Polandia Mencuci Wajah Bumi: Jejak Hijau dari Lumbung Kosmetik Eropa Tengah
Pernahkah kamu menghitung berapa banyak plastik yang dihasilkan cuma dari rutinitas skincare harian? Pada 2020, The New York Times bikin simulasi sederhana: Jika dalam sepekan, kamu memakai dua sheet mask, maka ada empat gram plastik yang jadi eksesnya. Dalam setahun sampah sisa sheet mask bisa mencapai 400 gram. Sekarang tambah dengan serum, retinol, eye patch, toner, krim siang dan malam, lotion, jumlahnya bisa tiga kali lipat.
Namun di Polandia, Eropa Tengah, mereka membuktikan kecantikan dan keberlanjutan bisa berjalan beriringan. Negara ini mashur bukan hanya karena kudapan pierogi, musik Chopin, atau kamp Auschwitz, tetapi juga sektor kosmetik hijaunya.
Polish Investment and Trade Agency (PAIH) mencatat, pada 2023 nilai pasar kosmetik Polandia mencapai lebih dari 25,4 miliar PLN, dengan pertumbuhan tahunan rerata (CAGR) mencapai 5,2 persen sejak 2014. Angka ini membuat Polandia bertengger di peringkat kelima di Uni Eropa berdasarkan nilai pasar, sekaligus eksportir kosmetik terbesar ke-9 di dunia. Membukukan ekspor €5,1 miliar, Polandia mengirimkan produknya ke Jerman, Inggris, Rusia, Ceko, Belgia, Prancis, Ukraina, Belanda, Italia, Spanyol, juga Indonesia.

Buatmu di Indonesia, mungkin sudah familier dengan Inglot, jenama makeup Polandia yang sudah eksis sejak delapan tahun silam. Inglot terkenal lantaran mengeluarkan lini cat kuku berpori dengan varian warna bold, yang memungkinkan penggunanya bisa tetap ibadah salat tanpa khawatir.
Selain inovasi produk, industri kosmetik Polandia juga menempatkan keberlanjutan sebagai inti strategi. Dari kemasan ramah lingkungan hingga pemanfaatan panel surya di pabrik, semuanya dirancang untuk mengurangi limbah plastik dan mendukung transisi energi hijau. Ini menunjukkan kecantikan bisa sejalan dengan tanggung jawab menjaga lingkungan.
Baca juga: ‘Skintellectual’ dan Jerat ‘Green Capitalism’: Ketika Kesadaran Kulit Tak Selalu Ramah Bumi
Manufaktur Hijau: Kualitas Eropa dan Sumber Daya Lokal
Pada 13–17 Oktober 2025, Magdalene.co bersama jurnalis TV One, Liputan6, dan media Asia Tenggara lain berkesempatan menelusuri industri kecantikan Polandia. Undangan resmi dari PAIH membawa kami menyaksikan bagaimana negeri ini berupaya “walk the talk”, dengan menjadikan skincare tak hanya cantik di wajah, tapi juga bersih bagi Bumi.
Dengan reputasi sebagai lumbung kosmetik Eropa Tengah, Polandia membangun sistem industri yang berpijak pada regulasi ketat, transparansi bahan baku, dan kesadaran ekologis. Semua mengacu pada European Green Deal dan regulasi REACH (Registration, Evaluation, Authorisation and Restriction of Chemicals). Dua regulasi ini membuat seluruh perusahaan kosmetik di Uni Eropa tanpa kecuali, wajib memastikan seluruh rantai produksi mereka minim limbah dan transparan terhadap bahan kimia. Polandia termasuk negara pertama di Eropa Tengah yang mematuhi regulasi ini secara menyeluruh.

Anna Oborska, Ph.D., Direktur Jenderal Asosiasi Kosmetik dan Deterjen Polandia bilang, “Di Polandia ada sejumlah merek yang konsisten menerapkan prinsip industri hijau secara menyeluruh.” Ini menunjukkan, imbuhnya, keberlanjutan bukan sekadar slogan, melainkan strategi dalam produksi kosmetik mereka.
Praktik itu terlihat di Laboratorium Kosmetik dan Skincare Ava. Berdiri sejak 1961, ia menjadi merek pertama di Polandia dengan sertifikasi Ecocert–standar internasional untuk produk organik dan kosmetik alami, yang menilai seluruh rantai produksi mulai dari bahan baku, proses produksi, hingga kemasan–pada 2008.
Jakub Kutyla, Manajer Operasional Ava menjelaskan, Ava menggunakan berbagai bahan alami dan bebas dari unsur penyiksaan terhadap hewan di laboratorium. Tak cuma itu, saat kami berkunjung ke kantor sekaligus pabrik mereka di Byalstok, mereka sudah menggunakan sumber energi listrik dari panel surya yang berada di atap gedung.
“Panel surya 500 kWp menekan konsumsi listrik hingga 40 persen per tahun. Tujuan kami sederhana agar setiap botol krim yang keluar tidak menambah jejak karbon,” ungkapnya.
Senada, di Four Starlings Białystok, filosofi hijau juga diterapkan. Perwakilan Four Starlings Grzegorz Sienkiewicz menjelaskan rantai produksi, bahan baku, dan sumber energi di pabrik seluas 1.200 meter persegi tersebut.
“Sejak awal, bahkan sebelum istilah clean beauty populer, kami berpegang pada nilai kami sendiri,” ujarnya.
Betul saja, semua produk Four Starlings dibuat dengan tangan, berbahan minyak alami, dan sepenuhnya vegan. Mereka juga menekan penggunaan mesin otomatis, dan menggantinya dengan sentuhan manusia. Buat Sienkiewicz, tangan manusia membuat produk-produk Four Starlings terasa lebih personal.

Selain dua merek di atas, ada pula kosmetik alami yang bertahan dengan bahan-bahan dan teknologi organik, ujar Anna. Di antaranya OnlyBio dengan formula 99 persen alami dan mudah terurai. Yope yang mengarusutamakan aroma alami dan kemasan eco-conscious. Ada lagi Ziaja yang menawarkan produk terjangkau dengan bahan sederhana, seperti minyak zaitun dan susu kambing. Lalu Bielenda yang memadukan ekstrak alami dan teknologi modern, serta D’ALCHEMY, skincare mewah berbasis tanaman organik.
Maraknya merek hijau itu dibenarkan oleh European Commission. Kata lembaga itu, lebih dari 55 persen perusahaan kosmetik Polandia sudah berhasil menerapkan eco-design dan efisiensi energi dalam produksi. Ini sejalan dengan prinsip Industry 4.0 yang memang digadang-gadang membantu mengurangi limbah bahan baku hingga 15 persen per lini produksi.
Adapun pemanfaatan bahan lokal, organik, dan vegan khas Eropa Tengah, seperti kamomil, calendula, sea buckthorn, bunga linden, dan daun birch, dipercaya mampu memangkas jejak karbon hingga 28 persen dibanding formula impor, sebagaimana dilansir dalam studi Michela Secchi, dkk. bertajuk “Assessing eco-innovations in green chemistry: Life Cycle Assessment (LCA) of a cosmetic product with a bio-based ingredient” (2016).

Baca juga: Teknologi dan Obsesi Cantik yang Problematik
Revolusi Kemasan dan Prinsip Zero Waste
Bagi industri kecantikan, keberlanjutan tidak berhenti pada bahan alami. Kemasan menjadi medan baru. Uni Eropa menargetkan semua kemasan kosmetik harus mengandung minimal 30 persen bahan daur ulang pada 2030 lewat Packaging and Packaging Waste Regulation (PPWR). Polandia melangkah lebih cepat.
Four Starlings salah satunya. Bisnis keluarga yang bermula dari garasi rumah itu mengadopsi prinsip nol-limbah (zero-waste). Dalam praktiknya, mereka menggunakan bahan ramah lingkungan seperti kertas, aluminium, dan kaca untuk kemasan, guna meminimalkan plastik. Saat kami berkunjung ke pabrik Four Starlings, Sienkiewicz menunjukkan, semua sampah tak ada yang terbuang mubazir. Semua diolah kembali dan dimanfaatkan dalam pengemasan dan proses produksi.
“Kami gunakan kaca, aluminium, dan kertas berlapis alga. Tak ada plastik sekali pakai di lini utama kami,” ujar Sienkiewicz sembari menunjukkan kertas yang larut dalam air panas 30 detik. Air sisa fermentasi sea buckthorn mereka daur ulang untuk mencuci alat produksi.

Dorongan menuju industri hijau lewat kemasan ramah lingkungan ini, datang dari konsumen Polandia yang bersedia membayar lebih untuk keberlanjutan. Dalam riset “The Growing Market for Natural Cosmetics in Poland: Consumer Preferences and Industry Trends” (2023) karya Piotr Ratajczak, 61,3 persen responden menyatakan bersedia membayar lebih mahal untuk kosmetik alami. Sementara aspek etika, seperti produk “tidak diuji pada hewan”, menjadi perhatian utama sebanyak 54,6 persen responden. Lalu diikuti perhatian pada kemasan ramah lingkungan sebanyak 30,9 persen.
Nyatanya menggunakan sistem ini justru menguntungkan buat industri. Jakub Kutyla dari Ava menambahkan, “Ketika kami menerapkan sistem closed loop, biaya operasional turun hampir 20 persen dalam dua tahun.” Efisiensi limbah, katanya, bukan hanya baik untuk Bumi, tapi juga bisnis. Sistem closed loop sendiri menutup siklus produksi dan konsumsi, di mana limbah atau produk bekas diproses kembali menjadi bahan baku atau produk baru, sehingga hampir tidak ada yang dibuang ke lingkungan.
Dari sisi pasar, langkah-langkah ini tampak memperkuat reputasi Polandia. Produk mereka bersaing di Jerman, Prancis, hingga Korea Selatan dengan harga 30–40 persen lebih murah namun kualitas serupa, dilansir dari artikel Health Magazine, “Made in Poland Equals European Quality”.
Baca juga: Laki-laki Masa Kini: ‘Skincare’ Itu ‘Self-Care’
Bisakah Ditiru Indonesia?
Masalahnya menjadi hijau bukan tanpa tantangan. Sienkiewicz menyebutkan, berdasarkan pengalamannya di industri ini, meski konsumen terliterasi soal produk ramah lingkungan, mereka cenderung balik badan jika harus merogoh kocek lebih.
Ini senada dengan riset “Understanding Sustainable Beauty in Southeast Asia” (2024) yang menunjukkan, faktor harga dan ketersediaan masih jadi penghalang utama industri. Tanpa regulasi dan insentif, adopsi industri hijau pun rentan berjalan lambat.

Namun bukan berarti, Indonesia tak bisa mengadaptasi strategi keberlanjutan dalam industri kosmetik dan skincare. Pemerintah kita bisa meniru inisiatif progresif PAIH yang mensubsidi sertifikasi Good Manufacturing Practice (GMP), pelatihan ekspor, juga pendampingan agar UMKM termasuk Four Starlings dapat menembus lebih dari 160 negara tujuan ekspor hari ini.
Negara kita memiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bisa mengadopsi Cosmetic Products Notification Portal ala Uni Eropa. Di saat bersamaan, Kementerian Perindustrian bisa memberi insentif energi bersih. Begitu juga Kementerian Perdagangan membuka titik daur ulang di minimarket. Jika sinergi ini dilakukan antara pemerintah dan pelaku industri, maka upaya menciptakan produk kosmetik dan skincare hijau bukan sekadar angan-angan kosong.
















