‘Beef’: Duet Ali Wong dan Steven Yeun yang Gelap, Menegangkan, dan Adiktif
Jangan coba tonton ‘Beef’ kalau sedang tidak senggang. Ia akan memaksamu duduk menyantapnya dalam sekali duduk.
Beef, serial baru Netflix karya Lee Sung Jin dilabeli sebagai thriller-comedy. Beef memang menawarkan tawa gelap di beberapa adegannya. Tapi secara keseluruhan serial ini adalah sebuah character study tentang orang-orang yang tidak bahagia. Atau lebih tepatnya orang-orang yang ditakdirkan untuk tidak pernah bahagia. Orang-orang yang mencari cara untuk self-sabotage. Kalau Anda mencintai The Bear yang rilis tahun lalu (bisa ditonton di Disney Hotstar+), Beef cocok untuk Anda.
Tokoh utamanya adalah Danny (Steven Yeun, perfectly cast), seorang kontraktor yang lebih dari sekedar struggling untuk bertahan hidup. Dia struggling untuk menjaga bisnis kontraktornya tetap ramai. Dia struggling untuk tampil baik-baik saja dan financially secure di depan orang tuanya. Dia struggling untuk menjaga hubungannya dengan adiknya, Paul (Young Mazino), untuk tetap fungsional. Yang paling penting, Danny struggling untuk menjaga kewarasannya tetap intact.
Lawan Danny adalah Amy (Ali Wong, membuktikan bahwa dia lebih dari sekedar stand-up comedian), seorang istri dari seniman dan pemilik usaha kecil bernama Koyohaus. Akhir-akhir ini ia berusaha keras untuk terlihat tidak stres padahal banyak hal yang bisa membuatnya meledak setiap saat. Mertuanya selalu ikut campur dalam hubungan rumah tangganya. Suaminya, George Nakai (Joseph Lee), tidak sensitif meskipun kelihatannya dia berusaha untuk mengerti istrinya. Yang paling membuatnya stres adalah tawaran dari seorang businesswoman, Jordan (Maria Bello), untuk mengakuisisi bisnisnya.
Hari itu Danny dan Amy bertemu di parkiran, saling berteriak dan kejar-kejaran yang menghancurkan lebih dari selusin tanaman warga. Insiden ini tidak hanya membuat mereka terobsesi dengan hidup masing-masing tapi (nantinya) juga membuat mereka tersadar bahwa hidup mereka tidak berbeda satu sama lain.
Baca Juga: Review ‘Women Talking’: Ketika Suara Korban Kekerasan Seksual Didengarkan
Jalan Cerita yang Didorong Karakter
Dalam Beef, trauma tidak disebabkan oleh generational trauma (seperti Everything Everywhere All At Once atau Turning Red) tapi diciptakan oleh karakter mereka sendiri.
Bahkan tanpa background story, pertama kali penonton bertemu dengan Danny, kamu akan tahu ada yang tidak beres dengan hidupnya. Ekspresinya lelah. Kesabarannya setipis tisu. Senyum yang ada di wajahnya seperti ada countdown. “I’m so sick of smiling,” kata Danny dalam sebuah episode. Sebagai seorang pekerja low-middle class, Danny harus menggunakan senyumnya untuk bertemu dengan client (atau calon client). Ia harus tersenyum saat menghubungi orang tuanya untuk menjanjikan bahwa ia cukup sukses untuk membelikan mereka tanah. Ia harus tersenyum saat berbicara dengan sepupunya yang membuat usaha orang tuanya bangkrut.
Amy juga melakukan hal yang sama. Sekilas, Amy seperti memiliki segalanya. Suami yang cukup good looking untuk menjadi model. Anak yang menggemaskan dan tertarik dengan bidang seni (seperti halnya Amy dan suaminya). Rumah yang lebih dari comfy. Karir yang baik dan siap untuk meroket. Tapi ternyata di luar itu semua, Amy lelah untuk tersenyum terus. Suaminya adalah seniman gagal. Rumahnya yang comfy menjadi objek hinaan mertuanya. Karirnya tidak membuatnya senang. Amy justru seperti menemukan drive dalam hidup ketika Danny masuk ke dalam hidupnya.
Meskipun pembukaannya adalah insiden road rage, Beef berjalan seperti sebuah kisah cinta. Semakin lama mereka membenci satu sama lain, semakin tersadar bahwa mereka sebenarnya adalah gambar yang berbeda dalam satu koin yang sama. Lee Sung Jin kemudian menggunakan dua orang ini untuk membicarakan banyak hal dan berhasil menyeimbangkan semua topik yang ingin dia bicarakan. Dari sistem kelas, bagaimana rasanya menjadi millenial Asian American sampai portrayal warga Los Angeles.
Baca Juga: 3 Catatan Penting dari Film Kekerasan Seksual ‘Cyber Hell’
Cocok Disantap dalam Sekali Duduk
Sebagai sebuah tontonan panjang, Beef berhasil membuat saya menyantap seluruh 10 episodenya dalam sekali duduk. Secara keseluruhan, Beef adalah sebuah tontonan yang eklektik. Setiap episodenya menawarkan sesuatu yang baru meskipun feelingnya sama: penonton diajak untuk menyaksikan sebuah kecelakaan yang tidak terelakkan. Rasa stresnya hampir sama seperti The Bear meskipun dalam kasus Beef, semua kekacauan yang terjadi disebabkan oleh karakter-karakternya yang seperti sengaja memilih pilihan-pilihan yang buruk.
Dari semua perasaan yang ada, mungkin yang menarik dari Beef adalah bagaimana kreatornya menggambarkan existensial dread yang menghantui karakter utamanya. Di episode tujuh yang berjudul “I Am A Cage”, Amy dan Danny bertemu di sebuah pesta di rumah Amy. Episode ini dari awal sudah mengejutkan mengingat konklusi episode enam yang rasanya seperti sebuah penutup. Di pesta tersebut, Amy dan Danny bertemu setelah beberapa bulan dari kejadian episode enam. Hidup Amy dan George nampak bahagia dan sejahtera, terutama setelah Koyohaus dibeli oleh Jordan. Bahkan karya terbaru George dipuji oleh mertua Amy yang susah memberikan pujian. Di tengah-tengah pesta itu, Danny bertanya apakah dia sudah fulfilled setelah semua ini. Pertanyaan Danny valid. Kemarahan Amy di episode pertama bisa jadi disebabkan atas usaha untuk mengejar kesuksesan ini. Ternyata jawaban Amy tidak seperti yang dia harapkan. Amy malah menjawab, “Everything fades. Nothing lasts.”
Baca Juga: ‘The Woman King’: Angkat Kekerasan Seksual, tapi juga Kaburkan Sejarah
Tema ini kemudian dipertajam oleh Lee Sung Jin di episode sepuluh (“Figures of Light”) yang merupakan episode terbaik dari seluruh episode Beef. Saya tidak akan membocorkan apa yang terjadi di episode sepuluh tapi yang jelas, ketika Amy dan Danny menyadari bahwa mereka lebih mirip dari apa yang mereka kira, Beef menjadi lebih dari sekedar komedi tentang dua orang yang berantem.
Beef dapat disaksikan di Netflix