#VampirData: AI Perburuk Krisis Iklim, Berdampak Politis
Teknologi AI menawarkan inovasi namun berkontribusi signifikan terhadap krisis iklim dan memiliki dampak politis yang besar.
Artikel ini adalah bagian ketiga dari seri terjemahan isi siniar teknologi sayap kiri, Tech Won’t Save Us, oleh jurnalis teknologi asal Kanada, Paris Marx. Seri khusus empat bagian ini berjudul “Vampir Data”.
Selama ini, perusahaan teknologi berusaha menampilkan citra sebagai entitas yang ramah lingkungan. Dalam narasi yang mereka bangun, teknologi digital digambarkan sebagai teknologi ramah lingkungan—sebuah alternatif berkelanjutan dibandingkan dengan industrialisasi yang kotor dan penuh polusi.
Narasi tersebut lebih merupakan kampanye pemasaran daripada cerminan realitas, karena internet dan produk digital tidak tercipta begitu saja; seluruh teknologi yang mendasarinya membawa dampak material yang signifikan.
Hal ini diperparah dengan kemunculan AI generatif, yang diakui oleh Microsoft merupakan salah satu factor utama target karbon negatif 2030 mereka mungkin tidak akan tercapai.
“Target kami adalah menjadi karbon negatif pada tahun 2030. Namun, itu ditetapkan sebelum ledakan AI terjadi. Dalam banyak hal, seperti yang saya katakan di Microsoft, ‘bulan’ telah bergeser, dan jaraknya kini lima kali lebih jauh dibandingkan tahun 2020. Dan itu hanya untuk kebutuhan listrik guna mendukung ekspansi AI kami saja,” kata Brad Smith, Presiden Microsoft, seperti dikutip The Verge.
Baca juga: AI Semakin Populer di Pilpres 2024, Apa Dampaknya di Masa Depan?
Lonjakan Emisi Karbon Raksasa Teknologi
Antara tahun 2020 dan 2023, emisi Microsoft melonjak sebesar 30 persen, sebagian besar karena pusat data yang sudah dan akan terus dibangun hingga 2024. Google juga tidak lebih baik. Meski sudah berjanji untuk mencapai karbon netral, raksasa teknologi itu mengumumkan awal tahun ini bahwa emisi perusahaan telah meningkat 48 persen hanya dalam waktu lima tahun akibat adanya pusat data.
September lalu, The Guardian mengecek angka emisi perusahaan teknologi besar dan menemukan bahwa emisi kolektif dari pusat data yang dikendalikan oleh Microsoft, Google, Meta, dan Apple 662 persen lebih tinggi dari yang diklaim oleh raksasa-raksasa tersebut. Jika pusat data Amazon dimasukkan, gabungan emisi dari kelima fasilitas perusahaan tersebut akan menjadikan mereka negara dengan emisi tertinggi ke-33 di dunia, tepat di atas Aljazair. Dan itu hanya untuk pusat data mereka yang ada hingga tahun 2023.
Parahnya lagi, perusahaan-perusahaan besar ini juga dilaporkan membeli sertifikat carbon offset, yakni membeli sejumlah energi terbarukan dan sebagai gantinya, mereka dapat mengeluarkan emisi karbon sesuka hati.
“Kita memang membutuhkan lebih banyak energi di dunia ini dibandingkan yang saya perkirakan sebelumnya, dan saya rasa kita masih belum sepenuhnya menyadari kebutuhan energi dari teknologi ini,” ujar Sam Altman, CEO dari OpenAI, pengembang ChatGPT, kepada The Verge.
AI mengikis kekuasaan sebagian besar masyarakat atas kehidupan mereka, merampas otonomi mereka dengan mengalihkan keputusan ke teknologi dan sekelompok kecil individu yang mengendalikannya.
Dalam wawancara tersebut, Altman ditantang untuk menjelaskan dampak iklim dari visi AI generatifnya. Ia terus terang mengatakan, masa depan yang ingin ia wujudkan adalah masa depan yang memerlukan jumlah energi yang bahkan sulit untuk dibayangkan. Semua kebutuhan energi itu harus tersedia dalam waktu sangat cepat, di saat kita semua sedang berusaha untuk menghentikan penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.
Altman berdalih bahwa kita dapat memanfaatkan energi nuklir atau sumber energi bersih lainnya. Ia bahkan berpendapat bahwa kebutuhan energi AI ini justru dapat mendorong adopsi energi bersih, yang menurutnya adalah “kabar baik”. Cara Altman menyampaikan hal ini mencerminkan pola pikir khas para taipan teknologi. Meski ia menyebutnya sebagai “kabar baik”, sulit untuk melihatnya demikian.
Pada dasarnya, ia mengakui bahwa pemanasan global lebih dari 2 derajat Celcius akan terjadi karena kegiatan industri, termasuk industri AI miliknya. Ia mengatakan hal itu akan terjadi, kecuali terobosan teknologi dapat hadir tepat waktu.
Baca juga: Dear Mahasiswa yang Hobi Pakai AI, Ada Risiko dan Privasi yang Jadi Taruhan
AI Kikis Otonomi Masyarakat
Selain dampak iklim, AI juga memberikan dampak politis yang amat buruk. Menurut Ali Alkhatib, Kepala Pusat Etika Data Terapan di University of San Francisco, proyek tekno-politik ini merampas hak pengambilan keputusan-keputusan penting dari masyarakat dan “meletakkan itu semua ke dalam lokus kekuasaan yang bersifat otomatis—mengalokasikan kekuasaan dari sistem kolektif dan sosial ke sistem teknologi atau teknokratik.”
Aspek politis AI memang jarang didiskusikan. Bagaimana AI digunakan untuk memperkuat otoritas raksasa teknologi dengan cara yang lebih sulit diidentifikasi dibandingkan dengan, katakanlah, tindakan otoriter yang dilakukan seorang politisi.
AI diam-diam mengikis kekuasaan sebagian besar masyarakat atas kendali terhadap kehidupan mereka sendiri, merampas otonomi mereka dengan mengalihkan keputusan ke teknologi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan sekelompok kecil individu yang mengendalikannya.
“AI adalah contoh spesifik dari fenomena teknologi yang lebih luas, yang mengklaim dapat menyelesaikan berbagai hal secara teknis—dari masalah-masalah sosial yang rumit hingga krisis iklim,” kata Dan McQuillan, dosen di Goldsmiths University di Inggris dan penulis Resisting AI.
Menurut McQuillan, AI bukan sekadar teknologi digital yang ditopang algoritme kompleks dan infrastruktur komputasi material. Ini adalah juga sebuah teknologi sosial yang digunakan pihak berkuasa untuk mengklaim bahwa mereka bisa mengatasi masalah-masalah seperti kesehatan, akses Pendidikan, kemiskinan, kesenjangan, ikris iklim, dan sebagainya, tanpa harus mengambil langkah politik sulit yang sungguh-sungguh diperlukan.
AI memungkinkan kelompok elite menghindari dari kewajiban untuk mengambil langkah konkret yang dapat mengikis kekuasaan mereka, dan tentunya, mengurangi kekayaan mereka. Seperti kebanyakan teknologi digital lainnya, AI sering ditampilkan sebagai solusi apolitis: AI tidak menuntut pengorbanan dan tidak menantang hierarki dalam masyarakat kapitalis—justru AI semakin memperkuatnya.
Ketika dampak negatif ini dibahas, diskusi biasanya beralih ke bagaimana meregulasi AI. Namun, pembicaraan mengenai regulasi sering kali didominasi oleh tokoh-tokoh industri dan kepentingan mereka sendiri.
Baca juga: Kerentanan Anak dari Ancaman Pelecehan Seksual Lewat Kecanggihan AI
Teknologi Menyandera Kita
Gagasan bahwa teknologi ini sebaiknya tidak usah diluncurkan sama sekali atau bahwa beberapa penggunaannya perlu dilarang menjadi sulit diterima. Hal ini disebabkan oleh narasi yang berkembang tentang teknologi digital, bahwa begitu teknologi tersebut hadir di dunia, ia diangggap tidak lagi dapat dikendalikan.
Ini sebuah perspektif yang pesimis yang dikembangkan oleh industri untuk menutup diskusi publik dan menghambat partisipasi demokratis dalam menentukan masa depan teknologi kolektif kita.
“Jika sistemnya sedari awal sudah dirancang untuk merusak, maka tidak ada versi dari sistem tersebut yang bisa dijadikan lebih baik untuk manusia,” ujar Ali Alkhatib dari University of San Francisco.
“Regulasi yang hanya membuat tindakan merugikan sedikit lebih mahal tidak serta merta memperbaiki atau menghambat perusahaan teknologi untuk mencari cara mengamortisasi biaya tersebut, atau memasukkannya ke dalam model bisnis mereka.”
Jika sudah begini, kita akan tersandera dalam visi masa depan yang dirancang oleh segelintir miliarder teknologi. Seperti yang dikatakan oleh Sam Altman, masa depan di mana AI generatif terintegrasi ke seluruh aspek masiarakat—terlepas dari apakah AI tersebut benar-benar berdampak positif—akan membutuhkan energi dalam jumlah yang luar biasa besar.
Tidak heran jika masyarakat melawan di tingkat lokal. Namun, menghentikan ledakan pembangunan pusat data dan mimpi dunia baru para miliarder teknologi memerlukan upaya lebih keras dan terorganisasi.
Baca bagian pertama dan kedua seri Vampir Data ini.
Antonia Timmerman adalah jurnalis teknologi dan bisnis di Jakarta.