Issues Politics & Society

Setop Hina Bekal Mi Instan dan Nasi, Ini Bukan Cuma Soal Gizi

Tak cuma soal gizi dan kemiskinan, perbincangan tentang bekal mi instan dan nasi jauh lebih kompleks.

Avatar
  • June 9, 2023
  • 8 min read
  • 1555 Views
Setop Hina Bekal Mi Instan dan Nasi, Ini Bukan Cuma Soal Gizi

Belum lama ini, warganet di Twitter mengomentari bekal mi instan goreng dan nasi milik seorang anak sekolah. “Serius kalo ada org tua yang ngebekelin anaknya begini, pengetahuan tentang gizi anak & pertumbuhan ngerti kagak, sih?” sabda warganet itu.

Cuitan itu membuat publik terbelah. Yang pro bilang, kemiskinan struktural jadi biang kerok kenapa sampai hari ini masih ada orang tua yang membekali anaknya mi instan dan nasi. Sebaliknya, yang kontra berdalih bekal macam itu adalah bagian tradisi orang Indonesia.

 

 

Pandangan berbeda yang berujung debat panas berhari-hari itu membuatku tertarik mendalaminya. Dengan riset, mewawancarai beberapa teman, dan melakukan refleksi pengalaman pribadi, aku akhirnya lebih memahami nuansa di balik perdebatan tersebut.

Baca Juga: Kenapa Stunting Adalah Isu Gender?

Bekal Mi Instan dan Nasi yang Dikaitkan dengan Kemiskinan

Mari memulai perbincangan ini dengan argumen klasik. Bekal mi instan dan nasi adalah cerminan kemiskinan struktural yang masih menghantui banyak keluarga di Indonesia. Kemiskinan struktural enggak cuma soal uang, tapi juga situasi kompleks yang bikin orang enggak bisa mentas dari kemiskinan, ujar Chriswardani Suryawati dalan tulisanya Memahami Kemiskinan secara Multidimensional (2005).

Kompleksitas itu terkait dengan akses terhadap kebutuhan pokok makanan bergizi seimbang, pekerjaan dan sanitasi yang layak, sampai pemahaman gizi orang tua. Semuanya terhubung satu sama lain dan harus terpenuhi. Sayangnya, pada kelompok masyarakat miskin, kondisi ini tak selalu terpenuhi. Ini termasuk dalam persoalan gizi di mana beras dan mi instan relatif mudah ditemui dan terjangkau.

Enggak heran mi instan dan beras jadi dua di antara beberapa komoditas pangan penyumbang kemiskinan di Indonesia. Ini tercermin dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 yang dikutip CNBC Indonesia. Menurut BPS, komoditas pangan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan September 2022, adalah beras 18,98 persen di kota dan 22,96 persen di desa. Sementara, mi instan dalam satu dekade terakhir berkisar di angka 2 persen (bahkan di data terbaru mencapai angka 3 persen).

Baca Juga: Hai Penyuka Pop Mie Sedunia, Ini Sejarah Bisnis ‘Cup Noodles’ Meledak

Bekal Mi Instan dan Nasi Bukan Ukuran Kurang Melek Gizi

Apakah ini secara otomatis menyimpulkan bekal mi instan dan nasi pasti hanya dimakan oleh kelompok masyarakat miskin yang dianggap enggak melek gizi? Jawabannya enggak.

Dalam survei Indonesia Consumer Survey 2017 yang dirilis perusahaan jasa keuangan Credit Suisse, mayoritas penikmat mi instan justru berasal dari kelompok ekonomi menengah. Mereka adalah kelompok masyarakat yang punya kisaran pendapatan Rp5-7 juta per bulan.

Mi instan bahkan mengalahkan konsumsi komoditas pangan lain, seperti air mineral kemasan, rokok, produk susu dan minuman berkarbonasi pada kelompok pendapatan tersebut. Menguatkan data 2017 ini, BPS pada 2021 meliris data yang menunjukkan semakin sejahtera seseorang, semakin tinggi konsumsi mi instan mereka.

Data ini secara spesifik diolah oleh Katadata (2022) yang memperlihatkan masyarakat di kelompok pengeluaran tertinggi makan mi instan kira-kira 3,5 porsi lebih banyak, dari mereka yang masuk kelompok pengeluaran terbawah.

BPS juga menunjukkan, masyarakat di daerah lebih sejahtera juga lebih sering makan mi instan dibandingkan mereka di daerah kurang sejahtera. Warga Lebak, Banten, misalnya makan kira-kira 2,3 porsi mi instan lebih banyak dari warga Nias, Sumatera Utara. Pengeluaran mereka juga lebih tinggi 29,4 persen menandai mereka lebih sejahtera.

Dengan perolehan data ini, aku kemudian mengajak ngobrol teman-teman yang datang dari keluarga kelas menengah. Putian mengatakan, saat masih duduk di bangku sekolah, suka sekali dibawakan bekal mi instan dan nasi. Ia bahkan sudah menganggap mi instan dan nasi sebagai kombinasi yang enggak bisa dipisahkan, karena mi buat dirinya hanya semacam lauk saja.

“Aku tuh dari dulu mikirnya mi semacam lauk, jadi kalau makan mi tanpa nasi itu lebih ke kayak nyemil enggak beneran makan. Jadi ya meskipun (dibekalin) cuma nasi dan mi sebenarnya aku suka-suka aja,” kata Putian.

Bekal ini tidak serta merta jadi indikasi bahwa ibunya memiliki pemahaman gizi yang rendah. Putian bercerita, meskipun dibekali mi instan dan nasi ketika sekolah, saat pulang meja makan keluarganya sudah pasti diisi lengkap dengan sayur dan protein hewani.

“Sepulang sekolah dan makan malam itu lauknya bergizi semua. Ikan, udang, kadang ayam, sayur, protein tempe tahu, daging. Mamaku itu tiap berangkat sekolah biasanya (menyuruh kami, Putian dan adiknya) minum susu,” tuturnya.

Putian enggak sendiri. Diah dan Nisa juga mengatakan, walaupun suka dibawakan bekal mi instan dan nasi, sebelum berangkat dan sepulang sekolah, ibu pasti akan memastikan asupan gizi mereka berdua tercukupi. Sebelum berangkat mereka minum susu dan saat makan malam meja makan mereka akan lengkap dengan sumber protein dan vitamin dari sayuran. Bahkan untuk Nisa sendiri, ibunya selalu menyediakan jus sayur setiap ia pulang sekolah.

Disediain tuh jus sayuran dari jus wortel, tomat, sampai nanas. Kalau makan malam juga cukup sering lauknya kaya daging (ayam dan sapi) gitu. Jadi ya kalau dibilang mamaku enggak paham gizi, enggak juga deh,” kata Nisa.

Baca juga: Makin Gemuk Usai Berobat Bipolar tapi Saya Tetap Cinta Tubuh Sendiri

Tradisi dan Beban Domestik Ibu

Pengalaman Putian, Diah, dan Nisa di atas memperlihatkan sebenarnya perkara bawa bekal mi instan dan nasi bukan soal kurangnya pemahaman orang tua tentang gizi seimbang. Ini ternyata juga perkara tradisi dan strategi para ibu agar anaknya mau makan bekal dibandingkan jajan sembarangan. Untuk tradisi, Iwip temanku bercerita memang dari dulu anak sekolah itu seperti sudah menganggap bekal mi instan dan nasi semacam bekal wajib yang dibawa.

“Banyak banget yang bawa bekal ini. hampir sebagian besar bawa bekalnya mi goreng sama nasi. Ada yang bawanya pake telur, tapi ada juga yang cuma mi sama nasi aja,” kata Iwip.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi padaku ketika sekolah dulu. Pemandangan anak-anak kelas makan bekal mi instan dan nasi itu sudah biasa. Rasa micin yang enak dan gabungan dari nasi putih yang gurih manis ngebuat perpaduan bekal karbohidrat ini tidak terkalahkan apalagi kalau abis capek olahraga.

Kenikmatan makan karbohidrat ini juga jadi salah satu cara bagi para ibu memonitor asupan makanan anak-anaknya biar enggak jajan sembarangan. Sedangkan buat kami para bocah, bekal mi dan nasi justru jadi hiburan tersendiri. Kami berlomba-lomba memperlihatkan seberapa kaku mie yang kami bawa sampai mengikuti wadah Tupperware. 

Sangking mainstreamnya tradisi bawa bekal mi instan dan nasi di kalangan anak sekolah, Nisa sempat curhat kepadaku dia iri bukan main sama anak-anak lain.Nisa itu tipe orang yang suka bawa bekal lengkap bergizi. Melihat teman-temannya bawa bekal mi instan dan nasi bikin dia merengek ke ibunya minta dibawakan bekal ini. Kalau kata anak jaman sekarang, fomo namanya.

“Iri gue ngeliat anak-anak lain dibawain bekal mi sama nasi. Jadinya minta nyokab bawain. Ya, daripada guenya malah jajan enggak bener, ya nyokab bekalin gue itu,” curhatnya.

Selain karena tradisi dan jadi strategi ibu biar anaknya enggak jajan sembarangan, ngobrolin bekal mi instan dan nasi bersama teman-temanku juga buatku sadar ada hal lain yang ngebuat bekal ini populer.

Dibandingkan bekal makanan lengkap bergizi seimbang, menyiapkan bekal mi instan dan nasi membutuhkan waktu yang relatif cepat. Ada keuntungan tersendiri yang didapat dari para ibu yang mengemban tugas domestik seorang diri. Mereka bisa menghemat waktu dan tenaga.

Ini setidaknya dialami oleh mamaku sendiri, ibu Diah, dan Putian. Aku misalnya sempat menanyakan alasannya membekali aku mi instan dan nasi dan jawaban mama singkat.

“Ya karena cepat dan simpel mbak.”

Mama seperti banyak keluarga di Indonesia adalah ibu yang melakukan semua pekerjaan domestik sendirian tanpa dibantu oleh Papa. Ketika masih sekolah, setiap hari ia selalu bangun jam setengah 4 pagi untuk sholat tahajud dan lanjut menyiapkan sarapan untuk empat orang serta bekal aku dan Raihan, adik laki-lakiku.

Setelah Papa, aku, dan Raihan sudah berangkat Mama akan lanjut melakukan pekerjaan domestik lain seperti menyapu, mengepel, dan mencuci baju. Beban ini pun diperparah dengan Mama yang juga masih bekerja.

Buat seseorang yang melakukan semuanya sendiri, pasti ada hari-hari dia sudah terlalu capek hanya untuk sekedar memasak sarapan atau bekal anak-anaknya. Bekal mi instan dan nasi yang dilengkapi telur pun jadi jawaban Mama.

Hal yang kurang lebih sama juga dialami Diah dan Putian. Ibu Diah layaknya Mamaku jadi satu-satunya pihak yang mengemban tugas domestik. Untuk menghemat waktu dan tenaga, ibu Diah biasanya membawakan Diah bekal dari makanan sisa tadi malam.

“Kalau paginya enggak ada sisa lauk makan malam, yaudah yang paling simpel dan cepat bawain bekal mi pake nasi,” tambah Diah.

Sedangkan ibu Putian walau memiliki pasangan yang mau membantunya berbagi tugas domestik, ia seringkali harus berjibaku sendiri mengurus tugas domestik karena hubungan LDR alias hubungan jarak jauh dengan suaminya itu. Sama seperti Mama dan ibu Diah, bekal mi instan dan nasi pun jadi solusi top.

“Emang kalau enggak ada papa, mama yang handle semua termasuk bantu kerjain PR. Sanking banyak kerjaan domestik yang harus dikerjain pagi-pagi plus ngurus anak rewel mau sekolah jadi mama terpaksa bikin bekal yang simpel dan cepat saji,” curhat Putian.

Perjalanan refleksi pengalaman pribadi dan berbincang dengan teman-temanku ini, pada akhirnya membuatku sadar perkata bekal mi instan dan nasi ternyata punya layer yang cukup banyak. Mengatakan kalau ini cuma soal persoalan kemiskinan jadi terlihat sebagai alasan yang bias dan judgmental.

Pada kenyataannya ini juga merupakan tradisi dari zaman orang tua kita masih kecil yang bikin anak-anak jadi fomo. Ini juga sekaligus jadi sentilan buat kita. Ternyata dari bekal mi instan dan nasi ada cerita tentang perjuangan ibu kita yang selama ini kelelahan karena harus mengemban tugas domestik sendirian. Tugas domestik yang sebenarnya bisa diringankan dengan peran setara pasangan mereka dan dibantu anak-anak tanpa memandang gender mereka.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *