Issues Politics & Society Safe Space

Agar Tak Ada Lagi KDRT dan Pembunuhan Anak Jagakarsa

Kita harus berhenti menganggap KDRT sebagai pidana ringan dan urusan privat. Pemahaman yang keliru berpotensi membuat anak korban KDRT semakin rentan.

Avatar
  • December 15, 2023
  • 10 min read
  • 1350 Views
Agar Tak Ada Lagi KDRT dan Pembunuhan Anak Jagakarsa

*Peringatan pemicu: Gambaran kasus kekerasan.

Lagi-lagi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memakan korban anak. Pada (6/12), empat anak berinisial S (4), Ar (3), VA (6), dan As (1) ditemukan tewas berjajar di atas kasur kamar kontrakan di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kepala Satuan (Kasat) Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Bintoro kepada BBC Indonesia mengatakan, jasad keempatnya ditemukan pada pukul 14.50 WIB dan diduga dihabisi oleh ayah kandungnya sendiri, yakni Panca Darmansyah.

 

 

Saat diringkus, kondisi kedua pergelangan tangan pelaku penuh luka dan mengeluarkan darah. Polisi menemukan sebilah pisau di dekat tubuh pelaku. Tak jauh dari Tempat Kejadian Perkara (TKP), pelaku menuliskan pesan dari darah pada sang istri yang bertuliskan “Puas Bunda Tx for All”.

Kata polisi, sebelum keempat anak itu ditemukan meninggal, pelaku sudah dilaporkan atas kasus KDRT terhadap istrinya, (2/12). Akan tetapi polisi belum sempat menangani kasus KDRT itu dengan alasan keempat anaknya tak bisa ditinggal sendirian karena sang ibu sedang dirawat di rumah sakit pascadianiaya oleh suami.

“Saudara P meminta adanya penundaan laporan pemeriksaan karena saat itu ibunya korban ada di rumah sakit dan P beralasan sedang menunggu empat anaknya,” ucap Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Ade Ary Syam Indradi kepada BBC Indonesia.

Baca juga: Nyaring dan Sunyi KDRT: Suramnya Budaya Kepemilikan dalam Keluarga

Anak Korban KDRT

Bukan kali pertama anak jadi korban KDRT oleh orang tua kandungnya sendiri. Sebelumnya pada Mei 2022, di Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, dilansir dari Kompas.id, remaja laki-laki RI (16) dan adik perempuannya, MA (14) jadi korban KDRT. Itu terjadi setelah Eko Soleh (40), ayah keduanya melakukan KDRT pada istrinya sendiri.

Eko sering terdengar tetangga bertengkar hebat dengan istrinya sampai melempar barang dan berteriak. Tak cukup melampiaskan emosinya pada sang istri, Eko menjadikan anak-anaknya sebagai “samsak”. MA yang sempat diwawancarai Warta Ekonomi mengaku ia dan adiknya telah bertahun-tahun mengalami kekerasan dari Eko. Mereka dipukul, disabet dengan palaron, hingga diseret paksa dan jatuh dari tangga.  

Selisih dua bulan dari kasus ini, anak Sekolah Dasar berinisial K (11) di Jatijajar, Cimanggis, Depok dibunuh oleh ayahnya sendiri, Rizky Noviyandi Achmad. Dikutip dari Harian Sindo, kasus pembunuhan ini bermula dari KDRT terhadap istri. Tersulut emosi, pelaku Rizky tak cuma melukai istrinya dengan parang tapi juga anaknya sendiri.

“Untuk anak kepala tangan dan beberapa jari putus, mata, leher, dan banyak darah, diduga meninggal karena kehabisan darah. Istrinya luka di wajah dan badan,” jelas AKBP Yogen Heroes Baruno.

Belum cukup dibuat heboh dengan kasus KDRT berujung pembunuhan pada anak di Depok, masyarakat Indonesia juga sempat digemparkan dengan viralnya video penganiyaan oleh Raden Indrajana Sofiandi (RIS) kepada kedua anak kandungnya berinisial KR dan KA di Apartemen Signature Park, Tebet, Jakarta Selatan pada Desember 2022 lalu.

Dalam video tersebut, tampak RIS memukul kepala anaknya berkali-kali. Adapun di video lain, RIS membanting barang-barang dan ada juga video yang menunjukkan ia memukul badan anaknya. Sebelum video ini viral, KEY ibu dari KR dan RA pernah melaporkan kasus ke Polda Metro Jaya terkait perselisihan dan KDRT pada 2014. Sayangnya, kasus ini berakhir didamaikan.

Pada 23 September 2022, KEY melaporkan lagi kasus KDRT. Namun, lagi-lagi KEY harus menelan pil pahit karena kasusnya tak berkembang. Kuasa hukum KEY, Muhammad Syafri Nur mengatakan pada VOI, mandeknya kasus KDRT yang ia dan anak-anaknya alami inilah yang jadi alasan kliennya menyebarkan video penganiayaan tersebut. Aksi penganiayaan itu diketahui sudah berlangsung selama satu tahun sejak 2021.

“Dia merasa penyelidikan cukup lama, enggak ada follow up. Kemudian terus merasa tidak ditanggapi laporannya, Oleh karena itu tanpa komunikasi lagi, dia (KEY) langsung viral kan, ternyata efektif,” kata Syafri saat dikonfirmasi oleh VOI.

Berkaca pada kasus-kasus ini, kriminolog Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria dalam wawancara bersama MonitorIndonesia.com mengatakan, banyak anak yang menyaksikan KDRT juga merupakan korban. Spesifiknya kata Zakaria, sekitar 70 persen laki-laki yang melakukan kekerasan pada pasangan perempuannya juga menyakiti anaknya.  

Klaim Zakaria ini diperkuat dengan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang mencatat, ada 21.241 anak yang menjadi korban kekerasan sepanjang 2022. Berbagai kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Secara rinci, ada 9.588 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 4.162 anak menjadi korban kekerasan psikis sepanjang tahun lalu.

Kemudian, 3.746 anak menjadi korban kekerasan fisik. Ada pula 1.269 anak yang menjadi korban penelantaran. Anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia sebanyak 219 orang.

Banyaknya anak korban KDRT ini tentu mengkhawatirkan. Sebab, menurut National Health Service Inggris, anak-anak yang menyaksikan atau menjadi KDRT berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan fisik dan mental jangka panjang. Mereka juga berisiko lebih besar untuk melakukan kekerasan dalam hubungan mereka di masa depan.

Baca juga: Ramai-ramai Kawal Kasus Dr. Qory: Benarkah Kesadaran Publik tentang KDRT Meningkat?

Aparat Penegak Hukum yang Tak Sensitif

Rainy Hutabarat, Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut KDRT sebagai silent killer. Kasus KDRT yang berulang dan diabaikan memang selalu disusul dengan konsekuensi besar yang bisa mengancam nyawa. Ia adalah katalis daripada femisida (pembunuhan berbasis gender terhadap istri), penyiksaan, dan pembunuhan anak-anak. Bahkan pemicu istri bunuh-diri atau sekurang-kurangnya gangguan jiwa.

Meski punya konsekuensi besar, kasus kekerasan tidak diimbangi oleh aparat penegak hukum (APH) yang berperspektif korban. Rita Pranawati, pengamat pendidikan dan perlindungan anak yang sebelumnya juga menjabat sebagai Wakil Ketua dan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2017-2022 mengatakan, masih ada anggapan di antara para APH Indonesia bahwa kasus KDRT bukan tindak pidana berat.

“Ini (KDRT) masih dianggap cuma cekcok antara suami istri padahal ini bisa membahayakan anak. Makanya menurut saya, pilihan untuk mengamankan anak-anak, setidaknya memastikan anak-anak aman sejak masuknya laporan tidak terpikirkan,” jelas Rita pada Magdalene, Selasa (12/12) lalu.

Hal yang sama juga diutarakan Rainy. Dari pemantauan Komnas Perempuan ditemukan, pengabaian terhadap perlindungan bagi perempuan korban dan anak, masih kerap dilakukan APH. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023 sendiri mencatat, sebanyak 625 kasus KDRT yang dilaporkan ke pengada layanan, dihentikan atau gugatannya ditarik kembali oleh korban atau keluarganya dan pelaku tak sampai dipidana. Sebanyak 312 kasus diselesaikan secara non-hukum, bisa berupa mekanisme kekeluargaan, ganti rugi, atau secara adat.

“Ada anggapan APH, kasus KDRT lebih merupakan persoalan privat. Sehingga, ditemukan APH juga menyarankan penyelesaian secara kekeluargaan atau jalan damai antara pelaku dengan korban tanpa memerhatikan hak korban atas pemulihan dan memastikan ketidakberulangan,” jelasnya pada Magdalene pada (13/12) lalu.

Tidak ada atau minimnya perspektif APH terhadap KDRT ini sangat disayangkan Rainy. Sebab dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) jelas termaktub pasal tentang kewajiban polisi memberikan perlindungan sementara atau rumah aman. Pada Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU PKDRT dinyatakan, dalam waktu satu kali dua puluh empat jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. Perlindungan sementara yang dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama tujuh hari sejak korban diterima atau ditangani.

Rainy lalu menegaskan pasal tersebut tak hanya berlaku pada istri, tetapi juga anak-anak. Ini lantaran ruang lingkup UU PKDRT meliputi individu yang tinggal dalam satu institusi keluarga, termasuk di dalamnya anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga hingga pekerja rumah tangga (PRT) yang tinggal di keluarga bersangkutan.

“Karena itu, semestinya APH wajib memastikan keamanan anak-anak dari tindak KDRT. Maka jelas pengabaian APH ini adalah tindakan penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi yang bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT),” imbuhnya.

Menambahkan pernyataan Rainy, Jasra Putra sebagai Wakil Ketua KPAI mengatakan sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, bila menemukan anak dalam keluarga berkonflik, maka anak tersebut masuk kategori Perlindungan Khusus Anak. APH menurut Jasra penting memahami, dalam KDRT, korban anak-anak juga harus dipikirkan. Situasi mereka tersandera, sehingga harusnya dikeluarkan atau dijauhkan dari konflik.

“Maka sejauh apa pemahaman masyarakat dan petugas, dalam soal memastikan anak penting untuk dihindarkan sementara dari konflik orang tuanya. Apakah masyarakat dan petugas mengerti mekanisme merujuk anak-anak yang kehilangan pengasuhan orang tua berkonflik?” ungkapnya.

Maka dari itu agar APH lebih memahami dan melakukan penanganan kasus-kasus KDRT secara optimal Raini berpendapat kita perlu terus mendorong peningkatan kapasitas para APH seperti memberikan pelatihan sensitif gender misalnya. Di sisi lain, secara institusional kepolisian, bidang Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), perlu diperkuat menjadi Direktorat PPA dengan alokasi sumber daya yang memadai.

Baca juga: KDRT Ferry Irawan, Kesalahan Tafsir Alquran, hingga Pendidikan Gender untuk Lelaki

Terbatasnya Ruman Aman dan RUU Pengasuhan Anak

Rumah aman merupakan kebutuhan paling penting dan mendesak bagi anak yang menjadi korban kekerasan, terlebih jika pelakunya berasal dari lingkungan keluarga. Kekerasan yang bakal terulang kembali bahkan lebih besar, bisa membuat anak jadi semakin rentan jika tidak langsung dipisahkan dari pelaku.

Sesuai dengan Pasal 29 UU PKDRT, permohonan untuk memeroleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani.

Lalu pada Pasal 29 dijelaskan, permohonan ini bisa disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera Pengadilan Negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut.

Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban. Pada kasus ini, APH bisa mengajukan langsung.

Namun walau mekanisme pengajuan rumah aman sudah termaktub dalam UU PKDRT, pada kenyataannya rumah aman masih belum dijadikan solusi bagi anak korban KDRT. Selain karena masih minimnya perspektif APH, Rainy mengatakan jumlah rumah aman di Indonesia masih sangat terbatas.

“Jumlah rumah aman belum berbanding lurus dengan jumlah kasus dan korban yang membutuhkannya, sebagaimana juga jumlah pengada layanan yang dikelola pemerintah seperti Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak (UPTD PPA), maupun yang dikelola masyarakat,” jelasnya.

Rumah aman juga tambah Rainy masih sulit diakses. Ini lantaran rumah aman masih terpusat di Pulau Jawa khususnya di kota-kota besar, di wilayah kepulauan dan 3T (terluar, terpencil, dan termiskin). Karena itu, penambahan jumlah dan meningkatkan aksesibilitas menjadi sangat penting.

Di sisi lain, imbuh Rita penambahan jumlah rumah aman juga harus dibarengi dengan kualitasnya. Ia mengatakan salah satu kendala besar dari rumah aman yang dikelola oleh pemerintah saat ini adalah tidak dibuka selama 24 jam. Sebaliknya, rumah aman ini dibuka mengikuti jam kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini menurut Rita justru membuat korban semakin rentan.

Setelah komponen kuantitas dan kualitas didorong, sosialisasi rumah aman kepada perempuan harus didorong kuat. Rainy mengungkapkan masih masih banyak perempuan yang belum mengetahui hak-hak mereka yang dijamin oleh negara dalam penanganan kasus maupun pemulihan dari dampak KDRT. Ketika mereka sudah mengetahui hak-haknya dengan baik maka secara otomatis jika kekerasan sudah terjadi mereka dengan sadar bisa memilih opsi untuk melindungi diri dan anak-anaknya di rumah aman.

Tak kalah pentingnya, dalam mencegah anak-anak terekspos oleh kekerasan dari anggota keluarganya sendiri, ada dua hal kita perlu mendorong agar RUU Pengasuhan Anak segera disahkan. Jasra mengatakan meski sudah ada UU Perlindungan Anak, namun tanpa UU Pengasuhan Anak, perlindungan anak secara menyeluruh belum akan tercukupi dengan baik.

“Selama ini kita baru mengatur pengasuhan alternatif, tapi untuk pengasuhan di dalam keluarga, kita belum memiliki instrumen yang cukup, agar sebelum anak-anak mendapatkan kekerasan, kita sudah dapat mengintervensi dalam keluarga,” katanya.

Rita menjelaskan, RUU Pengasuhan mencakup pengasuhan terhadap anak korban konflik, termasuk KDRT. Ia menyebutnya sebagai pengasuhan alternatif. Dalam RUU Pengasuhan, nantinya memuat pengasuhan di luar keluarga inti (ibu dan ayah kandung) berbasis keluarga.

“Nanti anak misalnya bisa diasuh oleh kerabat atau saudara setelah sebelumnya dicatatkan atau bisa di foster care,” jelasnya.

Malangnya, RUU Pengasuhan Anak telah mangkrak selama dua puluh tahun. Diperjuangkan lintas ormas, lembaga anak nasional dan internasional, lembaga masyarakat, tetapi RUU ini belum menjadi perhatian. Sampai saat ini pun pemerintah belum “menengok” sama sekali RUU ini. Keengganan pemerintah untuk segera membahas RUU ini pun Rita datang dari pemahaman dan narasi usang yang sama. Bahwa KDRT dianggap urusan privat atau urusan keluarga lain sehingga tidak boleh diintervensi. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.