December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

‘Youth Spring’: Ketika Generasi Z Menolak Diam

Dari Jakarta hingga Kathmandu, generasi Z menyalakan “Youth Spring”, revolusi digital yang lahir dari amarah dan harapan.

  • November 2, 2025
  • 3 min read
  • 575 Views
‘Youth Spring’: Ketika Generasi Z Menolak Diam

Di dunia yang dibanjiri krisis, dari krisis ekonomi hingga iklim sampai kepercayaan publik, ada satu generasi yang menolak bungkam: Gen Z. Mereka yang sering dicap manja atau apatis, kini justru tampil sebagai motor perubahan. Dari jalan-jalan di Jakarta hingga linimasa Discord di Kathmandu, muncul gerakan baru yang tak bisa diabaikan: Youth Spring.

Berbeda dengan generasi pendahulu yang membentuk aliansi lewat partai atau serikat, Gen Z membentuk gerakannya dari layar. Protes bukan lagi dimulai dari rapat sekretariat, tapi dari benih kegelisahan yang disebar lewat Instagram, TikTok, hingga kanal YouTube. Dunia menyaksikan kebangkitan ini tidak hanya sebagai aksi lokal, melainkan sebagai gelombang transnasional yang menyatukan frustrasi bersama.

Gerakan ini punya jejak yang bisa kita telusuri dari Tunisia pada 2011, saat Mohamed Bouazizi membakar diri sebagai bentuk perlawanan terhadap represi ekonomi dan negara. Arab Spring pun mengguncang kawasan, menjatuhkan rezim dan menginspirasi aktivisme global. Dua dekade berselang, semangat itu menjelma dalam bentuk yang lebih cair dan tersebar, yakni aksi digital yang menyulut solidaritas nyata.

Tahun 2022, mahasiswa Bangladesh menuntut dihapusnya sistem kuota kerja yang tidak adil. Di Sri Lanka, gelombang protes anak muda memaksa Presiden Gotabaya Rajapaksa mundur. Pada 2025, Indonesia bergejolak lewat gerakan Tuntutan 17+8, sementara di Nepal, kemarahan publik terhadap gaya hidup mewah anak pejabat (Nepo babies) mengguncang institusi politik. Aksi serupa menyebar ke Kenya, Maroko, Filipina, hingga Timor Leste.

Baca juga: Bagaimana Gen Z Motori Perubahan di Nepal: Pelajaran Penting buat Indonesia

Gugurnya mitos slacktivism

Apa benang merah dari semua ini? Frustrasi ekonomi, kesenjangan sosial, kemarahan terhadap korupsi, dan hilangnya kepercayaan pada institusi politik. Namun yang paling menonjol adalah cara Gen Z memobilisasi diri. Mereka mengandalkan alat yang akrab dalam keseharian mereka, yaitu media sosial.

Jika Arab Spring dulu bertumpu pada Facebook dan blog, maka Youth Spring bergerak lewat TikTok, Instagram, dan Discord. Di Indonesia, tagar seperti #TuntutanRakyat menyatukan suara-suara terpisah menjadi narasi kolektif. Di Nepal dan Maroko, Discord digunakan untuk menggelar voting daring, diskusi terbuka, hingga penyusunan manifesto publik. Forum daring ini menjelma menjadi semacam parlemen rakyat baru—tidak terpusat, spontan, dan cair.

Fenomena ini menggugurkan mitos tentang slacktivism—istilah yang meremehkan aktivisme digital sebagai “protes malas.” Nyatanya, dari lini masa inilah banyak gerakan berisiko tinggi lahir. Para pengguna tidak hanya membuat konten, tapi memantik diskusi, mengorganisasi aksi, bahkan memengaruhi kebijakan. Dari pemilihan kepala pemerintahan sementara di Nepal hingga penyusunan tuntutan publik di Indonesia, ruang daring berubah menjadi arena politik alternatif yang efektif dan berani.

Namun, dinamika ini bukan tanpa tantangan. Kecepatan menyebar sering dibarengi keterbatasan konsolidasi. Informasi yang viral belum tentu akurat. Mobilisasi yang masif bisa mudah hilang arah ketika isu baru muncul. Tantangan utama Youth Spring adalah mengubah amarah viral menjadi strategi jangka panjang. Bukan sekadar ledakan emosi, tapi dorongan menuju perubahan struktural.

Meski belum banyak rezim yang tumbang seperti di era Arab Spring, Youth Spring menjadi refleksi bagaimana demokrasi hari ini sedang ditulis ulang oleh generasi muda—dengan bahasanya sendiri, medianya sendiri, dan ritmenya sendiri. Mereka tidak lagi menggantungkan harapan pada institusi tua, melainkan membangun jaringan solidaritas lintas batas.

Baca juga: APBN 2026: Kesempatan untuk Keadilan Gender yang Nyata

Apa yang mereka suarakan bukan utopia ideologis, melainkan tuntutan konkret: pendidikan yang layak, pekerjaan yang adil, lingkungan yang lestari, dan pemerintahan yang bersih. Ini bukan sekadar protes, melainkan pengambilalihan ruang politik oleh generasi yang selama ini hanya dianggap penonton.

Youth Spring adalah alarm bahwa generasi muda tak bisa lagi diremehkan. Bahwa layar bukan sekadar tempat hiburan, melainkan medan perjuangan. Dan bahwa dunia bisa berubah, bukan lewat senjata, tapi lewat keberanian kolektif untuk berkata: kami tidak akan diam.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Firda Amalia Putri

Firda Amalia Putri is a Research Assistant at the Center for the Study of Islam and Society (PPIM), UIN Jakarta, and an Assistant Editor at the journal Studia Islamika.