Dicoblos karena Cantik, Bukti Politik Masih Berparas Lelaki
Caleg Jawa Timur Kondang Kusumaning Ayu ramai-ramai dicoblos karena parasnya yang cantik, kata netizen. Padahal perempuan yang terjun ke politik juga punya kemampuan.
Kita mungkin cukup familier dengan istilah beauty privilege. Istilah ini dimaknai sebagai sebuah keistimewaan khusus buat orang yang dianggap berpenampilan atau berparas menarik, sesuai standar kecantikan publik. Mereka ini biasanya akan punya kesempatan yang lebih baik dibanding mereka yang dikonstruksi publik kurang tampan atau cantik.
Dalam bidang politik, kecantikan kerap jadi acuan partai untuk menarik politisi perempuan sebagai kader atau calon legislatif (caleg). Terlebih kebijakan afirmasi politik yang mengharuskan partai mengakomodasi keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen, membuat mereka kerap mengambil jalan pintas: Pilih perempuan dan harus good looking.
Sebelas dua belas, para pemilih kita yang mestinya lebih rasional, juga melihat kecantikan sebagai tolok ukur untuk dipilih sebagai wakil rakyat. Salah satunya terjadi dalam kasus Pemilu Legislatif (Pileg) di Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur. Media sosial dihebohkan dengan viralnya caleg DPD RI Jatim nomor 10 Kondang Kusumaning Ayu, yang meraup banyak suara. Bahkan, dalam real count sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU), perolehan suara Kondang masuk 4 besar terbanyak.
Jika ternyata didapati perempuan politisi tak benar-benar cantik menurut standar mereka, warganet dengan senang hati berbalik menghakimi. Dalam kasus Kondang, warganet yang mayoritas adalah lelaki mengomentari politisi itu dengan berbagai testimoni yang cenderung merendahkan fisiknya. Misalnya, akun akun TikTok @yudhistira213_ mengunggah video bertuliskan: “Sopo sing ra kenal kondang kusumaning ayu tapi malah nyoblos!” dengan caption “kog isok nyaleg modal ayu“. Video tersebut telah dilihat sebanyak lebih 3,2 juta kali di TikTok.
Baca juga: Lempar Batu Sembunyi Nama: Kekerasan Politisi Perempuan dari Akun Alter
Sementara, akun @matchadepanmu berkomentar, “Kerugen olehku nyoblos, jebule kapusen filter sak kanca-kancaku”. Kemudian akun @bhirawaperdana juga berkomentar “Filtermu juahat mbk” dan diikuti dengan emoticon menangis.
Tanpa kita sadari, banyaknya kekecewaan warganet kepada Kondang menjadi bukti jahatnya standar kecantikan di Indonesia, dari kasus tersebut kita akhirnya juga tahu bahwa dunia politik cenderung memperlihatkan arena yang sangat maskulin sehingga ketika pemilih melihat politisi berwajah cantik, mereka lantas mencoblosnya, alih-alih melihat perempuan yang terjun ke politik sebetulnya juga punya kompetensi yang sama baiknya bahkan lebih baik daripada politisi lelaki.
Dari kasus Kondang sendiri, ia dianggap sebagai perempuan yang merepresentasikan standar cantik oleh masyarakat Indonesia: Putih, ramping, berhidung mancung. Maka ketika warganet mendapati, Kondang tak secantik yang dibayangkan kepala mereka, ia ramai-ramai dirundung seenaknya.
Buat saya ini mengecewakan karena kehadiran perempuan di panggung politik seharusnya jadi ajang pemberdayaan, alih-alih objektifikasi. Pertanyaannya, mengapa fisiologis perempuan politisi dikonstruksi masyarakat dengan sedemikian rupa? Bagaimana kita harus menyikapinya?
Baca juga: Riset: Dominasi Politisi Pria Merugikan Politisi Perempuan
Pemilu Bukan Kontes Kecantikan
Yang terjadi dalam kasus caleg Kondang sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Dalam lingkup pemasaran politik, strategi menggaet caleg atau politisi cantik diambil sebagai jalan pintas. Biaya kampanye politik yang mahal menjadi salah satu faktor pendorongnya. Karena itu, ketimbang partai politik harus repot menggelontorkan uang yang banyak untuk mendidik para kadernya, mereka memilih caleg yang bisa “memasarkan diri sendiri” lewat parasnya.
Sudah banyak kejadian di mana partai mencalonkan para perempuan yang dianggap good looking untuk jadi mesin pendongkrak suara mereka. Tak cuma mereka yang berparas cantik, tapi juga yang berasal dari kalangan selebriti. Misalnya, kita bisa menemukan politisi-politisi seperti Mulan Jameela,
Celakanya, sebagaimana disinggung di atas, karakter pemilih di Indonesia juga masih belum sepenuhnya rasional. Dalam kasus Kondang, para pemilih terbukti mencoblos karena faktor cantik daripada repot mencari tahu apa visi misi dan gagasan substansial yang dibawa oleh masing-masing calon.
Dalam artikel Magdalene yang ditulis Adrian Azhar Wijanarko dikatakan, Pemilu telah menjelma bak kontes kecantikan (beauty pageant). Ini karena nuansa pemilihan jadi lebih menekankan pada atribut fisik para kontestan untuk dapat merebut atensi dewan juri – dalam hal ini para pemilih – untuk jadi pemenang.
Baca juga: Sulitnya Perempuan Masuk DPR, Kecuali dari Dinasti Politik
Pada batas tertentu, kata Adrian, Pemilu memang memiliki kesamaan dengan kontes kecantikan. Semua peserta berusaha mencari cara untuk terlihat baik di depan para pemilih. Bedanya, jelas, pemilu berkaitan erat dengan nilai-nilai demokrasi dan masa depan dari masyarakat sebagai pemilih.
Jika praktik ini dibiarkan, tentu akan membahayakan kualitas demokrasi kita. Bahkan dalam konteks memajukan agensi perempuan, akan terjadi kemunduran. Sebab, perempuan yang terjun ke politik seharusnya dilihat sebagai bukti pemberdayaan. Perempuan bukanlah objek yang cuma bisa dinilai berdasarkan kecantikannya saja. Masyarakat harus mau mengubah pola pikir bahwa kehadiran perempuan di panggung politik, juga karena mereka memiliki kompetensi dan kemampuan yang unggul.
Uswah Sahal adalah mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga.