Dua Dekade ‘Banyu Biru’: Mengunjungi Lagi Teddy Soeriaatmadja yang Reflektif
Siapa sangka, seorang Teddy Soeriaatmadja—yang kini lebih sering kita ingat lewat Berbalas Kejam, film thriller penuh amarah dan darah—memulai karier panjangnya lewat sebuah drama reflektif tentang ingatan, penerimaan, dan relasi ayah-anak?
Banyu Biru (2005), film yang rilis dua dekade silam, bukan hanya menandai lahirnya salah satu sineas dengan resume paling versatile yang dimiliki Indonesia saat ini. Ia juga jadi penanda bahwa pada suatu ketika, sinema populer Indonesia bisa dimanfaatkan sebagai medium refleksi yang filosofis—sebelum genrenya dikuasai, kalau tak mau dibilang diseragamkan, kisah cinta dan pasar horor.
Film ini menampilkan Tora Sudiro sebagai Banyu, pria kelas pekerja yang pulang kampung setelah sepuluh tahun tak bertemu ayahnya (Slamet Rahardjo). Saat itu, Tora tengah menunggangi ombak popularitasnya yang memuncak pasca-Arisan! (2003), yang mengantarkannya meraih Piala Citra untuk Aktor Terbaik.
Penampilannya di Banyu Biru memberi sinyal bahwa Tora akan berprogres sebagai seniman muda yang secara sadar mengambil peran beragam. Namun, proyeksi itu terbantahkan setelah, nantinya ia lebih banyak berkutat di film komedi yang itu-itu saja.
Premis Banyu Biru yang sederhana diracik Teddy dengan sentuhan surealis, pemilihan warna-warna yang intensional, serta parade karakter nyentrik yang hadir sebagai “pemandu” perjalanan Banyu.
Hasilnya adalah sebuah road film yang punya kualitas dreamy, tapi justru karena itu berhasil membuka ruang kontemplasi.
Baca juga: Kenapa Film Queer di Filipina, Thailand, dan Indonesia Tumbuh Berbeda?
Banyu Biru dan Warisan “Daddy Issue” Khas Teddy

Banyu Biru adalah percontohan karya-karya Teddy yang menunjukkan minatnya untuk mengulik konsep fatherhood, sesuatu yang kemudian jadi tema penting dalam Lovely Man (2011).
Melalui film-film ini, Teddy membahas tentang bagaimana ayah (atau ketiadaan figurnya) berperan besar dalam pembentukan nilai dan cara seseorang menyikapi dunia. Di samping kaitan biologis, ayah diposisikan sebagai figur simbolis yang menyimpan luka, duka, sekaligus peluang untuk rekonsiliasi.
Dalam Banyu Biru, tokoh utama digambarkan tumbuh dengan menyimpan ketidaksukaan mendalam pada ayahnya. Setelah ibu dan kakak perempuannya meninggal dalam waktu berdekatan, sang ayah seolah menarik diri, absen secara emosional dari kehidupan Banyu. Film ini memotret seorang pria yang paham betul: sebagian dari dirinya hari ini terbentuk justru oleh perasaan negatif yang ia warisi dari hubungan dingin dengan ayahnya.
Baca juga: Karakter LGBTQ di Film Indonesia: Mengingat Mereka yang Queer dan ‘Legendary’
Namun, sebagai orang dewasa, ia juga cukup sadar bahwa Yuskar—sang ayah—adalah manusia biasa dengan beban hidup sendiri. Ambivalensi ini yang membuat film terasa menyembuhkan: ia tidak menuntut rekonsiliasi penuh, tapi menunjukkan bahwa bahkan dalam relasi rusak pun, ada ruang untuk memahami.
Yang menarik, narasi ini digerakkan oleh gagasan tentang ingatan. Apa yang kita ingat, ternyata tidak selalu akurat dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Ingatan bisa terdistorsi oleh perasaan, bias, bahkan dendam. Dalam psikolog kognitif, dikenal adanya fenomena false memories, dan Banyu Biru menerjemahkan gagasan itu ke dalam bahasa sinematik. Dalam pelajaran pulang kampungnya, Banyu menemukan tentang bagaimana manusia belajar mendamaikan dirinya dengan memori yang rapuh.
Di satu sisi, film ini coba memberikan simpati pada orang-orang yang dihakimi memori kita sebagai sosok antagonis. Namun di sisi lain, sangat manusiawi jika otak kita melabeli memori terkait orang yang tidak kita suka sebagai ancaman, karena pada akhirnya begitulah manusia merespons situasi.
Satu hal yang begitu menonjol ketika menonton Banyu Biru hari ini, adalah bagaimana naskah garapan Rayya Makarim dan Prima Rusdi melukis karakter Banyu. Ia adalah sosok yang self-aware, dengan lapisan psikologis yang terasa natural. Pada era ketika retorika kesehatan mental belum populer di ruang publik, Banyu Biru sudah menyinggungnya secara subtil. Baru jauh setelah era media sosial, istilah-istilah seputar wellness culture menjadi lazim. Dalam konteks ini, film terasa visioner.
Perjalanan Banyu juga dipenuhi pertemuan dengan sederet karakter unik yang mendiami spektrum; mulai dari yang dreamy, seperti Sula (Dian Sastrowardoyo), tetangga masa kecilnya dan peramal misterius (Ladya Cheryl); hingga yang nyentrik, seperti pamannya yang hobi kawin (Didi Petet) dan penjaga kios tiket kapal yang rewel (Butet Kertaradjasa).
Di sela-selanya, yang paling menonjol, adalah Arief (Oscar Lawalata), teman sekolah Banyu yang dulu diejek banci. Kini, Arief tampil percaya diri sebagai pria queer. Teddy tidak menghapus keberadaan queer dalam semestanya; ia memberi ruang bagi Arief untuk merebut istilah peyoratif “banci” dan menjadikannya afirmasi diri.
Baca juga: Film di Asia Tenggara Belum Inklusif, Minim Representasi Lesbian dan Transpuan
Estetika dan Relevansi Dua Dekade Kemudian
Secara estetika, Banyu Biru punya desain produksi yang intensional dalam membangun semestanya. Pemilihan warna-warna primer, seperti biru (yang merujuk pada judul) untuk seragam kerja Banyu, dan kuning sebagai filter kamera dalam memotret adegan-adegan kunci guna menciptakan kesan surealis. Teknik ini kelak kembali Teddy pekerjakan dalam Ruang (2006). Warna, dalam dua film ini, dimanfaatkan sebagai perangkat simbolik yang menandai batas antara realitas dan memori.
Dari sudut pandang sejarah karier sang auteur, Banyu Biru berdiri di posisi unik. Setelah itu Teddy sempat meluncurkan Namaku Dick (2008), komedi misoginis yang terasa lebih sebagai proyek komisi ketimbang ekspresi personal.
Namun, lewat Lovely Man (2011), ia kembali menegaskan minat pada relasi keluarga yang retak. Terakhir, pada 2025, ia merilis Mungkin Kita Perlu Waktu, film yang jelas-jelas terinspirasi (jika tidak ingin dikatakan menjiplak) Ordinary People (1981). Jika film terbarunya terasa derivatif, Banyu Biru justru masih menyala sebagai karya debut yang tulus, reflektif, dan penuh keberanian.
Sangat menarik untuk menyimak Banyu Biru dua dekade kemudian, baik sebagai catatan awal karier seorang sineas besar maupun sebagai film yang mampu menyentuh sisi rapuh manusia. Ia mungkin tidak sempurna; beberapa subplot terasa melayang. Tetapi justru dalam ketidaksempurnaan itu ada kejujuran artistik.
Film ini, secara mengejutkan, berhasil mengajak saya merenung: bagaimana kita mengingat orang tua kita? Apakah ingatan itu sungguh kebenaran, atau sekadar proyeksi luka? Dan bagaimana jika, di antara serpihan memori itu, kita justru menemukan ruang untuk berdamai?
Banyu Biru adalah film kecil yang diam-diam besar. Ia tidak berpretensi monumental, tetapi ketika ditonton ulang hari ini, ia masih terasa menyembuhkan. Di tengah kebisingan film-film komersial maupun karya seni yang terlalu berat, Banyu Biru menempuh jalannya sendiri: tenang, reflektif, dan terasa tulus sebagai karya perdana.
















