kini tengah menghadapi tantangan dari pergeseran minat produsen kendaraan listrik ke baterai lithium-iron-phosphate (LFP). Tak hanya itu, larangan ekspor nikel mentah dan banjir produk nikel setengah jadi justru membuat harga nikel sempat anjlok.

Krisna menambahkan, hilirasi yang digaungkan Prabowo-Gibran tak melulu soal nikel, namun juga minyak sawit mentah (CPO), batu bara hingga hilirisasi digital. Salah satu strategi yang kerap didorong adalah untuk memaksimalkan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) demi menyerap komoditas olahan tersebut di pasar domestik.

Namun, menurut Krisna, langkah ini tak cukup.

“Karena beberapa industri ini sifatnya macam-macam dan banyak industri memerlukan skala yang luas yang mungkin tidak cukup kalau hanya mengandalkan market dalam negeri. Ini yang menjadi tantangan ke depan karena globalisasi memang sedang tidak baik-baik saja,” terangnya.

5. Kesejahteraan Guru dan Dosen: Peningkatan Gaji Saja Tidak Cukup

Hariyadi, dosen Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, Jawa Tengah, menyebutkan bahwa Prabowo-Gibran memang memasukkan poin tentang pendidikan dalam salah satu dari 17 program prioritas mereka. Pasangan ini juga menyebutkan bahwa kesejahteraan para Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk guru dan dosen, akan berdampak pada pelayanan publik yang baik.

Dengan demikian, terpilihnya mereka membuka peluang bagi peningkatan kesejahteraan guru dan dosen ASN.

Namun, Prabowo-Gibran tidak merinci sisi kesejahteraan mana yang mau mereka tingkatkan-apakah komponen tunjangan sertifikasi, gaji pokok, komponen lainnya, atau dengan menambahkan komponen baru dalam struktur upah para pendidik.

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa peningkatan kesejahteraan dapat mendorong para pendidik untuk meningkatkan mutu proses belajar mengajar. Penelitian lainnya pada tahun 2019 memperlihatkan pemenuhan kesejahteraan yang memadai bagi guru akan menambah semangat guru dalam bekerja.

Di sisi lain, penelitian dengan metode kuantitatif di Kendari, Sulawesi Tenggara, menunjukkan bahwa tunjangan sertifikasi untuk meningkatkan kesejahteraan ternyata tidak terkait langsung dengan peningkatan kinerja. Sebab, sebagian besar tunjangan ini digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga, bukan untuk peningkatan kualitas mengajar.

Sementara, penelitian yang lain menemukan perlunya melihat urgensi dari peningkatan kompetensi-kompetensi pendidik itu sendiri, seperti kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional, dan kompetensi kepemimpinan.

Hariyadi menyimpulkan bahwa meskipun perlu, peningkatan kesejahteraan bukanlah satu-satunya komponen yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, khususnya pada bidang pendidikan.

Kesejahteraan guru dan dosen sendiri tidak hanya terkait dengan gaji tapi juga wellbeing (kebahagiaan), jaminan hari tua, dan kelonggaran waktu untuk meningkatkan profesionalisme tanpa dibebani terlalu banyak administrasi.

“Peningkatan profesionalisme para pendidik, baik itu guru maupun dosen, yang juga perlu dilakukan tidak disebutkan dalam program-program kerja pasangan calon Prabowo-Gibran.”

Dalam berbagai diskusi publik, termasuk debat pasangan calon, pasangan ini tidak mengelaborasi masalah-masalah lainnya terkait kesejahteraan pendidik, seperti pengangkatan guru honorer, sertifikasi guru, serta beban administratif guru dan dosen. Program mereka juga cenderung “memihak” ke ASN, tanpa mempertimbangkan guru swasta maupun honorer.

“Kita harus menunggu sampai beberapa bulan ke depan untuk melihat apakah pasangan calon ini akan menjadikan isu-isu tersebut sebagai kebijakan mereka, atau memang menurut mereka peningkatan pendapatan adalah satu-satunya cara untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen.”

6. Kebebasan Akademik: Risiko Menguatnya Intervensi Pemerintah

Masduki, guru besar Media dan Jurnalisme dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, menyatakan terpilihnya Prabowo akan melanjutkan intervensi kebebasan akademik di institusi pendidikan tinggi yang sudah diterapkan pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun berkuasa. Otonomi pendidikan, kata dia, selama ini hanya mencakup ke sebagian urusan kelembagaan, bukan ke akademisi secara individu.

Indikasinya, menurut dia, sudah terlihat sejak debat Pilpres. Prabowo berikut dua pesaingnya tidak menjelaskan apa pemahaman mereka seputar kebebasan akademik, termasuk peta jalan yang mereka punya dan bagaimana pembacaan masalah masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak terdengar pula perbincangan seputar lingkungan politik, lingkungan otonomi akademik, dan lingkungan hukum yang menentukan kebebasan akademik.

Baca juga: Matinya Kepakaran: Ketika Guru Besar, Akademisi dan Ahli Tak lagi Didengarkan, Apa yang Bisa Dilakukan?

Masduki mengatakan, seharusnya otonomi akademik turut mencakup perencanaan topik penelitian, hingga lingkungan, dan pendanaan yang tidak dibumbui pesan politik. Akademisi juga semestinya harus bebas dari tekanan saat mengemukakan hasil penelitiannya.

“Tugas kita memastikan bagaimana agenda-agenda kebebasan akademik ini tidak mengalami reduksi. Bagaimana, misalnya, para guru besar yang sekarang mengalami perlawanan, mungkin tidak langsung dari pemerintah, tapi dari influencer, buzzer, yang khas di era Jokowi dan bisa dipastikan akan berlanjut di era Prabowo, tidak terjadi lagi,” ujar Masduki.

Pengajar ilmu hubungan internasional Universitas Bina Mandiri Gorontalo, Ayu Anastasya Rachman, menambahkan bahwa perguruan tinggi yang mengalami intervensi secara otoriter dari pemerintah sering menghadapi tantangan dalam menjaga kebebasan dan kemandirian akademik dalam riset, sumber daya, hingga kurikulum.

Tanpa kebebasan akademik, kata dia, publik akan mempertanyakan kapasitas ilmuwan dan pendidik serta kredibilitas pekerjaan mereka. Dampak lainnya, intervensi negara terhadap universitas dapat menimbulkan rasa takut dan sikap diam di kalangan dosen dan mahasiswa. “Ini menghambat daya kritis dan kreativitas di lingkungan universitas,” tulis Ayu.

7. Stunting di Depan Mata

Tahun ini prevalensi stunting ditargetkan turun ke 14 persen, tapi Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan angkanya masih 21,6 persen.

Ahli Kesehatan Masyarakat dari Universitas Airlangga, Ilham Akhsanu Ridlo, melihat bahwa di bawah pemerintahan Prabowo, masalah gizi tidak akan banyak berubah jika pendekatannya tetap top down. Jumlah stunting tidak bisa turun dengan cepat dalam satu periode pemerintahan karena ada banyak faktor yang memengaruhinya.

Karena itu, kata dia, program penurunan stunting perlu dilihat sebagai program yang berkelanjutan. “Tidak peduli siapapun presidennya. Kementerian Kesehatan punya program 1000 hari pertama kehidupan anak sejak dalam kandungan. Itu saja dijalankan, bagus itu programnya,” kata Ilham.

Baca juga: Indonesia: Ekonomi Terbesar Sekaligus Stunting Tertinggi Kedua di ASEAN, Mengapa?

Walau demikian, dia melihat presiden terpilih akan punya pengaruh di level kecepatan penanganan masalah stunting. Apakah lebih cepat, lambat atau sama saja dengan pemerintahan sebelumnya. Ilham melihat perbedaan di antara ketiga calon presiden itu terletak pada cara menurunkan angka stunting.

Prabowo-Gibran telah berjanji akan meneruskan program pemerintah sebelumnya dengan pendekatan top down. “Pendekatan ini sebenarnya sudah kuno. Aspek kolaborasinya kurang tampak,” kata Ilham.

Pasangan ini memasukkan program memperbaiki kualitas gizi, air bersih, dan sanitasi masyarakat untuk mengatasi ancaman stunting. Namun program unggulan pasangan ini adalah Gerakan EMAS (Emak-Emak dan Anak-Anak Minum Susu). Ini merupakan program makan gratis dan susu di sekolah.

“Ini sasarannya juga tidak jelas, apakah mengatasi stunting, gizi buruk atau gizi lain. Mereka menyatakan untuk stunting, tapi kalau anak sudah masuk sekolah tidak lagi masuk hitungan seribu hari pertama kehidupan,” ujar Ilham. Prabowo juga tidak menetapkan angka penurunan stunting dalam dokumen visi misi tertulisnya.

Pada akhirnya, program menurunkan stunting akan dipengaruhi juga oleh alokasi anggaran nasional dan daerah.

Penghapusan mandatory spending untuk kesehatan merupakan salah satu persoalan yang mungkin akan menghambat upaya penurunan stunting karena anggaran kesehatan didasarkan pada political will presiden dan kepala daerah yang punya beragam prioritas.The Conversation

Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The Conversation; Anggi M. Lubis, Business + Economy Editor, The Conversation; Hayu Rahmitasari, Education & Culture Editor, The Conversation; Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation, dan Robby Irfany Maqoma, Environment Editor, The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Ahmad Nurhasim, Anggi M. Lubis, Nurul Fitri Ramadhani and Robby Irfany Maqoma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *