Literasi Digital Rendah, Skor Ketidaksopanan Warganet Dewasa Indonesia Tinggi
Sebuah survei menunjukkan bahwa warganet dewasa Indonesia mendominasi tindakan tidak sopan di dunia digital.
Salah satu temuan survei Microsoft Digital Civility Index 2021 yang dikeluarkan bulan lalu menyatakan bahwa warganet Indonesia usia dewasa (18-74 tahun) mendominasi tindakan “tidak sopan” di ranah digital. Survei yang mengulas perilaku 58.000 warganet di 32 negara itu menempatkan Indonesia di peringkat ke-29, terparah di wilayah Asia Tenggara.
Skor ketidaksopanan orang dewasa di Indonesia sebesar 83 (naik 16 poin dari tahun lalu). Sementara perilaku remaja (usia 13-17) bertahan di angka 68 tanpa ada perubahan. Tren global memang menunjukkan bahwa remaja (usia 13-17) adalah kelompok yang justru memimpin pulihnya kesopanan digital sepanjang tahun 2020.
Meningkatnya skor pada orang dewasa di Indonesia utamanya dipicu oleh peningkatan hoaks dan penipuan.
Literasi Rendah Sumber Utama “Ketidaksopanan”
Kecenderungan orang dewasa berperilaku buruk di internet berkaitan dengan tingkat literasi mereka yang rendah. Data tahun 2018 dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menunjukkan tingkat literasi tertinggi di Indonesia terdapat pada kelompok 15-24 tahun.
Laporan tahun 2020 dari lembaga analisis Katadata Insight Center (KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) juga mengatakan bahwa Gen X (usia 40-55) secara umum memiliki literasi digital yang lebih buruk dari kelompok remaja dan milenial muda.
Hal tersebut kemudian diperparah ketika mereka menggunakan media sosial percakapan–terutama Whatsapp–untuk menyebarkan berita dan informasi.
Baca juga: 4 Cara Ajari Murid Keterampilan Menangkal Hoaks
Di Indonesia, kombinasi dari penetrasi internet yang tidak merata ditambah dengan kebiasaan bergosip mendorong tingginya penggunaan Whatsapp (98,9 persen), terutama di kalangan orang dewasa.
Beberapa akademisi mengatakan bahwa Whatsapp adalah sumber terbesar merebaknya misinformasi. Hal ini juga sangat terasa selama pandemi COVID-19.
Kecenderungan menyebarkan hoaks tersebut kemudian juga diperburuk oleh kenyataan bahwa sumber-sumber yang selayaknya dipercaya orang dewasa–seperti pemimpin dan figur politik yang rata-rata orang dengan usia di atas 30 tahun–juga tidak memberikan contoh yang baik dalam konsumsi informasi publik.
Sikap tidak acuh pemerintah terhadap kredibilitas sumber informasi dapat kita lihat dari beberapa contoh–mulai dari bantahan atas riset Universitas Harvard, Amerika Serikat yang menyatakan virus corona sudah masuk Indonesia di awal tahun 2020, sampai penolakan terhadap riset Bloomberg tentang akhir pandemi di Indonesia yang masih lama karena minimnya jumlah pelaksanaan vaksin per hari.
Potret berbagai pernyataan semacam ini kemudian tecermin pada masyarakat secara umum.
Perlindungan Digital di Media Sosial Masih Perlu Perbaikan
Langkah utama dalam menyasar akar misinformasi tentu saja adalah pendidikan literasi digital.
Berbeda dengan anak muda yang sejak kecil sudah biasa dengan teknologi digital, orang dewasa–terutama kelompok yang sering diabaikan seperti ibu-ibu–juga perlu terus disasar. Peningkatan literasi digital tersebut bisa dalam bentuk pendampingan atau pelatihan penggunaan internet dan kompetensi untuk memeriksa kredibilitas informasi digital.
Hal ini bertujuan untuk menciptakan kemandirian konsumsi informasi dan ketahanan digital, khususnya dari paparan risiko hoaks.
Namun di samping itu, perlindungan digital bagi warganet juga sangat penting untuk meredam penyebaran hoaks di level media sosial.
Indonesia sendiri saat ini masih belum memilliki aturan mengenai penanganan hoaks dan misinformasi yang jelas. Tapi tentunya, kewenangan pemerintah dalam mengatur ekspresi di ranah digital harus dibatasi agar tidak ada pelanggaran privasi dan hak asasi manusia.
Meskipun kita juga tidak bisa sepenuhnya percaya pada perusahaan teknologi dalam regulasi konten digital, swa-aturan (self-regulation) dari perusahaan media sosial bisa menjadi solusi kompromi antara aktor negara dan aktor swasta.
Beberapa cara perusahaan media sosial bisa meredam penyebaran hoaks secara bertanggung jawab adalah dengan mengubah algoritma supaya tidak sepenuhnya fokus pada daya interaksi (engagement), memberikan label pada konten yang meragukan, serta melibatkan komunitas penggunanya dalam pengawasan konten.
Twitter baru saja menyediakan fitur untuk mencegah pengguna membagikan berita apabila belum dibaca. Mekanisme ini memang tidak secara langsung menghalangi pelaku melakukan penyebaran informasi, tapi di tengah penyebaran informasi yang serba cepat, cara ini bisa membantu mengingatkan akan pentingnya memeriksa fakta.
Harapannya, berbagai fitur tersebut bisa meredakan penyebaran hoaks sebelum berkembang menjadi lebih parah lagi–misalnya dalam bentuk serangan atau perundungan digital.
Laporan Microsoft menemukan hampir setengah warganet Indonesia mengaku terlibat insiden perundungan. Korban terbesarnya adalah Gen Z (47 persen) dan milenial (54 persen).
Baca juga: Kekeyi dan Tajamnya Lidah Warganet di Media Sosial
Yang jelas, penindakan hoaks secara paksa–seperti melalui polisi siber–bukanlah solusi tepat, terutama mengingat berbagai pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) versi sekarang masih sangat rawan untuk disalahgunakan.
Indonesia membutuhkan pendidikan literasi digital bagi para pengguna internet. Dengan demikian, layaknya perusahaan media sosial saat ini, warganet Indonesia akan memiliki “swa-aturan” sendiri untuk menyaring kredibilitas konten yang akan dibagikan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.