‘White Savior’ dan Bias Kolonial dalam Temuan Bunga Langka Rafflesia hasseltii
Penemuan kembali bunga langka Rafflesia hasseltii pada (19/11) sedang viral belakangan. Itu dipicu video di akun Instagram University of Oxford yang menampilkan pemandu lokal, Septian Andriki atau Dekiy, menangis ketika menemukan bunga yang dikejarnya selama tiga belas tahun.
Momen itu begitu mengharukan, bukan cuma karena bunga parasit ini termasuk salah satu spesies paling langka di hutan Indonesia, tetapi juga karena yang menemukannya bukan akademisi berwibawa, melainkan seseorang yang hidup bersama hutan, menghapal jejak harimau, membaca tanah, dan memahami tanda-tanda yang tidak pernah tertulis di jurnal ilmiah mana pun.
Namun publik segera dibuat geram ketika beberapa hari kemudian, narasi di media berubah. Foto dan rilis resmi University of Oxford menyebut temuan tersebut sebagai penemuan ilmuwannya, hampir tanpa menyebut siapa yang selama bertahun-tahun menelusuri hutan rakyat itu.
Hilanglah nama orang yang memastikan bunga itu tidak punah, orang yang menjaga ekosistem dan merawat pengetahuan ekologis yang tak dapat diajarkan dalam laboratorium. Narasi yang direproduksi seakan menempatkan ilmuwan asing sebagai pusat pengetahuan, sementara peneliti lokal dikerdilkan menjadi figuran tanpa nama.
Rafflesia hasseltii sendiri bukan organisme biasa. Ia adalah parasit unik yang hanya bisa ditemukan oleh seseorang yang memiliki keintiman mendalam dengan hutan tropis. Dibutuhkan lebih dari sekadar gelar akademik untuk membaca tanda-tanda kemunculannya. Pun, dibutuhkan pengalaman bertahun-tahun, kesabaran yang tak tercatat dalam proposal riset, serta kepekaan yang tumbuh dari hidup bersama lanskap ekologis yang rapuh.
Masalahnya, pola yang sering muncul dalam penelitian Global North justru memperlihatkan bagaimana pengetahuan lokal direduksi menjadi “bantuan lapangan.” Ketika temuan ini viral, masyarakat dapat melihat dengan jelas bagaimana institusi Barat berusaha membingkai penemuan tersebut sebagai capaian mereka, seakan peneliti lokal hanyalah latar belakang yang tak layak disebut.
Di sinilah sesungguhnya inti persoalan itu: Siapa yang dianggap produsen pengetahuan, dan siapa yang direduksi menjadi catatan kaki?
Baca juga: Kenapa Perempuan Paling Dikorbankan di Tengah Hilangnya Hutan Papua?
Apa itu White Saviour
Istilah white savior mulanya banyak dibahas dalam kajian film dan media. Ini diwakili oleh figur kulit putih yang tampil sebagai penyelamat bagi komunitas non-kulit putih yang digambarkan tak berdaya.
Dalam dunia ekologi dan sains, pola ini berubah bentuk menjadi narasi “ilmuwan asing yang menemukan sesuatu yang tak ditemukan orang lokal,” padahal mereka tiba ketika pekerjaan paling berat sebenarnya telah dilakukan.
Dalam kasus Rafflesia hasseltii, tampak bagaimana penyelamatan pengetahuan dipusatkan pada tubuh dan institusi Barat. Sains modern, pada akhirnya, tidak pernah bebas dari hierarki: siapa yang punya akses penelitian, fasilitas, otoritas akademik, hingga siapa yang layak dipublikasikan dalam jurnal kelas dunia.
Pola ini bukan semata kelalaian, tetapi cerminan sejarah panjang kolonialisme di Indonesia yang menganggap institusi Barat lebih kredibel, seakan pengetahuan hanya valid jika divalidasi oleh global north.
Dalam artikel The Guardian “Botany of Empire,” tampak jelas bagaimana pada masa kolonial banyak spesies diklaim sebagai temuan ilmuwan Belanda atau Inggris. Padahal masyarakat adat telah mengenal dan menamainya berabad-abad sebelumnya.
Nama para ilmuwan Eropa kemudian diabadikan sebagai nama Latin spesies, sementara sejarah pengetahuan lokal lenyap begitu saja. Dari Raffles hingga Hasselt, narasi penemu selalu diarahkan pada figur Barat. Seolah-olah bunga itu tidak memiliki sejarah sebelum mereka datang. Padahal masyarakat Sumatra dan Borneo telah mengaitkan Rafflesia dengan ritual dan kosmologi jauh sebelum kolonialisme memasuki hutan mereka.
Tanpa Deki dan para penjaga hutan lokal, Rafflesia hasseltii barangkali tidak akan pernah ditemukan kembali—notabene bukan karena ilmuwan asing tidak mampu, tetapi karena pengetahuan yang dibutuhkan sangat kontekstual, sesuatu yang hanya dimiliki oleh mereka yang tinggal di dalam hutan, bukan yang datang sesekali dengan agenda riset.
Baca juga: Review ‘Kisah Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang’: Lagu Lama Keegoisan Manusia
Mengapa Narasi Ini Berulang dan Berbahaya?
Sains tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia dibentuk oleh sejarah, institusi, dan relasi kuasa yang mengikatnya. Ketika narasi penemuan alam selalu memosisikan ilmuwan Eropa sebagai pahlawan tunggal yang membawa “pengetahuan” ke hutan tropis, maka ada struktur kuasa yang tengah direproduksi.
Narasi seperti ini berbahaya karena membangun kembali heroisme kolonial. Sebuah keyakinan bahwa pengetahuan adalah milik Barat, sementara masyarakat lokal hanyalah pengamat pasif dalam cerita yang sebenarnya mereka tulis selama ratusan tahun.
Dampaknya merembet hingga generasi muda di desa hutan. Ketika gambaran tentang ilmuwan selalu merujuk pada figur asing, berbahasa Inggris, dan datang dari negeri jauh, maka sains tampak bukan sebagai ruang bagi mereka. Tanpa disadari, kita menanam kembali hierarki rasial kolonial.
Bahwa hanya tubuh tertentu yang layak disebut penemu, hanya suara tertentu yang dianggap pengetahuan. Ketidakadilan epistemik seperti ini terjadi ketika seseorang atau komunitas dicabut kredibilitasnya hanya karena latar sosialnya—dalam kasus ini, karena mereka tidak berasal dari institusi global north.
Kritik ini bukan penolakan terhadap kolaborasi internasional. Yang dituntut adalah kesetaraan alias pengakuan yang jujur terhadap kontribusi peneliti lokal, penghapusan label “dibantu pemandu lokal,” serta penghargaan terhadap pengetahuan ekologis lokal sebagai keahlian, bukan pengetahuan informal.
Baca juga: Dokumenter ‘Semesta’ Soroti Para Perempuan Penjaga Alam
Institusi di Indonesia juga perlu lebih berani mengamplifikasi narasi ini, karena memperbaiki struktur cerita sebenarnya berarti memperbaiki struktur kekuasaan. Mengkritik white savior bukan berarti menolak sains global, tetapi menolak narasi yang menghapus para penjaga hutan, pemandu lokal, dan ilmuwan Indonesia yang membangun pengetahuan dari akar rumput. Jika kita ingin konservasi yang adil dan berkelanjutan, pertanyaannya sederhana namun fundamental: Siapa yang selama ini bercerita, dan siapa yang dihilangkan dari cerita?
Uswah Sahal adalah perempuan yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian sastra, budaya, gender, dan isu lingkungan.
















