June 19, 2025
Culture Screen Raves

Cara ‘Mungkin Kita Perlu Waktu’ Memotret Ragam Ekspresi Duka dan Cara Bertahan

Duka tak seharusnya dicarikan solusi, ia mungkin hanya butuh waktu untuk ditemani. Film ini sepertinya ingin bilang begitu.

  • May 20, 2025
  • 4 min read
  • 559 Views
Cara ‘Mungkin Kita Perlu Waktu’ Memotret Ragam Ekspresi Duka dan Cara Bertahan

Setelah mengadaptasi novel Ika Natassa di film sebelumnya, kali ini Teddy Soeriaatmadja menangani drama yang lebih membumi lewat Mungkin Kita Perlu Waktu (2025). Sebuah film dengan konflik yang intim tapi tidak mengurung penonton, karena rasa dan tensi emosinya sangat bisa dikenali.

Dengan konsep cerita dan karakterisasi tokoh yang hampir identik, sulit untuk tidak membandingkannya dengan Ordinary People (1980), karya Robert Redford; kisah keluarga yang berduka pasca kehilangan anak, dan bagaimana trauma itu merembes ke cara mereka mencintai dan berkomunikasi. 

Saya tidak tahu apakah ia secara sengaja memang mengadaptasinya atau sebatas terinspirasi saja, tapi di filmnya, Teddy memberi tafsir, memberi jarak, dan memberi ruang untuk kompleksitas khas Indonesia—terutama dalam cara kita bicara (atau justru diam) tentang luka.

Seperti Judulnya, Mungkin Duka Butuh Waktu

Cerita berputar pada keluarga Kasih (Sha Ine Febriyanti), Restu (Lukman Sardi), dan anak mereka, Ombak (Bima Azriel), yang kehilangan Sara (Naura Hakim), sang sulung, dalam sebuah kecelakaan mobil. Ombak, yang menyetir saat kecelakaan itu terjadi, menyimpan rasa bersalah yang begitu dalam, sampai-sampai sempat mencoba bunuh diri karenanya. Kasih, yang dulu bekerja dan kini menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, merespons duka dengan menjauh, bukan secara agresif, tapi dengan membekukan kehangatan. Ia memilih agama sebagai tempat mencari pertolongan, kendati ia bukan ibu relijius stereotipikal. Saat ia memutuskan berhijab di paruh akhir film, itu bukan sebagai perubahan identitas, melainkan lebih untuk mengembalikan kontrol atas dirinya sendiri di tengah kekacauan batin yang ia alami.

Sementara Restu, ayah yang bertekad sekuat tenaga jadi juru damai dalam keluarga ini, justru terjebak dalam peran yang membuat emosinya sendiri terabaikan. Ia menjadi semacam penetral konflik dan penyelamat situasi tiap kali tensi antara Kasih dan Ombak terlihat mulai meninggi. 

Namun, makin lama rol diputar, kita tahu, kesabarannya hanyalah topeng dari rasa lelah yang berkepanjangan. Ombak, di sisi lain, mencoba menjalani hidupnya sebiasa mungkin. Ia menghabiskan energinya di tim basket, menjalani sekolah tanpa banyak suara, dan berinteraksi sosial seperlunya saja. Hingga pertemuannya dengan Aleiqa (Tissa Biani), seorang siswi di sekolahnya yang sama-sama penyintas percobaan bunuh diri, membuat mata Ombak sedikit lebih terang dan langkah kakinya sedikit lebih enteng.

Lewat kesederhanaan interaksi mereka, kita tahu bahwa saling memahami tidak melulu butuh obrolan-obrolan yang dalam. Kadang bertemu dengan orang yang membagi pengalaman yang sama, cukup membuat kita tidak sendirian.

Dialog yang Seperti Monolog dan Ruang Bicara Seks Sehat Buat Remaja

Semua ini menyusun kompleksitas emosi yang resonan. Tapi bagi saya, film ini punya celah yang cukup menganga di sisi dialog. Di beberapa adegan, saya bisa merasakan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan keluar dari ketikan penulis naskah, alih-alih mengalir seperti obrolan yang organik. Efeknya, beberapa momen emosional yang berpotensi bisa lebih menghantam, justru terasa terlalu self-aware, seolah emosinya terlalu sadar ingin ditampilkan, bukan dibiarkan muncul secara natural.

Meskipun demikian, Mungkin Kita Perlu Waktu unggul ketika ia memberi ruang bagi tiap karakternya untuk memproses duka dengan cara yang berbeda. Tidak ada satu pun ekspresi yang dianggap salah. 

Ombak akhirnya memutuskan bertemu psikolog, Kasih memilih mendekat pada agama, dan Restu mencoba menjaga semua tetap utuh meski dirinya sendiri runtuh. Film ini dengan berani menampilkan polarisasi yang lazim kita jumpai dalam masyarakat Indonesia: ketidakpercayaan terhadap terapi psikologis, dan keyakinan bahwa hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan batin. 

Kasih adalah perwujudan dari sikap ini. Sementara Ombak, lewat interaksi dengan psikolog Kak Nana (Asri Welas), menunjukkan pendekatan lain: Bahwa terkadang, membuka ruang obrolan saja bisa menyelamatkan hidup seseorang.

Di sinilah Mungkin Kita Perlu Waktu terasa progresif, bahkan politis. Tidak hanya dalam membela pentingnya kesehatan mental, tapi juga dalam bagaimana ia menyikapi seksualitas remaja. Dalam salah satu adegan sesi konseling, Kak Nana bertanya pada Ombak apakah ia dan Aleiqa sudah berhubungan seks. Bukan dalam nada interogatif, apalagi ingin tahu demi kontrol moral. Tapi dengan nada empatik dan biasa saja, seolah membicarakan seks adalah bagian dari memahami keseharian seseorang, bukan sesuatu yang harus ditutupi atau diadili. Ini adalah momen yang sangat jarang kita temui di film Indonesia—terutama film keluarga—dan menjadi bukti bahwa film ini tidak takut merawat percakapan yang biasanya disingkirkan ke bisikan.

Kelebihan paling besar film ini justru muncul di akhir, ketika emosi yang selama ini tertahan akhirnya dilepaskan oleh semua karakter dengan cara yang sehat dan jujur.

Ironisnya, momen katarsis ini justru berujung pada keputusan besar: Kasih dan Restu memutuskan berpisah. Namun, alih-alih diposisikan sebagai tragedi, perceraian ini dipotret sebagai sesuatu yang dewasa. Sebuah langkah yang menyakitkan, tapi mungkin dibutuhkan. Yang menyentuh adalah bagaimana perceraian itu justru membawa mereka, untuk pertama kalinya, berdiri secara sejajar dan melihat satu sama lain sebagai “rekan seperjuangan” di kehidupan. 

Dalam adegan terakhir, mereka berpelukan—bukan karena akan rujuk, tapi karena mereka akhirnya bisa saling bersimpati.Akhirnya, Mungkin Kita Perlu Waktu adalah film yang tidak menawarkan resolusi sempurna, tapi menawarkan ruang bagi segala yang tidak selesai. Dan di dunia yang makin terobsesi pada kebahagiaan instan, film ini berani berkata: Kadang, yang kita butuhkan bukan solusi—tapi waktu.



#waveforequality
About Author

Catra Wardhana

Peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.