December 5, 2025
Culture Gender & Sexuality Screen Raves

‘Panggil Aku Ayah’: Saat Perempuan Dijepit Beban Ekonomi dan Dua Laki-laki Bekerja Sama Mengasuh Anak

Saat ibu tunggal harus melunasi utang suaminya, sang anak dititipkan pada dua orang debt collectors. Seperti sepasang orang tua, kerja perawatan lalu dilaksanakan dua pria itu.

  • August 19, 2025
  • 6 min read
  • 4328 Views
‘Panggil Aku Ayah’: Saat Perempuan Dijepit Beban Ekonomi dan Dua Laki-laki Bekerja Sama Mengasuh Anak

Disutradarai Benni Setiawan dan dibintangi Ringgo Agus Rahman, Boris Bokir, Myesha Lin, Sita Nursanti, serta Tissa Biani, Panggil Aku Ayah (2025) adalah adaptasi Indonesia dari film Korea Selatan Pawn (2020). 

Bermula dari seorang anak kecil yang dijadikan jaminan utang, film ini berkembang jadi dongeng penuh kehangatan tentang kasih sayang yang tumbuh tanpa ikatan darah. Sama seperti versi aslinya, latar waktu Panggil Aku Ayah merentang dari era 1990-an hingga 2010-an, memberi warna sosial-ekonomi khas Indonesia, lengkap dengan denyut perubahan zaman yang memengaruhi relasi antar-karakter.

Cerita dibuka dengan Dedi (Ringgo Agus Rahman), seorang penagih utang, yang bersama sepupunya, Tatang (Boris Bokir), tanpa sengaja menjadi pengasuh sementara Pacil (Myesha Lin). Awalnya hubungan mereka dibangun di atas rasa saling benci. Pacil memandang keduanya sebagai ancaman, sementara Dedi dan Tatang melihatnya sebagai beban tambahan. 

Namun, interaksi sehari-hari perlahan meruntuhkan jarak itu. Adegan-adegan sederhana seperti mengantar ke sekolah, menunggu di depan pintu, mengajari pelajaran, atau merapikan rumah, menjadi bentuk kasih yang, mungkin tampak biasa saja, tapi sebenarnya dalam.

Baca juga: Maskulinitas Laki-laki yang Direkonstruksi Film-film Yandy Laurens

Dua Laki-laki Merawat Anak, Tanpa Pernikahan

Dalam lingkungan sosial yang masih sangat patriarkal dan heteronormatif, cerita seperti ini bisa jadi terasa radikal: menggoyahkan asumsi bahwa hanya ibu yang layak atau mampu melakukan pengasuhan intensif. 

Feminisme punya istilah untuk itu: the politics of everyday care. Merawat bukan hanya soal siapa yang lahir dari rahim siapa, melainkan soal hadir dalam rutinitas, menanggung beban emosional, dan memastikan anak merasa aman. Dengan merawat Intan, Dedi dan Tatang menembus stereotip maskulinitas yang biasanya keras, dingin, dan jauh dari ruang domestik. Mereka memperlihatkan bahwa menjadi laki-laki tak berarti absen dari dunia pengasuhan.

Dalam masyarakat heteronormatif, gambaran ini terasa segar. Film ini tidak menyajikan Dedi dan Tatang sebagai pasangan gay, tetapi dinamika mereka justru memperlihatkan bagaimana kategori “ayah” dan “ibu” bisa cair. Kadang Dedi mengambil peran cerewet, protektif, emosional; kadang Tatang tampil sebagai penengah yang sabar. Mereka menegosiasikan peran domestik sebagaimana pasangan pada umumnya. Judith Butler pernah mengatakan bahwa gender bukan identitas esensial, melainkan performa yang diulang-ulang. Dalam film ini, peran ayah-ibu dijalankan bergantian. 

Film ini mengajak penonton menyaksikan: ternyata keluarga bisa tumbuh di ruang yang tak terbayangkan sebelumnya.

Di satu adegan, Tatang dan Dedi terlibat argumen ketika membicarakan Intan yang susah dihubungi dan pulang malam. Satunya cemas, lainnya berusaha menenangkan. 

Yang menarik, film tidak mengorbankan perspektif Intan. Ia tidak digambarkan sebagai anak pasif yang sekadar jadi objek pengasuhan. Ketika dewasa, ia punya kehendak, tampak mandiri, dan merasa dihormati kedua paman yang merawatnya. Pertengkaran Dedi dan Tatang berakhir bukan dengan larangan keras, tapi dengan kesepakatan untuk tetap percaya pada Intan. Itu menandakan bentuk pengasuhan yang sehat: memberi ruang, sambil tetap menjaga. Menegaskan bahwa merawat tidak selalu berarti mengontrol, tapi juga mengakui subjektivitas anak.

Kehadiran Tatang yang blak-blakan memberi ritme komedik untuk memperkaya tekstur emosional. Pacil digambarkan sebagai anak yang tangguh dan intelijen, tanpa menghilangkan keluguan dan sifat whimsy khas anak-anak. Chemistry antara Ringgo dan Myesha menjadi kekuatan utama film ini. 

Cara keduanya saling menatap, berbalas kata, dan gestur-gestur kecil lainnya menciptakan kedekatan yang otentik dan meyakinkan. Begitu Intan (nama dewasa Pacil, diperankan Tissa Biani) muncul, cerita mengalami lompatan waktu ke era 2010-an. Di sini, kehangatan yang sudah dibangun terasa sekali jomplangnya. Interaksi Intan dewasa dengan Dedi dan Tatang gagal menduplikasi kehangatan yang ada di paruh awal film.

Lapisan lain yang membuat Panggil Aku Ayah terasa khas Indonesia adalah penggambaran Rossa (Sita Nursanti), ibu Pacil. Keputusannya meninggalkan anak untuk menjadi TKI ilegal bukanlah tanda kurangnya cinta, melainkan strategi bertahan hidup di tengah keterbatasan ekonomi, minimnya peluang kerja layak di dalam negeri, dan desakan yang berat untuk melunasi utang peninggalan mantan suaminya; semua hal itu memaksa Rossa mencari penghasilan di luar negeri. 

Feminisme lama mengkritisi isu perempuan pekerja migran. Film ini berhasil menangkap langkah pincang Rossa, yang mencerminkan beban ganda perempuan kelas pekerja: menjadi pencari nafkah sekaligus pengasuh, sementara negara kerap gagal memberi perlindungan dan jaminan keamanan. Migrasi ilegal yang ia jalani menyoroti kerentanan ganda, baik dari segi hukum maupun keamanan pribadi, yang dihadapi perempuan pekerja di sektor informal. 

Upaya Benni untuk mengarahkan rasa simpati pada Rossa, membuat konflik film ini lebih membumi bagi penonton Indonesia. Sekaligus menyinggung masalah struktural yang patut dibicarakan dalam film arus utama.

Baca juga: ‘Sakatupo’: Respons Trauma Moko dan Kenapa Kita Berharap Ia Meledak Marah?

Chosen Family: Pesan Kuat yang Disampaikan Santai

Secara garis besar, Panggil Aku Ayah mengusung gagasan found family atau chosen family: sekelompok orang yang saling mendukung dan mengasihi terlepas dari ikatan darah maupun legalitas. Dalam konteks budaya populer, konsep ini mendapat perhatian luas karena menawarkan alternatif dari narasi keluarga tradisional, terutama bagi mereka yang mengalami keterasingan dari keluarga asal. 

Seperti dicatat Kath Weston dalam bukunya Families We Choose, chosen family menjadi bentuk perlawanan terhadap norma keluarga biologis sekaligus ruang aman untuk membangun relasi berdasarkan pilihan, bukan kewajiban.

Film ini tidak sendirian di lanskap perfilman Indonesia. Belum lama, 1 Kakak 7 Ponakan juga mengeksplorasi tema serupa; tentang orang dewasa yang mendadak harus jadi sosok pengasuh, tak hanya bagi anak-anak, tapi juga orang dewasa yang menggantungkan nasib padanya. 

Namun, Panggil Aku Ayah memiliki kemasan yang lebih pop dan dibangun untuk memancing emosi secara lebih blak-blakkan. Benni memilih untuk tidak menebar emosi-emosi besar di banyak titik; rasa hangat dipupuk pelan-pelan, dan dipanen di momen-momen akhir. Walaupun efeknya terasa tergesa, terutama saat momen di mana Intan akhirnya bertemu lagi dengan Rossa setelah belasan tahun.

Melalui karakterisasi Rossa, Panggil Aku Ayah mengajak kita menilai ulang sistem sosial yang memaksa perempuan meninggalkan rumah dan keluarga demi bisa keluar dari kesulitan hidup. Film ini, secara implisit, melontarkan pertanyaan: mengapa begitu banyak keluarga Indonesia terbentuk, berubah, atau bahkan terpecah akibat tekanan ekonomi dan migrasi?

Baca juga: Dari Anak Buruh Migran Jadi Aktivis Gender: Cerita Nur Azila Rumi 

Kekuatan Panggil Aku Ayah terletak pada caranya menggambarkan keseharian, dan performa meyakinkan dari Ringgo dan Myesha. Sayangnya, film ini bekerja sebagai potongan-potongan momen berkesan—yang secara keseluruhan, tidak dijahit dengan mulus dan memuaskan. 

Kendati kelemahan-kelemahan itu hadir, paling tidak, Panggil Aku Ayah mampu menyampaikan pesan kuat bahwa keluarga adalah keputusan sadar untuk merawat, bukan semata hasil garis keturunan. 

Dengan menempatkan isu perempuan pekerja migran, absennya figur ayah, dan kerentanan anak di dalam narasi, Panggil Aku Ayah tak hanya menghangatkan hati pada momen-momen tertentu, tapi juga memancing refleksi. Terutama tentang bagaimana masyarakat Indonesia membentuk, menjaga, dan mendefinisikan keluarga di tengah perubahan sosial yang cepat.

About Author

Catra Wardhana and Aulia Adam