Culture Screen Raves

‘Mountains More Ancient’: Perempuan Indonesia yang Dijual dan Jadi Korban Kekerasan di Afrika Selatan 

Para perempuan ini tak bisa pulang, dirampas masa kanak-kanaknya, dan menjadi target kekerasan seksual di tanah asing Afrika Selatan.

Avatar
  • January 6, 2025
  • 7 min read
  • 320 Views
‘Mountains More Ancient’: Perempuan Indonesia yang Dijual dan Jadi Korban Kekerasan di Afrika Selatan 

Medio 1751, Wulan, anak perempuan berusia 9 tahun mendarat di Cape Town, Afrika Selatan. Ini adalah kali pertama ia dan bapaknya, Parto terlempar jauh dari tanah kelahiran di Jawa, setelah berbulan-bulan menyeberangi samudera. Wulan mestinya bisa menikmati masa kanak-kanak, berlarian di kebun luas milik sang kakek bersama sanak saudara. Nahas, nasib buruk membuatnya menjadi budak di tanah asing itu. 

Semua bermula saat Parto dijual oleh lintah darat tempatnya berutang dengan bunga tinggi. Melihat bapaknya dijual dan hendak dibawa paksa, Wulan menangis sejadi-jadinya. Ia ingin terus bersama bapak, bahkan jika itu berarti ia harus meninggalkan kampung halaman. 

 

 

Bersama Parto, Wulan menyerahkan seluruh hidupnya pada majikan Belanda bernama Baas. Di kompleks peternakan yang dikelola Baas, Wulan kerap diperlakukan dengan tak manusiawi. 

Perempuan di Pusaran Perdagangan Manusia 

Kisah Wulan ini adalah bagian tak terpisahkan dari penjajahan Belanda yang jarang diketahui masyarakat Indonesia. Kebanyakan penelitian sejarah cenderung mengabaikan cerita kehidupan orang-orang biasa dan memilih menceritakan kehidupan tokoh-tokoh sejarah terkemuka. 

Kesenjangan sejarah inilah yang dimanfaatkan Isna Marifa lewat novel fiksi sejarah perdananya berjudul Mountains More Ancient (2020). Lewat buku ini, Isna mengajak pembaca untuk lebih intim mengenal orang-orang Indonesia yang terlupakan dalam sejarah perbudakan di Afrika Selatan. 

Wulan cuma salah satunya. Ia dijual bersama ribuan budak Asia lain yang disponsori jaringan perbudakan internasional Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai Dutch East India Company. 

Melansir artikel South African History Online (SAHO), situs web online terbesar dan terlengkap tentang sejarah dan budaya Afrika Selatan dan Afrika, perbudakan internasional di Afrika Selatan bermula saat Jan van Riebeeck datang ke Tanjung Harapan pada 1692. Awalnya, ia cuma mau mendirikan pos perdagangan dan benteng pasokan bagi kapal-kapal dagang yang melintasi rute Eropa-Hindia Timur. 

Baca Juga: Gerakan Feminisme Oleh Sastrawan Perempuan Korea 

Di tanah yang diklaim sebagai milik bangsa kulit putih itu, para pemukim pendatang Belanda lambat laun mulai berdatangan. Mereka diberi tanah dan diharuskan memproduksi makanan guna memenuhi kebutuhan pasokan kapal-kapal VOC dan pemukiman. Kewajiban ini membuat para pemukim menuntut tenaga kerja tambahan dengan jumlah banyak dan murah agar menghasilkan pasokan yang cukup. 

Momen ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC yang telah menjajah berbagai wilayah Asia Tenggara untuk menculik para pribumi dan menjadikan mereka budak di koloni Cape. 

Kompas.com melaporkan menurut catatan Arsip Nasional, dari total pribumi yang dibawa ke Cape Town 36,40 persen, di antaranya adalah orang India. Orang Indonesia sebanyak 31,47 persen, Afrika 26,65 persen, Sri Lanka 3,10 persen, Mauritius 0,18 persen, Malaysia 0,49 persen, dan wilayah lain 1,71 persen. Catatan di buku Indonesians in South Africa: Historical Links Spanning Three Centuries juga menyebutkan, orang pribumi dari wilayah Asia Tenggara pertama yang dibawa VOC ke Cape Town adalah orang Indonesia. 

Sebagai budak, pribumi yang dipisahkan secara paksa dari keluarga dan negara asal kehilangan tiap hak dasarnya sebagai manusia. Mereka resmi jadi properti majikannya. Mereka dianggap sebagai aset ekonomi yang dapat digadaikan, dijual, atau disewakan untuk mendapatkan keuntungan sehingga majikan mereka bebas memperlakukan mereka sepuas hati. 

Seperti Wulan dan Parto dalam novel Isna, para budak ini dibiarkan hidup berhimpit-himpitan tanpa tempat berteduh dan pakaian layak. Mereka digaji murah dan dibiarkan mati kelaparan atau sakit-sakitan karena harus bekerja keras terus menerus sepanjang tahun, dengan sedikit waktu istirahat. 

Nasib budak perempuan lebih miris lagi. Mereka rentan mengalami kekerasan seksual dari majikan atau bawahan berkulit putih. Mengutip The Cape Town Museum, tubuh perempuan yang diperbudak adalah milik majikan (dalam banyak kasus bawahan kulit putih juga menggunakan hak milik ini). Jadi meskipun mereka memiliki pasangan hidup dan anak-anak, para perempuan ini tidak boleh berkata tidak, jika dipaksa berhubungan seksual. 

Pemaksaan hubungan seksual ini juga sering kali disusul dengan iming-iming janji palsu tentang kebebasan mereka atau anggota keluarga. Hal ini persis yang dialami oleh Wulan. Parto dijanjikan akan dibebaskan jika Wulan bersedia menuruti nafsu seorang Knecht (sebutan bagi pelayan laki-laki) yang ditunjuk Baas sebagai pengawas para budak-budak di peternakannya. Janji ini begitu indah buat Wulan apalagi Parto sudah menua dan fisiknya tidak seprima dulu. 

Sayang janji itu cuma dusta. Parto tidak pernah dibebaskan dan Wulan sebaliknya mengalami kehamilan tidak direncanakan. Kekerasan seksual yang dialami budak perempuan seperti Wulan dijelaskan dalam “Sexual Geographies of the Cape: Slavery, race and sexual violence”, sebagai salah satu fondasi penjajahan bangsa kulit putih. Penjajahan dalam hal ini juga bermakna penjajahan dan kontrol tubuh perempuan. 

Karena itu pula, selama masa perbudakan di koloni Cape, tidak ada satu pun laki-laki yang dihukum karena pemerkosaan terhadap perempuan budak. Parto sendiri enggak bisa berbuat banyak atas kekerasan yang dialami anak perempuannya. Sebab, sejak menjadi budak, ia telah resmi kehilangan hak atas anaknya sendiri. 

Baca Juga: 5 Sastrawan Perempuan Jepang yang ‘Bunyi’ dan Patut Kamu Lirik 

Tahanan Politik dan Terbentuknya Cape Malay 

Parto tidak pernah menyangka kalau era keemasan kerajaan-kerajaan di Jawa bakal sirna sejak kedatangan bangsa Belanda. Sebagai orang Jawa tulen yang sangat mengagumi Mataram Islam, ia memandang kekuasaan kerajaan tersebut tak bakal goyah. Anggapan Parto nyatanya salah besar. Mataram Islam terbagi menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta. Dilegitimasi lewat Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755, friksi ini dimanfaatkan oleh VOC untuk memperluas pengaruhnya. 

Politik adu domba dan politik kepentingan bangsa kulit putih, pertikaian di dalam kerajaan-kerajaan kecil ini umum ditemui. Bangsawan yang menginginkan kuasa dan keuntungan perdagangan yang lebih banyak memihak pada Belanda. Tentunya usaha mereka ini dapat perlawanan, tak terkecuali dari anggota keluarga sendiri. Raden Mas Suryakusuma atau lebih dikenal dengan Ngabehi Saloring Pasar adalah salah satunya. 

Ia menolak setuju dengan pilihan ayahnya, Susuhunan Pakubuwana I yang banyak mengikat janji perdagangan dagangan dengan VOC. Ayahnya pula yang membolehkan bangsa kulit putih itu membangun benteng-benteng di pantai utara Jawa. Ketidaksetujuan Raden Mas Suryakusuma timbulkan petaka. Ia dilucuti dari kekuasaannya dan diasingkan ke Stellenbosch, Afrika Selatan bersama keluarganya. 

Raden Mas Suryakusuma bukan satu-satunya bangsawan yang dibuang ke dataran Afrika. Imam Abdullah Kadi Abdus Salaam atau Tuan Guru, Sheikh Yusuf, Pangeran Arya Mangkunegara, dan Cakraningrat IV adalah beberapa yang bernasib sama. Dalam Indonesian nobles exiled in Dutch Colonial Cape Town 1675-1689, mereka adalah tahanan politik VOC yang umumnya terdiri dari anggota keluarga kerajaan dan pemimpin agama dari kerajaan-kerajaan kecil atau negara-negara bawahan di seluruh kepulauan Asia Tenggara. 

Sebagai tahanan politik, mereka dianggap sebagai penjahat atau pemberontak yang layak diberi hukuman karena telah menentang upaya VOC mengendalikan perdagangan dan politik di tanah air. Banyak dari mereka tidak dapat meninggalkan koloni setelah masa hukuman selesai. Mereka meninggal di pengasingan, bahkan tak sedikit yang terpaksa hidup berkekurangan. 

Baca Juga: ‘Kim Ji-young, Born 1982’ di Tengah Gerakan #MeToo Korea Selatan 

Isna lewat novelnya sekali lagi ingin menunjukkan bagaimana transmigrasi besar-besaran punya peran besar dalam membangun ikatan komunal baru bagi mereka yang diasingkan. Ikatan komunal ini mewujud dalam komunitas kecil bernama Cape Malay. Di sana para pribumi dan bangsawan yang diasingkan saling menguatkan satu sama lain dan menjaga adat istiadat yang khas. Misalnya nyekar, ritual mengunjungi makam leluhur pada acara-acara penting atau hari raya. 

Selain nyekar, mereka juga mempraktikkan adat istiadat Indonesia lainnya, seni bela diri yang menggunakan benda tajam untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad seperti debus dari Banten, yang mereka sebut ratieb

Dalam wawancaranya bersama The Jakarta Post Isna terpesona saat menemukan kata-kata Melayu masuk ke dalam bahasa Afrika, seperti puasa, lebarang (Idulfitri, atau Lebaran) dan mas kawi (mas kawin). 

Meskipun saat ini orang Melayu Tanjung hanya mengetahui sedikit kata-kata Melayu, mereka memiliki rasa identitas yang kuat seputar makanan, adat istiadat, dan kepercayaan. Ketertarikan pada hubungan sejarah dan budaya ini mendorong Isna untuk menulis novel tentang komunitas Cape Malay di masa lalu. 

“Pertama, memperkenalkan kembali Indonesia, khususnya Jawa, kepada masyarakat Cape Malay. Kedua, untuk mendorong kesadaran pembaca Indonesia bahwa kita memiliki hubungan dengan masyarakat Cape Malay di Afrika Selatan,” katanya pada The Jakarta Post. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *