Culture Screen Raves

Membedah Bahaya Grooming Lewat Film ‘Palm Trees and Power Lines’

Palm Trees and Power Lines bicara tentang grooming secara blak-blakan.

Avatar
  • May 17, 2023
  • 7 min read
  • 2145 Views
Membedah Bahaya Grooming Lewat Film ‘Palm Trees and Power Lines’

KlikFilm, platform streaming film asal Indonesia baru-baru ini merilis film berjudul Palm Trees and Power Lines. Film yang digarap sutradara perempuan asal Amerika, Jamie Dack ini mendapat respons positif dari kritikus. Terutama sejak penayangan perdananya di Festival Film Sundance ke-38, Januari 2022 kemarin.

Melalui debut penyutradaraan panjangnya, Dack menyabet U.S Dramatic Competition Directing Award di festival film bergengsi itu. Ia juga mendapatkan empat nominasi di Independent Spirit Awards ke-38, termasuk Best First Feature.

 

 

Namun, terlepas dari semua respons dan penghargaan yang Dack peroleh, butuh waktu berbulan-bulan bagi film ini untuk menemukan distributor. Alasannya, kata Dack pada Variety, banyak perusahaan film yang tidak ingin mendistribusikan film yang mengangkat topik kontroversial.

“Orang-orang ketakutan,” kata Dack. “Ada banyak perusahaan yang ingin bertemu saya dan mengatakan bahwa mereka ingin bekerja sama dengan saya dalam proyek berikutnya. Mereka terus terang bilang, “Kami menyukai film ini, tapi kami tidak bisa mendistribusikannya.”

Dibintangi oleh Lily McInerny, Jonathan Tucker, dan Gretchen Mol, Palm Trees and Power Line bercerita tentang Lea, remaja perempuan 17 tahun yang menjalin hubungan romantis dengan Tom, laki-laki 34 tahun.

Relasi romantisnya bersama Tom terbangun di saat Lea merasa hampa. Ia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam lingkaran pertemanan ataupun keluarga sendiri.

Dari perhatian dan kasih sayang yang ia dapatkan lewat Tom, Lea jadi cinta mati pada pria yang usianya dua kali lipat lebih tua. Rasa cinta ini sayangnya yang membuat Lea tidak sadar tengah terperangkap dalam hubungan penuh manipulasi.

Sumber: IMDB

Baca Juga: Review ‘Women Talking’: Ketika Suara Korban Kekerasan Seksual Didengarkan

Mendalami Isu Grooming Lewat Cerita Lea

Kekerasan seksual beberapa tahun belakangan jadi isu populer yang banyak diangkat dalam berbagai film dan serial. Film-film Hollywood seperti Bombshell (2016), She Said (2022), Luckiest Girl Alive (2022), Women Talking (2022) jadi buktinya.

Menurut Adrian Horton di The Guardian, banyaknya film dan serial yang kini mengangkat isu pelecehan dan kekerasan seksual tak bisa lepas dari pengaruh #MeToo.

Layaknya para sineas lain, Dack pun juga terilhami dari gerakan sosial satu ini. Dikutip dari wawancaranya bersama Vogue, Dack yang menulis skenario bersama Audrey Findlay mengatakan, film ini ditulis setelah gerakan #MeToo. Selama penulisannya, Dack berusaha memperdalam nuansa kekerasan seksual yang dialami Lea. Caranya adalah dengan merefleksikan pengalamannya menjalin hubungan romantis dengan pasangan lebih tua saat remaja.

Proses refleksi membuat dia banyak belajar tentang grooming atau manipulasi seksual yang dilakukan orang dewasa pada anak di bawah umur. Ini membuat Dack mampu melihat relasi romantis yang pernah ia jalani dalam perspektif berbeda dan akhirnya berusaha menuliskannya dalam naskah film panjang.

“Saya ingin mengeksplorasinya (grooming) dalam tulisan saya, apa yang bisa terjadi dalam relasi seperti ini dan saya menggunakan tokoh utama sebagai proksi dari diri saya yang lebih muda. Jadi saya menggabungkan penelitian yang saya lakukan dengan pengalaman saya sendiri,” ucap Dack.

Baca Juga: 3 Catatan Penting dari Film Kekerasan Seksual ‘Cyber Hell’

Dengan bekal unik yang dimiliki Dack dalam menulis naskah, film Palm Trees and Power Line pun tak malu-malu menampilkan cerita tentang grooming. Dack secara detail menggambarkan situasi Lea. Ia adalah remaja yang secara emosional rentan. Ia merasakan kehampaan dan putus asa merasakan sesuatu, apa pun itu.

Dalam relasi dengan teman-teman seusianya, Lea sering kali merasa terasing. Guyonan atau perbincangan teman-temannya seringkali tak ia mengerti yang hanya berakhir dengan senyuman canggung. Dalam relasinya dengan laki-laki pun Lea tak pernah punya keterkaitan emosional. Jared sebagai orang yang kerap mengejarnya ternyata hanya mendekati Lea untuk berhubungan seksual saja.

Di saat Lea tak mendapatkan kepuasan dari dua relasi itu, ia kemudian berusaha mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari ibunya, Sandra. Sayang, Sandra juga tak bisa memberikan apa yang Lea mau. Setelah perceraiannya dengan sang suami yang kini tinggal di Arizona bersama keluarga baru, Sandra absen secara emosional dalam kehidupan Lea. Sosoknya hanya eksis untuk mengomeli atau memarahi Lea.

Karena itu, saat Tom hadir Lea pun terbuai. Tom, seperti banyak pelaku grooming, tahu apa yang ia lakukan. Ia tahu Lea butuh kasih sayang dan perhatian, jadi ia berikan semuanya pada Lea kapan pun Lea membutuhkannya. Tom selalu ada ketika Lea frustrasi dengan pertengkarannya dengan Sandara.

Tom juga selalu ada ketika teman-temannya berperilaku menyebalkan. Ia dengan sabar mendengarkan Lea berkeluh kesah. Ia tak pernah menghakimi Lea, tapi justru memvalidasi rasa frustrasi dan kejengkelan sang protagonis. Sehingga Lea merasa diterima dan disayangi apa adanya.

Saat Lea sudah terbuai sikapnya, Tom perlahan menjauhkan atau mengisolasi Lea dari orang-orang terdekatnya. Taktik ini banyak dilakukan pelaku grooming untuk membuat korban rentan terhadap kontrol paksaan lebih lanjut, seperti yang diungkap psikolog Lisa Aronson Fontes Ph.D dalam tulisannya di Psychology Today.

Tom terus mengajak Lea pergi bersama selama liburan sekolah. Meminimalisir waktu Lea dengan teman-teman dan ibunya, serta menjauhkan mereka secara emosional. Tom mengatakan teman-teman Lea tidak selevel dengan Lea yang dianggap Tom lebih dewasa dan pintar.

Ia juga tidak mau Lea bertemu dengan laki-laki lain selain Tom. Lewat kata-kata manis yang sebenarnya penuh red flags, Tom mengatakan tidak ada laki-laki yang mampu memberikan dan memiliki rasa cinta sebesar Tom pada Lea.

Dan tak kalah pentingnya Tom juga memosisikan dirinya lebih dari sang ibu. Tom akan lebih bisa memberikannya perlindungan, kasih sayang, bahkan uang. Semuanya terbukti dari perlakuan Tom yang tak pernah mengomeli atau menganggap remeh mimpi Lea menjadi penyanyi.

Cara Tom menyakinkan Lea dengan sikap dan kata-kata manis akhirnya membuat Lea luluh dan jatuh dalam perangkap. Ia tanpa sadar dimanipulasi untuk melakukan apa pun yang Tom inginkan.

Sumber: IMDB

Baca Juga: ‘The Woman King’: Angkat Kekerasan Seksual, tapi juga Kaburkan Sejarah

Susahnya Keluar dari Hubungan Toksik

Lea kini sudah terlanjur terjerumus dalam hubungan toksik dengan Tom. Lea tidak hanya dimanipulasi untuk berhubungan seksual dengan Tom. Tetapi ia juga dimanipulasi berhubungan seksual dengan om-om paruh baya demi uang yang kekasihnya katakan adalah bentuk dari komitmen melindungi dan menghidupi Lea.

Dengan adegan-adegan sensitif seperti ini, Dack berusaha menggambarkan Lea tidak dalam satu dimensi belaka. Penggambaran begitu biasanya akan membuat penonton justru balik menghakimi dan memaki Lea. Dack dengan kehati-hatian memperlihatkan bagaimana proses manipulasi Tom kepada Lea ternyata juga menimbulkan gejolak emosi pada diri Lea sendiri.

Lea tidak digambarkan manut saja pada Tom tanpa perlawanan. Sebaliknya, sebelum melakukan hubungan seksual berkali-kali Lea menolak dengan tangisan. Penolakan Lea disiasati Tom dengan aksi manipulatifnya. Tom menuduh Lea tidak memiliki komitmen. Dia membuat semua upaya Lea untuk mendapat privasi atau kebebasan sebagai tanda bahwa Lea tidak mencintainya.

Lea pun jadi mempertanyakan komitmennya sendiri. Ia jadi cemas luar biasa, tapi akhirnya harus terpaksa menyerah karena keadaan yang sayangnya dinilai para pelaku sebagai sebuah persetujuan.

Pengalaman ini jelas traumatis bagi Lea. Ia sempat kabur dari Tom, kembali bergaul dengan teman-temannya dan berusaha menjalin hubungan dengan ibunya. Tetapi lambat laun ia tetap merasa ada yang kurang dari relasi yang ia punya.

Pada tahap ini, penonton harus menerima kenyataan pahit. Lea yang sudah mengalami kekerasan seksual selama menjalani hubungan dengan Tom, justru kembali menginginkan kehadiran Tom lagi dalam hidupnya. Ia kangen dengan sosok Tom.

Buat para penonton tentu respons Lea bisa dibilang cukup mengecewakan. Tetapi buat korban, nyatanya respons Lea cukup wajar bahkan sangat realistis. Faktanya, memang tak banyak korban kekerasan  dalam hubungan bisa lepas begitu saja dari cengkraman pelaku.

Melansir National Domestic Violence Hotline dan DomesticShelters.org, saat kita membincangkan kuasa dan kontrol. Posisi pelaku dan korban dalam hubungan toksik selalu timpang. Dalam kasus grooming ketimpangan ini semakin kentara.

Usia pelaku yang lebih dewasa dari korban adalah alat kuasa dan kontrol untuk lebih dominan. Hal ini bikin korban malu dan mempertanyakan harga diri atau self-esteem dan independensi mereka sendiri. Semua terjadi karena korban sama sekali tidak diberikan ruang untuk memiliki agensi dan bernegosiasi.

Kedua hal ini dialami Lea. Manipulasi Tom yang lekat dengan isolasi dan intimidasi membuat Lea memiliki self-esteem rendah, sehingga ia jadi terlalu bergantung pada Tom secara emosional. Untuk keluar dari hubungannya bersama Tom, Lea dihadapkan sebuah dunia yang terlihat menyeramkan. Dia tidak menganggap dirinya berharga karena tidak ada orang yang mau peduli atau cinta pada dirinya. Karena itu, ia tetap putuskan kembali dengan segala konsekuensinya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *