Bagaimana Teknologi Populerkan Veganisme dan Gaya Hidup Ramah Iklim
Komunitas vegan Indonesia terus naik jumlahnya. Pertanyaannya, apakah makanan berbasis nabati mampu mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh kita?
Hari-hari ini, semakin banyak penduduk yang beralih status menjadi vegan. Mereka ini hanya mengonsumsi makanan berbasis nabati, alih-alih daging hewani beserta turunannya, termasuk produk berbasis susu.
Komunitas vegan Indonesia yang bergabung dalam Vegan Society of Indonesia (VSI) mencatat, penganut veganisme di tanah air mendekati 10 persen dari total penduduk atau sekitar 27 juta orang pada 2021.
Jumlah restoran vegan di Indonesia juga semakin banyak: Mulai sekitar 50 restoran di tahun 1998, menjadi lebih dari 1000 restoran pada 2017. Sementara, menurut Unilever Food Solution (UFS), jumlah konsumsi akan pangan nabati meningkat, khususnya di tengah pandemi COVID-19. Sebab, melalui surveinya, UFS menemukan 62 persen masyarakat Indonesia kian aktif membeli sayur dan buah sebagai pilihan diet mereka.
Namun, pertanyaan yang kerap muncul terkait tren ini adalah, apakah makanan berbasis nabati mampu mencukupi kebutuhan protein, asam amino dan nutrisi lain yang penting untuk tubuh kita?
Untungnya, inovasi teknologi dapat menjawab keraguan ini. Teknologi memungkinkan kita untuk mempertahankan – bahkan meningkatkan – kandungan nutrisi yang ada dalam makanan berbasis nabati, untuk memperkuat motivasi orang-orang beralih ke pola makan yang minim produk hewani.
Baca juga: Lawan Krisis Iklim: Tokoh Fiksi Ramah Lingkungan Perlu Diperbanyak
Pentingnya Mempertahankan Protein
Produk pangan yang bersumber dari hewani, seperti daging, susu, dan telur dikenal memiliki kandungan protein yang lengkap, atau mencukupi kebutuhan sembilan asam amino tubuh manusia setiap hari.
Protein menjadi kebutuhan nutrisi utama karena memasok sekitar 15-20 persen pasokan energi untuk tubuh kita.
Sedangkan pada pangan berbasis nabati dianggap tidak memenuhi kebutuhan tersebut. Hasil riset melalui penelusuran literatur melaporkan asupan protein yang tidak mencukupi dari diet vegetarian dapat terjadi jika diet tidak dikombinasi dengan pangan nabati kaya protein, seperti kacang-kacangan dan biji-bijian.
Inilah yang menjadi tantangan. Meski dilengkapi protein, produk berbasis nabati masih belum memiliki asupan yang setara dibanding produk berbasis nabati. Selain itu, proses produksi produk pangan plant-based malah sering menyebabkan perubahan struktur (denaturasi) protein, dan perubahan fungsi protein (agregasi), dan juga bisa berujung pada penurunan kemampuannya memasok nutrisi.
Upaya mengatasi persoalan ini sangat diperlukan untuk memperkuat strategi produksi protein agar kebutuhan nutrisi bagi 9 miliar orang dapat terpenuhi pada 2050. Strategi ini pun harus dilaksanakan dengan cara yang ramah lingkungan dan terjangkau bagi kelompok-kelompok rentan.
Baca juga: ‘Eco-Anxiety’, Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan Mental
Teknologi Kini dan Masa Depan
Sejumlah teknologi telah dikembangkan untuk mempertahankan kandungan protein dan fungsionalitas nutrisi dari produk pangan berbasis nabati. Misalnya, teknologi kering beku (freeze-drying) telah digunakan dalam skala industri.
Teknologi yang lain misalnya pemrosesan bertekanan tinggi atau high-pressure processing (HPP) untuk produk pangan organik. Teknologi ini dapat meningkatkan keamanan pangan dengan mematikan patogen sekaligus mempertahankan masa simpannya. Namun, aplikasi HPP perlu dipelajari agar tidak merusak protein-protein nabati.
Adapun kedua teknologi ini hanya diterapkan untuk bahan pangan berbasis nabati. Masih ada tantangan untuk mengolah bahan tersebut menjadi makanan yang lezat dan bernutrisi. Misalnya, teknologi untuk perubahan struktur protein nabati menjadi serat dan gel. Harapannya, tekstur makanan berbasis nabati bisa diubah hingga menyerupai daging.
Baca juga: 5 Cara Bantu Selesaikan Masalah Krisis Iklim dari Rumah
Teknologi modifikasi struktur protein nabati tersebut ke depannya bakal sering dikombinasi dengan teknologi 3D food printing. Saat ini, usaha rintisan yang mengembangkan dan menggunakan teknologi mulai bermunculan. Contohnya adalah teknologi 3D printing untuk memproduksi burger berbasis nabati yang digagas oleh perusahaan rintisan asal Israel, SavorEat.
Teknologi pencetakan makanan ini memungkinkan pelanggan untuk memilih berapa banyak lemak dan protein yang mereka inginkan di setiap burger nabati (plant-based burger). Proses memasak membutuhkan waktu sekitar 6 menit.
Teknik 3D food printing memungkinkan kita untuk mempertahankan kandungan protein dan senyawa fungsional alami lain dalam makanan berbasis nabati. Teknik ini pun diprediksi akan menjadi masa depan kemajuan pangan di dunia. Sebab, selain hemat waktu, teknologi 3D food printing juga menawarkan kemudahan untuk menyesuaikan bahan dan nutrisi dalam pangan, meminimalkan bahan tambahan kimia dalam pangan, dan mendorong aspek keberlanjutan (sustainability) dalam sistem pangan.
Terobosan mengenai plant-based meat ini mulai merebak ke dalam pasar modern dan telah menjadi segmen pasar yang baru. Seiring waktu, inovasi serta solusi bisa jadi akan semakin efektif, dan intensitasnya bisa terus meningkat.
Tren ini bisa menjadi peluang besar serta kesempatan yang baik bagi para ahli pangan – khususnya di Indonesia – untuk ikut serta dalam berkontribusi dan berkarya untuk kemajuan dan masa depan dunia pangan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.