Madge PCR

‘White Lie’ atau Bohong Tipis-tipis, Haruskah Relasi Diteruskan?

Banyak orang membuat ‘white lie’ dalam hubungan, tapi apakah hal ini wajar saja terus dilakukan, atau perlu kita setop?

Avatar
  • December 3, 2021
  • 5 min read
  • 693 Views
‘White Lie’ atau Bohong Tipis-tipis, Haruskah Relasi Diteruskan?

Pernah enggak kamu berbohong “kecil” sama pasanganmu? Saya rasa, banyak dari kita yang menjawab “iya” untuk pertanyaan ini. 

Dalam berelasi, enggak jarang orang berpikir untuk mempermanis hubungan dengan cara mengatakan sesuatu lebih atau kurang dari realitasnya. Misalnya, seseorang bilang ke pasangannya masakan pasangannya itu enak sekali meski pada gigitan pertama makanan tersebut terlalu asin. Atau saat sedang terburu-buru harus menghadiri acara bersama pasangannya, ia mengatakan pakaian yang sudah dikenakan pasangannya itu bagus karena khawatir pasangannya akan repot dan lama berganti pakaian lagi jika ia jujur berkata warna bajunya kurang matching. Bisa juga kebohongan kecil itu muncul saat pasangan memberinya hadiah pada hari jadi, tetapi sebenarnya barang yang diberikan itu sudah ia miliki atau tak benar-benar ia sukai.

 

 

Kebohongan kecil seperti ini dikenal dengan “white lie”. Dalam Psychology Today, profesor Psikologi dan direktur program Psychological Science dari Texas Woman’s University, Christian L. Hart menelusuri awal mula pemakaian istilah tersebut. Ia menulis, definisi terdokumentasi soal white lies dapat ditemukan sejak 1741 di sebuah publikasi Inggris, The Gentleman’s Magazine. Di sana dikatakan, white lie tidak dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak reputasinya, tetapi hanya untuk kepentingan menghibur mereka dengan menceritakan hal-hal yang indah. Lebih lanjut, Hart menyatakan, white lie memiliki konotasi kebohongan lebih kecil yang bebas dari beban moral sebagaimana kebohongan “asli”.

Sementara dalam Psych Central, psikolog dan pakar relasi Susan Orenstein menyatakan, white lie merupakan usaha memangkas kebenaran sepenuhnya agar tidak menyakiti perasaan orang lain atau semata-mata bertujuan untuk bersikap baik saja kepadanya. Ia juga mengungkapkan bahwa hal ini sangat umum dalam relasi yang sehat.

Baca juga: Sayang Pacar dan Terbuka Boleh, tapi Privasi adalah Kunci

Alasan Orang Membuat White Lie

Ada berbagai alasan orang mengutarakan kebohongan semacam ini dalam berbagai konteks. Dalam lingkup pekerjaan misalnya, Hart bilang karyawan mungkin bilang ke bosnya bahwa mereka senang-senang saja bekerja lembur walau sebenarnya ia merasa sebaliknya. Ia melakukan ini sebagai wujud rasa hormat dan kepatuhan sebagai bawahan. 

Dalam konteks lain termasuk relasi, white lie bisa muncul didasari alasan menghindari rasa malu, menghindari konflik atau situasi tidak menyenangkan, atau bahkan untuk mengakhiri suatu relasi. Untuk alasan terakhir, contohnya adalah ketika seseorang mau putus tetapi tidak mau membuat pasangannya merasa buruk atau bersalah, ia berkata, “Ini bukan tentang kamu, melainkan tentang aku”. Walau sebetulnya faktor yang mendorong ia putus adalah sikap-sikap tak disenangi dari pasangannya itu.

Alasan lain membuat white lie adalah untuk menguatkan relasi atau pasangannya. Ada orang yang berpikir bahwa dengan sering mengatakan “Aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu”, pasangannya akan tersentuh, menjadi makin percaya dan sayang kepadanya. Atau dalam konteks pasangannya itu adalah sosok yang insecure, kata-kata seperti, “Kamu cantik kok pakai apa pun” bisa mereka anggap sebagai penguatan yang menambah kepercayaan diri pasangan. 

Ada juga yang membuat white lie karena hendak memberi kejutan pada pasangannya. Misalnya, pada hari ulang tahun pasangan, seseorang bilang ia tidak bisa menemuinya dengan alasan ada meeting atau harus pergi ke luar kota meski sebelumnya ia sudah berjanji akan ngedate bareng malam itu. Lantas diam-diam, ia menyiapkan sebuah pesta kecil bekerja sama dengan beberapa teman pasangannya itu dengan harapan sang pasangan akan terharu dan senang atas inisiatifnya. Dalam sejumlah kasus, sang pasangan memang benar menunjukkan ekspresi sesuai harapan si pembuat white lie, tetapi dalam kasus lainnya justru ada yang tetap merasa kesal.

Pro-kontra White Lie

Karena jamak dilakukan pasangan di mana pun, orang mewajarkan white lie, terlebih bila mereka merasa hal tersebut menguntungkan dalam hubungannya. Namun, ada juga orang-orang yang menilai hal ini bisa berdampak buruk dalam jangka panjang.

Dalam Forbes, penulis buku Is It Still Cheating If I Don’t Get Caught, Bruce Weinstein mengatakan bahwa sering membuat white lies bisa membuat orang makin mudah berbohong lebih jauh lagi. Ia mengutip studi dalam Nature Neuroscience yang menyatakan bahwa mengungkapkan kebohongan kecil akan mendesensitisasi bagian otak yang berperan memunculkan perasaan gelisah saat kita berbohong.  

Sejalan dengan pendapat Weinstein, pakar relasi Audrey Hope juga menyoroti efek buruk kebiasaan berbohong kecil ini.

“Kalau seseorang berani mengatakan hal tidak jujur, kebohongan akan menjadi kebiasaannya. Relasinya dibangun bukan atas dasar integritas dan karena itu, tidak akan berjalan baik,” kata Hope dalam Bustle.  

Selain itu, anggapan bahwa white lie buruk juga didasari oleh pemikiran bahwa sekecil apa pun kebohongan yang dibuat, hal tersebut hanya akan berpengaruh buruk bagi yang menerimanya. Bagaimana pun, seseorang dianggap lebih baik  menerima kebenaran atau ujaran sesuai realitasnya, sepahit apa pun itu, dibanding mendengar kebohongan, entah besar atau kecil, yang hanya akan membawa harapan palsu atau rasa nyaman yang sementara saja. Justru dengan membiasakan diri mengatakan kebenaran pada pasangan, tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi, sebagian orang berpendapat bahwa hal itu yang membantu pasangannya untuk bertumbuh dan relasinya berkembang ke arah baik.

Baca juga: Ngomongin Soal Mantan ke Pacar Baru, Perlu Enggak Ya?

Batasan White Lie

Terlepas dari pro-kontra tentang white lie dalam relasi, kita perlu mengetahui, bagaimana pun, tetap ada batasan sesuatu bisa ditoleransi atau tidak. Dalam white lie, yang menjadi tolok ukur penting adalah apakah hal tersebut hanya dilakukan untuk kepentingan diri dan menyembunyikan suatu keburukan seseorang saja atau tidak.

Misalnya, seseorang yang berkata dirinya tak bisa datang ke pesta ulang tahun pasangannya karena meeting, sementara sebetulnya ia tengah berada di rumah selingkuhannya tak bisa dianggap sebagai white lie. Justru ia menyimpan kebohongan besar yang melukai pasangan dan relasinya sendiri alih-alih demi menjaga perasaan pasangannya.

Selain itu, ketika hendak membuat white lie, kita perlu berpikir ulang tentang beberapa hal seperti dikemukakan dalam artikel “The Truth about Lying” di situs University of Rochester Medical Center.  Misalnya, kita bisa bertanya pada diri sendiri: Apakah ada yang akan terluka bila saya menyimpan sebagian kebenaran; bisakah orang lain berkembang bila saya berkata sejujurnya, atau sebaliknya; apa yang saya rasakan jika keadaannya terbalik, orang lain yang menyembunyikan sesuatu kepada saya; dan apakah menghindari berkata jujur dalam situasi saya sekarang adalah tindakan pengecut atau suatu bentuk kasih sayang? 

 


Avatar
About Author

Patresia Kirnandita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *