Madge PCR

‘Uxoricide’: Nekat Membunuh Karena Asmara

Kasus pembunuhan terhadap WS dan EK bukan sekadar dipengaruhi api cemburu. Ada permasalahan psikologis dan trauma masa kecil di baliknya.

Avatar
  • May 20, 2022
  • 5 min read
  • 831 Views
‘Uxoricide’: Nekat Membunuh Karena Asmara

Nyawa perempuan kembali jadi korban akibat problem asmara. WS, perempuan asal Padalarang, Jawa Barat, dibunuh M, mantan pacarnya pada (8/5). Aksi itu diduga lantaran pelaku sakit hati  setelah korban menolak ajakan menikah, dan justru mengakhiri hubungan.

Melansir Kompas.com, M sering berkata kasar dan melakukan kekerasan dalam pacaran terhadap WS. Perilaku itu membuat perempuan 31 tahun tersebut enggan melanjutkan relasinya. Bahkan, M sempat meneror kediaman WS sebelum melayangkan aksinya. Ia mengitari dan menggedor rumah mantan pacarnya selama tiga hari berturut-turut, terhitung sejak malam takbiran. Tidak hanya itu, M juga mengancam akan membunuh korban dan keluarganya.

 

 

Akhirnya, ia nekat membunuh WS ketika orang tuanya sedang berada di kebun. Kemudian merenggut nyawanya sendiri, empat hari setelahnya.

M bukan satu-satunya pelaku tindakan kejahatan, yang menumpahkan emosinya pada seseorang yang dicintai. Peristiwa serupa dilakukan laki-laki berinisial R, asal Sukabumi. Ia mengakhiri nyawa EK, mantan pacarnya, pada (13/5) karena cemburu. Penyebabnya, perempuan itu memutuskan rujuk dengan mantan suaminya.

Berdasarkan kamus Merriam-Webster, tindakan yang dilakukan M dan R termasuk uxoricide. Ini didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan, yang merupakan pasangannya, baik istri maupun pacar.

Nahasnya, tidak sedikit perempuan yang kehilangan nyawa, ketika terlibat dalam relasi romantis. Pada 2016, World Health Organization (WHO) mencatat, 55 persen perempuan di Asia Tenggara meninggal karena dibunuh pasangannya.

Namun, apa yang sebenarnya mendorong laki-laki mengorbankan nyawa pasangannya?

Baca Juga: Femisida: Perempuan-perempuan yang Dibunuh Karena Gendernya

Mengenal Uxoricide

Merasa diasingkan setelah diputuskan, merupakan salah satu faktor penyebab laki-laki melakukan pembunuhan terhadap pasangannya. Hal ini diungkapkan akademisi psikologis asal Kanada, Martin Daly dan Margo Wilson.

Dalam riset berjudul Evolutionary Social Psychology and Family Homicide (1988), keduanya menjelaskan, pembunuhan itu adalah cara untuk menghindari rusaknya reputasi, karena “kalah” dalam menjadikan perempuan tersebut sebagai pasangannya.

Alhasil, tidak ada kesempatan bagi laki-laki lain untuk terlibat dalam relasi romantis, dengan mantan pacarnya. Terutama jika perempuan memiliki anak dari hubungan sebelumnya, membuat dirinya lebih berisiko menjadi korban pembunuhan, seperti yang terjadi pada WS.

M tidak terima ibu satu anak itu menolak keinginannya untuk menikah, ditambah keinginannya untuk memutuskan hubungan.

Sementara, EK memutuskan R setelah pacaran empat bulan, dan merasa tidak cocok dengan laki-laki tersebut. Perempuan 35 tahun itu mengakhiri hubungan mereka pada Ramadan lalu, sebelum kembali dengan mantan suaminya.

“Mungkin pelaku enggak terima dan dendam,” ujar kakak kandung EK, dikutip dari Detik.com.

Kejahatan yang juga disebut sebagai abandonment homicide ini, umumnya dilakukan laki-laki yang memiliki trauma dan ditelantarkan semasa kecil. Ada kemungkinan, pelaku adalah korban kekerasan di lingkup keluarga. Tanpa disadari ia mengadaptasi trauma tersebut ketika dewasa, sebagai mekanisme pertahanan diri.

Selain faktor trauma dan penelantaran, dalam Personality Dynamics of Intimate Abusiveness (2002), akademisi Donald Dutton menuturkan, dorongan tersebut juga muncul karena rendahnya serotonin dan kerusakan korteks frontal. 

Akibatnya, seseorang memiliki kontrol impuls yang buruk, sehingga tidak dapat menghindari perilaku yang membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain.

Karena itu, tidak menutup kemungkinan apabila pelaku memutuskan mengakhiri hidupnya, setelah membunuh pasangannya. Keputusan itu dianggap jalan pintas. Bukan karena merasa bersalah, melainkan tidak berdaya dan ketergantungan pada pasangannya.

Sama seperti yang dilakukan M. Kabid Humas Polda Jabar Kombes Ibrahim Tompo mengatakan kepada Detik.com, kemungkinan tindakannya itu dikarenakan M memiliki tekanan psikis. Pasalnya, ia menjadi target pencarian polisi dan warga, untuk pertanggungjawaban perbuatannya.

Baca Juga: Mengenal Batasan antara Cinta dan Kekerasan

Bantuan Apa yang Bisa Diberikan?

Ketika M terus meneror kediaman WS, pihak keluarga telah berusaha melaporkan ke Polsek Padalarang. Namun, laporan tersebut tidak ditanggapi kepolisian. Penjelasannya tidak cukup meyakinkan polisi, kata keluarga korban.

“Di polsek enggak ditanggapi. Kata petugas polsek harus ada kerugian dulu senilai Rp2 juta,” tutur Ujang Mimin, ayah WS, mengutip dari Kompas.com.

Namun, menurut kepolisian, mereka telah merespons kasus tersebut. Menurut Kabid Humas Polda Jabar Kombes Ibrahim Tompo, perkara itu perlu dipertimbangkan karena termasuk masalah keluarga.

Sebagai warga negara, WS dan keluarganya berhak mendapatkan perlindungan dari kepolisian. Bahkan, hal tersebut tertulis dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satunya disebutkan, tugas pokok mereka adalah memelihara keamanan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Namun, dalam kasus WS, polisi absen dalam memberikan fungsi tersebut. Karena itu, sebagai masyarakat, kita memiliki peran dalam mencegah terjadinya uxoricide berikutnya. Meskipun kerap kali, ada perasaan tidak ingin atau berhak ikut campur.

Misalnya dengan menyuarakan pentingnya relasi yang sehat, dan saling menghargai pasangan. Mengutip Centers for Disease Control and Prevention (CDC), hal itu akan mencegah dampak berbahaya dan jangka panjang dari kekerasan yang dilakukan pasangan.

Pasalnya, sebelum seseorang melakukan aksi pembunuhan, kemungkinan ia berulang kali bertindak kekerasan terhadap pasangannya. Melansir BBC UK, kriminolog Dr Jane Monckton Smith menemukan, ada delapan pola yang dilakukan dalam 372 pembunuhan.

Baca Juga: Cemburu: Kapan Ini Wajar, Kapan Jadi Tak Sehat?

Pertama, pelaku pernah menguntit atau melecehkan sebelum hubungan. Kemudian, hubungan tersebut cepat berubah menjadi serius, dan didominasi oleh kontrol koersif. Pelaku juga akan mengancam dalam mengendalikan pasangannya, misalnya jika diminta putus.

Lalu, intensitas mengontrol itu meningkat, seperti menguntit dan mengancam akan bunuh diri. Setelah itu, pelaku mengubah cara berpikir, ia akan melanjutkan aksinya lewat balas dendam atau tindakan pembunuhan. Barulah pelaku merencanakan perbuatannya, dengan menyiapkan alat-alat, sebelum membunuh pasangan dan menyakiti orang-orang terdekatnya.

Dari kasus WS, EK, dan sederet pembunuhan terhadap pasangan lainnya, adalah pengingat bagi kita untuk memberikan dukungan terhadap orang-orang di sekitar. Menciptakan ruang aman sebagai pendengar, misalnya, sekaligus memberikan kesempatan untuk melepaskan beban.

Dengan demikian, mereka tidak merasa sendirian ketika mengatasi permasalahan dalam hubungannya. Pun sebagai masyarakat, memberikan bahu adalah hal sederhana yang seharusnya dapat dilakukan. Agar mereka dapat menghindari orang-orang yang mengancam keselamatannya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *