Horor Berpasangan “Cowok Miskin” yang Dipotret ‘Together’
Belum lama, potongan wawancara Celine Song—sutradara The Materialists (2024)—ramai berseliweran di media sosial. Dalam video itu, sang pewawancara membacakan ulasan bernada komedik ala Letterboxd yang menyebut film itu adalah “propaganda cowok miskin”.
Alih-alih menanggapi dengan gurauan, seperti yang mungkin diharapkan pewawancara, Celine justru memberi jawaban serius dan jernih. Ia menyatakan kekecewaannya pada kecenderungan penonton masa kini yang begitu mudah menjadikan tokoh miskin sebagai “villain,” seolah-olah kemiskinan adalah pilihan personal. Padahal, tegasnya, miskin adalah persoalan struktural—tak ada seorang pun yang bercita-cita hidup dalam keterbatasan. Respons yang lahir dari pertanyaan receh itu justru viral, membuka percakapan lebih luas tentang representasi “pria miskin” di layar.
Konteks itu kembali terngiang ketika menonton Together, horor psikologis yang terasa seperti kawin silang antara rom-com dengan body horror—sub-genre yang belakangan memang sedang bangkit lagi. Ceritanya berpusat pada Millie (Alison Brie), guru sekolah dasar yang baru pindah ke kota pinggiran, dan Tim (Dave Franco), pacarnya yang berusia tiga puluhan, seorang musisi serabutan dengan karier mandek dan tanpa penghasilan tetap. Hubungan mereka sudah hampir satu dekade berjalan, tapi sejak awal film memberi sinyal: kebahagiaan itu sudah mulai retak.
Tim ikut pindah ke kota baru demi pekerjaan Millie. Di permukaan, ini tampak seperti pengorbanan manis seorang pasangan. Tapi film dengan jeli memperlihatkan sisi sebaliknya: Millie yang kini jadi tulang punggung, justru ikut terseret dalam pusaran rasa gagal yang kian menelan Tim. Dari sana, cerita membuka lapisan demi lapisan sebuah hubungan yang bertahan bukan karena cinta yang sehat, melainkan karena ketergantungan dan rasa takut berpisah dari sesuatu yang sudah terlalu familiar.
Baca juga: ‘4 Sehat 5 Sempurna’: Ironi, Memori, dan yang Politis di Atas Piring
Saat Kodependensi Jadi Horor
Dalam film debutnya ini, sutradara sekaligus penulis naskah Michael Shanks memvisualisasikan rapuhnya relasi ini lewat bahasa horor.
Suatu malam, Tim bermimpi didatangi wajah seram ibunya, sebuah adegan singkat yang mengindikasikan adanya sebuah trauma yang belum selesai. Tak lama kemudian, saat berjalan-jalan menelusuri hutan di sekitar rumah baru mereka, Tim dan Millie terperosok ke sebuah gua bawah tanah dan terperangkap di dalamnya selama beberapa saat. Dari sinilah Tim dan Millie mulai mengalami berbagai peristiwa supranatural yang membuat tubuh mereka secara harafiah saling tarik-menarik, bak dua kutub magnet yang menyatu.
Premis “dua orang yang terlalu menyatu” ini bisa dibaca sebagai metafora hubungan beracun.
Tim di satu titik untuk pertama kalinya mengungkapkan pada Millie sebuah detail dari masa kecilnya. Saat kecil, ia terbiasa tidur di kamar yang berbau bangkai tikus, sampai-sampai indra penciumannya sudah tidak bisa mengidentifikasikan bahwa apa yang ia hirup adalah sesuatu yang bau. Cerita itu jadi kunci untuk memahami hubungan ini, bahwa keduanya sudah terlalu lama terbiasa dengan “bau busuk” bernama Tim dan Millie.
Michael mengemas body horror dengan visualisasi yang detail untuk memunculkan efek menjijikan. Unsur body horror ada sebagai metafora hubungan toxic: di mana makin dekat keduanya, makin hilang identitas diri masing-masing. Ada adegan alat kelamin mereka melekat, tangan keduanya yang menempel hingga harus digergaji, sampai bola mata yang saling terikat.
Menariknya, nuansa horor ini tidak pernah lepas dari nuansa humor kering. Pertengkaran Millie dan Tim sering terdengar seperti dialog pasangan dalam film-film komedi romantis. Bedanya, interaksi keduanya kerap diselipi dengan tumpahan darah dan luka terbuka. Alison Brie dan Dave Franco—pasangan suami-istri di dunia nyata—memantik chemistry yang membuat absurditas itu terasa nyata.
Tonton juga: Kenapa Keluarga dalam La Tahzan Harus Dipertahankan?
“Cowok Miskin” dan Beban Perempuan
Kembali ke komentar Celine Song. Momen-momen awal Together seolah menggiring penonton untuk menganggap Tim sebagai penjahatnya, hanya karena ia pengangguran. Namun, seiring film berjalan, ia dibingkai dengan lensa lebih simpatik, sebagai lelaki rapuh yang terbebani trauma, dan akhirnya membuat pasangannya ikut menderita.
Tapi cara film menaruh Millie sebagai pihak yang harus terus jadi pilar penopang relasi, membuka diskusi menarik tentang gender.
Beban finansial sudah jelas ada di pundak Millie. Tapi ternyata ada juga beban emosional yang harus ia pikul, di mana Millie juga harus menopang Tim yang secara mental semakin tenggelam. Dalam banyak hubungan, perempuan nyatanya memang sering diposisikan sebagai “penyelamat emosional” lelaki—ditambah ekspektasi tradisional soal siapa yang seharusnya jadi pencari nafkah. Ketika dua lapis beban itu menumpuk, hasilnya adalah relasi timpang yang menjerat.
Akhir film mempertegas itu. Tim dan Millie benar-benar menyatu, tubuh mereka melebur menjadi satu entitas. Di permukaan, ada nuansa romantis dari konklusi ini, bahwa mereka akhirnya bersama “selamanya.” Tapi rasa ngeri juga tersisa. Penyatuan ini jauh dari kata indah, dan malah, bisa jadi merupakan penjara bagi keduanya. Mereka tetap bersama bukan karena cinta, melainkan karena ketakutan dan kewajiban.
Together dengan cerdas mengubah horor jadi cara untuk memikirkan ulang hubungan modern. Ia bicara soal “cowok miskin” yang sering jadi bahan olok-olok, tapi menyorot lebih dalam: bagaimana struktur sosial dan gender membentuk beban yang akhirnya menghancurkan pasangan. Horor yang Michael tampilkan bukan berbentuk hantu atau monster, tapi dari keintiman yang berubah jadi keterikatan mengerikan.
Kalau The Materialists sempat memantik diskusi tentang representasi pria miskin, Together menawarkannya dalam bentuk yang lebih ekstrem: apa jadinya jika “cowok miskin” itu bukan cuma beban ekonomi, tapi juga menjadi simbol ketergantungan yang menelan identitas pasangannya?
















